Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andreas P. Setiawan dan puluhan orang teman senasib sepenanggungan mengisi Hari AIDS Sedunia, yang diperingati setiap 1 Desember, dengan berdemonstrasi. Mereka bukan hendak mendongkrak kesadaran publik akan HIV/AIDS. Anggota Jaringan Orang Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus Indonesia itu melancarkan protes di depan Kedutaan Besar India di Jakarta, Rabu pekan lalu. Pemicunya adalah rencana kerja sama India dan Uni Eropa dalam hal memproduksi antiretroviral (ARV) yang bisa mengakibatkan harga obat itu naik.
Selama ini, ARV made in India yang dikonsumsi penyandang HIV di Indonesia masuk kategori obat generik, sehingga bisa didapat dengan harga rendah, bahkan gratis. Namun, bila rencana kerja sama itu dilaksanakan, niscaya harga obat pun membubung ke langit. Menurut Andreas, itu sama saja dengan pembunuhan massal. Sebab, ada ancaman yang makin merebak di kalangan pengidap HIV, yaitu kanker. Menurut situs Cancer.net, penyandang HIV/AIDS memang memiliki risiko tinggi terjangkit jenis kanker tertentu.
Ada tiga jenis kanker yang disebut sebagai ”kondisi yang menjadi tengara kemunculan AIDS”, yaitu kaposi sarkoma, sejenis kanker kulit; non-Hodgkin’s lymphoma atau kanker kelenjar getah bening; dan kanker serviks atau leher rahim. Artinya, bila seseorang dengan HIV mengidap salah satu dari tiga jenis kanker ini, perkembangan AIDS atau acquired immune deficiency syndrome terjadi sangat pesat. Selain itu, ada beberapa jenis kanker lagi yang mungkin bisa mendompleng pengidap HIV, yaitu kanker anal, mulut, hati, paru, dan testis.
Untuk itulah, bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pengobatan antiretroviral wajib dijalani dengan disiplin, diperkuat dengan pola hidup sehat, termasuk berpikiran positif. Andreas bisa hidup relatif sehat hingga usia 33 tahun antara lain berkat disiplin mengkonsumsi antiretroviral. ”Itulah mengapa saya tidak terkena kanker,” kata Andreas, yang didiagnosis terkena HIV sejak 1996. Selain itu, pria yang tertular HIV akibat jarum suntik ini mengaku menjalankan pola hidup sehat. ”Menjauhi stres.”
Memang belum ada penelitian yang menjawab hubungan antara HIV/AIDS dan kanker. Namun, secara umum, lemahnya sistem kekebalan tubuh ODHA menyebabkan mereka jauh lebih rentan terhadap kanker. Nah, indikator terpenting kesehatan orang dengan HIV adalah jumlah sel CD4—jenis sel darah putih yang membantu tubuh melawan infeksi. Sebab, CD4 adalah sasaran utama HIV: virus ini memperlemah CD4. Jumlah CD4 untuk orang tanpa HIV adalah 500-1.200 sel per milimeter kubik. Sedangkan pada orang dengan HIV, jumlah CD4-nya pasti berada di bawah orang tanpa virus tersebut.
Jumlah CD4 ini juga menjadi faktor yang bisa memprediksi seluruh risiko kanker pada orang dengan HIV. Menurut penelitian terbaru The Lancet Oncology, meningkatnya risiko kaposi sarkoma dan non-Hodgkin's lymphoma berkaitan dengan rendahnya jumlah CD4, tingginya jumlah virus HIV, dan kombinasi terapi antiretroviral (cART). Semakin tinggi jumlah sel CD4, risiko kanker serviks juga semakin bisa ditekan. Sedangkan cART lebih bermanfaat untuk memperbaiki bila jumlah CD4 di atas 500 sel milimeter kubik. ”Inilah perlunya terapi sejak dini," kata para peneliti.
Menurut dokter ahli kanker dan pembuluh darah Rumah Sakit Dharmais, Noorwati Sutandyo, 11 dari 29 pasien HIV terkena kanker leher rahim. ”Human papillomavirus masuk bersama-sama saat hubungan seks,” ujarnya. Begitu juga pada kaposi sarkoma yang biasanya menyerang kulit. ”Pada orang yang terjangkit HIV, bukan hanya kulit yang diserang, tapi bisa ke limpa, hati, dan paru,” kata dokter Noorwati, Rabu pekan lalu. Umumnya kanker jenis ini menyerang kelompok homoseksual penyandang HIV/AIDS atau yang terinfeksi human herpesvirus 8.
Kaposi sarkoma sebenarnya bukan penyakit orang Indonesia. Kanker ini lebih banyak menyerang laki-laki berusia tua keturunan Yahudi dan Mediterania, pria Afrika yang lebih muda, serta orang yang pernah menjalani transplantasi organ tubuh. Lalu kanker ini berkembang sebagai penyakit agresif pada pasien AIDS—penyakit ini 300 kali lebih mudah menyerang penyandang AIDS. Menurut Profesor Zubairi Djoerban, kaposi sarkoma juga ditemukan pada pasien AIDS di Indonesia.
Noorwati pada prinsipnya setuju, berkembangnya kanker pada orang yang terinfeksi HIV kemungkinan besar akibat daya tahan tubuh yang menurun. ”Nah, saat imunitas menurun, tubuh akan sangat rentan dimasuki virus. Bukan HIV-nya sendiri, melainkan virus yang datang bersama-sama dengan HIV,” ujarnya.
Penanganan pasien kanker yang terinfeksi HIV, menurut Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Rumah Sakit Dharmais itu, tak berbeda dengan pasien kanker tanpa HIV. ”Cuma, efek samping pengobatannya lebih berat,” katanya.
Noorwati pernah mempunyai pasien dengan HIV yang terserang kanker payudara dan kanker getah bening. ”Sejak awal, kami deal dengan pasien yang daya tahan tubuhnya rendah, sehingga harus diberitahukan efek pengobatannya,” ujarnya. Pasien perempuan berusia 33 tahun tersebut—yang namanya dirahasiakan—seperti pasien kanker lainnya, wajib menjalani terapi radiasi dan kemoterapi. ”Membaik dan sampai kini tak datang berobat lagi,” kata Noorwati.
Yang pasti, pengobatan—baik untuk menghajar sel-sel kanker maupun dengan kombinasi antiretroviral—tidaklah cukup. Menurut Noorwati, memperkuat sistem imunitas harus dilakukan dengan cara mengurangi konsumsi makanan berpengawet serta memperbanyak asupan buah dan sayuran. Imbangi pula aktivitas dengan cukup istirahat. Ya, seperti yang dilakukan Andreas, yang masih hidup sehat hingga kini. ”Hidup positif, sehat, dan dukungan dari keluarga juga penting,” katanya.
Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo