Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAMOR Presiden Joko Widodo yang melonjak di forum Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Beijing, Cina, tak boleh disia-siakan. Momen itu seyogianya tak berakhir hanya dengan nota kesepahaman antara Indonesia dan calon investor, tapi harus dilanjutkan dengan aksi nyata.
Di Beijing, Jokowi memang jadi bintang. Para pemimpin negara dan tokoh bisnis berebut bertemu dengan mantan pengusaha mebel itu. Pidatonya yang diunggah di situs YouTube ditonton lebih dari 210 ribu kali di hari pertama, mengalahkan video pidato Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Menggunakan bahasa Inggris sederhana, Jokowi menjelaskan rencana Indonesia lima tahun ke depan: pembangunan jalan, pelabuhan, fasilitas pertanian, dan infrastruktur lain. Di akhir pidato, ia mengajak pengusaha internasional menanamkan uang di Indonesia.
Memukau di KTT APEC, pemerintah harus menjadikan forum itu pijakan untuk membangun proyek infrastruktur serta industri manufaktur dan ekspor produk berteknologi tinggi. Indonesia tak boleh hanya menjadi pasar utama produk-produk asing. Indonesia mesti belajar dari Cina, yang mati-matian membangun proyek infrastruktur dan menggandeng investor luar negeri untuk memperkuat daya saing ekspornya.
Dalam pertemuan di Beijing, setidaknya 12 nota kerja sama ditandatangani pengusaha Cina dengan pemerintah Indonesia. Para menteri harus bekerja keras mewujudkan kesepakatan tersebut. Pidato Jokowi tak boleh hanya indah di bibir.
Selama ini, banyak nota kesepahaman dibuhulkan presiden ketika menghadiri forum internasional, seperti KTT APEC, pertemuan negara-negara G-20, atau KTT ASEAN. Sayang, kebanyakan memorandum itu cuma bunga-bunga diplomasi: tak banyak yang menjelma menjadi program yang menggerakkan ekonomi Indonesia.
Tahun lalu, dalam KTT APEC di Nusa Dua, Bali, kesepakatan pembangunan infrastruktur, satu dari sekian nota kesepahaman yang diteken, dibuhulkan. Tapi, di lapangan, pembangunan itu hingga kini belum terlaksana.
Tanpa infrastruktur yang baik, investasi sulit datang. Kondisinya seperti ayam dan telur: yang satu menjadi syarat kehadiran yang lain. Asosiasi Pengusaha Indonesia, misalnya, menyebutkan biaya logistik kita paling mahal di Asia Tenggara. Bila dibandingkan dengan total biaya produksi per unit, bea logistik Indonesia 10-15 persen. Padahal di negara lain tidak sampai lima persen.
Seperti dalam KTT APEC di Cina, dalam Konferensi Negara-negara G-20 di Brisbane, Australia, serta Konferensi ASEAN dan Myanmar—konferensi dalam satu rangkaian perjalanan Presiden—pemerintah harus memetik hasil nyata.
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015, negeri ini tampak ngos-ngosan. Hampir di semua lini, Indonesia tertinggal di belakang negara tetangga. Dalam survei persepsi di kalangan investor dan perusahaan asing, Indonesia bahkan dinilai kalah bersaing dengan negara kecil seperti Vietnam dan Filipina. Indonesia juga hanya mengandalkan ekspor komoditas dengan nilai tambah yang rendah, seperti karet, minyak sawit, dan batu bara. Tak banyak industri manufaktur yang menopang ekonomi kita.
Inilah pekerjaan besar yang harus menjadi prioritas pemerintah Jokowi. Konferensi internasional harus membawa kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya warga Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo