Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konflik Etnis dan Disintegrasi Bangsa

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parakitri T. Simbolon
Pengamat sosial

AKHIR-akhir ini santer beredar pendapat bahwa konflik etnis di Indonesia bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Timor Timur lepas, Maluku rusuh, sementara Papua Barat, Riau, dan Aceh minta merdeka. Lebih dari itu, sudah jatuh banyak korban. Di Maluku saja, sekitar 3.000 jiwa melayang hanya dalam satu tahun, 19 Januari 1999 sampai 19 Januari 2000. Jumlah penduduk Maluku hanya satu persen dari penduduk Indonesia. Ini berarti kerusuhan itu relatif sama parahnya dengan pembantaian massal di seluruh Indonesia setelah G30S, yang konon makan korban setengah juta sampai satu juta jiwa.

Benarkah pendapat itu? Kalau benar, mengapa masalah etnis pecah sekarang dan bagaimana masalah tersebut dapat diatasi?

Sebenarnya, konflik etnis gawat tidak hanya sekarang, tapi sudah lama; tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Sekitar 15 tahun lalu, seorang sarjana pengkaji masalah etnis, Donald Horowitz, mengatakan gawatnya konflik etnis sebagai suatu kekuatan yang memicu peristiwa kemanusiaan, sebagai suatu gejala yang menuntut dimengerti, sebagai suatu ancaman yang harus dijinakkan, tidak bisa lagi diabaikan.

Dia menghitung, sejak Perang Dunia II, kekerasan etnis sudah menelan korban lebih dari 10 juta jiwa. Dalam dua dasawarsa ter-akhir, pertentangan etnis meluas. Masalah etnis sudah bergeser ke pusat politik, menjadi sumber tantangan terhadap keutuhan negara dan hubungan internasional. Dengan kata lain, tentang masalah etnis, sebenarnya orang sudah tidak kekurangan data, tapi kekurangan explanation, too much knowledge and not enough understanding.

Boleh jadi Indonesia salah satu negara yang paling kaya pengetahuan dan pengalaman tentang masalah etnis. Para pendiri bangsa Indonesia bisa dengan jitu merumuskan keragaman etnis dengan ungkapan bhinneka tunggal ika. Tebakan mereka jitu mengenai keragaman etnis yang dewasa ini mencapai 1.000 kelompok, padahal waktu itu diduga cuma sekitar 200. Mereka jitu menggali ungkapan itu dari nilai sosial-budaya kuno, kakawin Sutasoma gubahan Mpu Tantular, antara 1365 dan 1389. Harap maklum, semua itu termasuk dalam empat ramuan pokok etnisitas: mitos, ingatan kolektif, perlambang, dan nilai.

Pada 1963, Bung Karno memperbarui ungkapan itu dengan bagus: "Di Indonesia kita tidak mengenal minority.… Di Indonesia itu paling-paling ada suku-suku.... Suku itu artinya sikil, kaki. Jadi bangsa Indonesia itu banyak kakinya, seperti luwing.… Ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa.… Kaki daripada satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia."

Dengan pengetahuan sekaya itu, lantas mengapa masalah etnis meledak di mana-mana? Jawabannya, itu tadi, kurangnya pengertian. Namun, bukan hanya Indonesia yang begitu. Para sarjana spesialis pun masih kebingungan mengenai etnisitas.

Etnisitas sering dikira benda konkret (bounded entity), sekonkret bongkah batu atau sekelompok orang yang jelas batas-batasnya, seperti kesamaan wilayah, bahasa, agama, dan adat-istiadat. Peranakan Tionghoa dianggap sebagai suku, padahal wilayah, agama, bahasa, dan adat-istiadat mereka tidak sama. Demikian pula dengan suku lain seperti Jawa atau Batak. Sebaliknya, di Yugoslavia, Serbia, Kroasia, dan Muslim masing-masing dianggap suku, padahal bahasa mereka sama, bahasa Kroasia.

Etnisitas dikira gejala primitif, sehingga akan lenyap dalam zaman modern, misalnya negara merdeka. Ternyata tidak. Di kota-kota Eropa dan Amerika pun masih terdapat suku-suku. Malah, dikira suku atau etnisitas itu bersifat alamiah, ada sejak dari sana. Nyatanya, suku hanya mungkin ada dalam suatu wibawa yang mencakup (overarching power). Di India, orang India bukan suku India, tapi di Inggris orang India menjadi suku India.

Yang membuat sekelompok orang menjadi suatu suku atau golongan etnis adalah askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menaruh cap, tanda (labeling), pada orang, tanda apa saja. Penyamak kulit di Jepang, yang dikenal sebagai suku Burakumin, dulu ditandai sebagai Eta, yang berarti "penuh kotoran", jorok, bego, kasar, dan sebagainya. Di Sri Lanka, ada Rodiya, yang juga berarti "yang kotor". Di Indonesia, dulu di Batavia, penggali parit dari Tegal dan Cirebon disebut "Jawa Lumpur" (Modder Javanen) dan diperlakukan sebagai satu suku.

Askripsi adalah gejala interaksi, bukan gejala isolasi. Ia terjadi ketika beragam orang bertemu dalam bermacam lapangan kehidupan. Namun, dalam pertemuan itu seseorang tidak diperlakukan sebagai pribadi, melainkan sebagai contoh atau wakil kelompok dengan cap tertentu. Begitulah munculnya suku. Namanya diciptakan pihak luar, tidak peduli diterima atau ditolak oleh pihak dalam.

Lalu, masuk faktor waktu, alias sejarah: askripsi menjadi deskripsi, sikap dan cara bertindak, alias rules of conduct. Para sarjana menyebutnya cultural ethnicity. Berkat Belanda selama ratusan tahun, Jawa dianggap berperangai halus dan terkendali, Madura kasar dan terus terang. Begitulah etnisitas berisi mitos, ingatan kolektif, lambang, dan nilai, ibarat benda-benda berbeda di ruang tiga dimensi melemparkan bayangan seekor binatang buas di bidang dua dimensi.

Para pecandu kekuasaan bisa dengan mudah memainkan semua itu. Bila kekuasaan menjadi motif dalam pergaulan sosial, sentimen etnis dikipasi. Cultural ethnicity berubah menjadi political ethnicity. Inilah yang terjadi di Indonesia sekarang, setelah 33 tahun dikipasi.

Tidak sembarang konflik etnis dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara. Yang bisa mengancam hanya yang mampu mengerahkan mitos, ingatan kolektif, lambang, dan nilai sekelompok orang; menjelmakannya sebagai jati diri (identity) dan cita-cita (purpose) kelompok baru. Karena itu, ancaman disintegrasi bangsa dan negara oleh konflik etnis hanya dapat diatasi dengan kembali ke jati diri dan cita-cita bangsa itu; tidak dengan mengabulkan tuntutan-tuntutan etnis. Inti jati diri dan cita-cita bangsa itu adalah kedaulatan rakyat dan keadilan hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum