SEORANG ibu berkulit kuning memasuki sebuah toko kosmetik di
Pusat Perdagangan Senen, Jakarta Pusat, menanyakan foundation
apa yang cocok baginya Jawanti, gadis manis berdarah India itu
memperhatikan ibu di hadapannya. Tak lupa ia melempar senyum,
lalu membuka lemari kaca, dan berkata meyakinkan "Ini cocok
untuk wajah ibu. Bisa juga dipakai bila hendak ke resepsi malam
hari." Gadis berwajah bulat telur itu mengoleskan kosmetik
buatan Paris ke lengan calon pembeli.
Calon pembeli mengangguk. Harganya? Bila sudah menyangkut soal
harga, Jawanti menyerahkan urusannya kepada pemilik toko, yang
sejak tadi memperhatikan diam-diam. Jawanti memang bukan pelayan
di toko itu. Ia seorang beauty advisor, atau populer dengan
sebutan b.a. (baca bi-ee), dari perusahaan kosmetik Lancome.
Ada juga yang menamakan jabatan itu sebagai beauty consultant.
Tugasnya memang memberi advis, bagaimana cara memakai produk
kecantikan agar seseorang bisa kelihatan awet muda dan cantik.
Untuk itu petugas seperti Jawanti harus murah senyum dan
mengenakan make-up lengkap. Yang terakhir ini, tentu saja,
sekaligus promosi bagi perusahaan Lancome yang diwakilinya.
Nyonya Gedongan Cerewet
Tapi bagi calon pembeli yang berkocek tipis, tak boleh dipaksa
membeli produksi Lancome. "Kami sarankan ia membeli kosmetik
yang lebih murah," kata Jawanti. Ia sudah satu-setengah tahun
jadi b.a. Jalan enam bulan ia ditempatkan di sebuah toko
kosmetik di Proyek Senen.
Di toko itu ada beberapa b.a. yang mewakili perusahaari lain.
Maka tak jarang di antara mereka terjadi persaingan. Demi
kelancaran bersama, kata Jawanti, ada kode etiknya. "Tak boleh
menjelekkan merk lain."
Penghasilan b.a. Iumayan besarnya. Nyonya Evelina Hutagalung
yang mangkal bersama Jawanti misalnya, mendapat honor per bulan
Rp 100 ribu plus uang makan dan transpor Rp 50 ribu. Ia digaji
oleh perusahaannya, Helena Rubinstein. Berkat hubungan yang baik
dengan pemilik toko, "kalau cuma bakmi saja sih dapat," kata
Evelina. Pemilik toko memang senang atas kehadiran b.a. Di
samping tak memberi honor, omzet penjualan bisa naik. "Pukul
rata ornset penjualan kami naik 30% sebulan," kata pemilik toko.
Nyonya Evelina baru lima bulan mewakili Helena Rubinstein. Dua
tahun sebelumnya ia bekerja untuk perusahaan lain. Ia merasa
senang dengan pekerjaannya sekarang. "Banyak kenalan dan
kebutuhan kosmetik untuk sendiri terjamin," katanya.
Lelyani Wijaya, 21 tahun, b.a. dari Revlon yang ditempatkan di
Aldiron Plaa, Blok M, Jakarta, bahkan sering diundang makan
para langganannya. Sekali waktu, pernah seorang ibu Amerika
mengundang dmner party. Hanya karena malu, katanya, tak semua
undangan dilayani. "Saya sering menolak dengan halus," tutur
bekas jurutik di sebuah perusahaan biskuit itu.
Ada juga hal-hal yang menjengkelkan. "Tante-tante dan nyonya
gedongan sering cerewet kalau hendak membeli kosmetik," kata
Nyonya Lysna dari House of Revlon di Jalan Asia Afrika, Bandung.
Setelah bertanya ini dan itu, sering mereka pergi begitu saja
tanpa membeli.
Sebaliknya, pendatang dari luar kota yang biasanya kurang
pengalaman, dandanan mereka kelihatan norak. Tapi setelah diberi
penjelasan, "mereka mau mengerti," setelah Nyonya Lysna mesti
menjelaskan berulang-ulang. Mereka umumnya awam istilah dalam
dunia kosmetik.
Cowok pun banyak yang datang ke House of Revlon. Mahasiswa ITB
yang suka naik sepeda motor, "sering datang berkonsultasi, takut
wajahnya cepat berkeriput," kata Lysna. Pria setengah baya,
banyak juga yang datang. Mereka umumnya malu-malu. "Beli
kosmetik, alasannya buat nyonya," tambahnya. Nyonya dengan dua
anak ini berpenghasilan antara Rp 75 ribu - Rp 150 ribu sebulan.
Mendapat kosmetik dan tunjangan kesehatan.
Neneng, rekannya yang berkulit kuning langsat, masih mendapat
tambahan komisi karena seringke luarkota. Tahun lalu, dalam
seminggu, paling ia hanya sehari di rumah. "Semua kotamadya dan
kabupaten se Jawa Barat, sudah saya kunjungi," katanya bangga.
Ia masih bebas ke luar kota karena masih single Lagi pula, itu
merupakan kegemarannya seak masih Jadi mahaslswi FE Unpar.
Selalu Jitu
Tugas ke luar kota, Neneng biasanya bersama 2 - 3 orang
temannya. Diantar dengan mobil perusahaan. Di samping senang, ia
juga sering mengelus dada karena kesal. Di Karawang, misalnya,
ia pernah ditolak mentah-mentah seorang pemilik salon. Sia-sia
saja ia menjelaskan, kehadirannya bukan untuk menjual barang,
tapi untuk mendemonstrasikan produk Revlon. Di banyak tempat pun
ia sering ditolak. Namun setelah beberapa kali datang, para
pemilik salon atau toko kosmetik mulai terb,uka. "Bahkan menjadi
langganan tetap kami," katanya senang.
Gadis bertubuh semampai ini mulanya cuma iseng jadi b.a. Ia
sering melihat orang yang salah memoles muka dan ia pun tergerak
untuk menasihati. Nasihat dari orang awam tentu tak akan
didengar Maka ia jadi karyawan perusahaan kosmetik. "Saya tak
pernah menganggap tugas sebagai beban, karena saya memang
menyukainya," katanya.
Kegemaran pada dunia kecantikan nampaknya menjadi dasar, sebelum
seseorang bisa menjadi konsultan kecantikan. Ia pun mesti
menjalani tes dan latihan. Nuning Sri Wahyuningsih, konsultan
dari Helena Rubinstein yang ditempatkan di Toko Wina, di Jalan
Malioboro, Yogyakarta, dididik sebulan lamanya.
Nuning baru delapan bulan jadi konsultan. Sebelumnya, ia
bercita-cita jadi insinyur pertanian. Gagal di PP 1, putri
seorang kolonel AL berusia 22 tahun ini, jadi pramuniaga
keliling sebuah perusahaan yang antara lain menjual semir
sepatu. Ketika berada di sebuah supermarket di Surabaya, ada
seseorang yang menawarinya menjadi b.a. Setelah dites, ia
diterima. Kini penghasilannya Rp 65 ribu/bulan, ditambah bonus
1% dari kosmetik yang terjual di Toko Wina.
Menghadapi calon pembeli yang cerewet atau sok tahu, Nuning
sudah biasa. Ia tak merasa sakit hati atau kecewa. "Sudah
biasa," katanya. Tapi ia sering kecut bila ada pria yang
memandang tajam dan bertanya soal pribadi. Lebih menyakitkan
bila ada ibu-ibu yang memandang sinis. Masih banyak yang
beranggapan, gadis yang memoles tebal mukanya biasanya bukan
orang baik-baik. Padahal, "berdandan merupakan kesukaan saya
sejak kecil," katanya.
"Boss dari Jakarta sering datang mengontrol," kata Nuning. Ia
juga tak bisa bolos sembarangan. Pemilik toko secara berkala
memberi laporan kepada pengawas dari perusahaannya. Jam kerja:
pagi 09.30 - 14.00. Sore 18.00 - 21.00. Setelah ketemu jodoh,
Nuning ingin berhenti jadi konsultan. Ia merencanakan membuka
salon sendiri.
Walau pemakaian kosmetik modern kian meluas, di Solo masih
banyak yang memakai kosmetik tradisional. Nyonya Yona Herman,
pemilik salon dan toko kosmetik Monalisa di Coyudan, termasuk
orang yang gigih menganjurkan pemakaian kosmetik tradisional.
Namanya cukup beken di kalangan wanita Solo.
"Nasihatnya selalu jitu," komentar seorang pelangganannya. Bagi
yang meminta advis, Yona, 30 tahun, yang anggun dan awet muda
ini tak memungut bayaran. Perhitungannya, suatu saat nanti
mereka toh menjadi langganan.
Dalam memberikan konsultan, "saya tak hanya bicara tetek bengek
soal bedak, tapi juga filsafat merak ati itu," kata Yona. Merak
ati ialah sikap gembira, menyenangkan, yang bisa membuat wanita
jadi luwes, cantik dan agung. Yona sendiri, walau keturunan
Cina, berusaha untuk menerapkan falsafah merak ati itu dalam
kehidupan. Tak heran bila ia kelihatan cantik dan anggun.
Akibatnya, banyak yang tak percaya ia cuma memakai kosmetik
buatan dalam negeri. "Saya terpaksa mesti sabar dan meyakinkan
kepada mereka berulang-ulang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini