Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Pensiunan rpkad itu penemu mesin...

Karaeng agus gossery letnan pensiunan rpkad menemukan mesin pemisah serat dan kapas rami. pengalamannya jadi anak angkat jepang, membuatnya ingin mengolah haramay/jutes sendiri.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBUNYA berasal dari Sunda. Ayahnya, orang Bugis dan keluarga tersebut menghabiskan waktu tuanya di Jawa Barat. Karena itu, nama Karaeng Agus Gussery adalah nama yang tidak jamak bagi kebanyakan orang Jawa Barat. Tetapi Karaeng yang satu ini lebih banyak bertingkah laku Sunda, ketimbang Bugis. Cuma tubuhnya yang kekar dan kulitnya yang sedikit gelap, membuktikan bahwa dia adalah orang "seberang". Sebelum memasuki Secapa TNI-AD, Agus pernah mengenyam pendidikan SMA swasta di Batujajar, dekat Bandung. Sejak kecil, kegemarannya bongkar pasang mesin apa saja. Kebiasaan otak-atik ini diteruskannya ketika memasuki dinas militer. Dia juga getol membaca buku-buku teknik -- terutama yang memuat gambar bentuk-bentuk mesin sederhana. Dipelajarinya dan kemudian dicoba bagaimana cara membuatnya. Ketika memasuki dinas militer, laki-laki kelahiran Jasinga ini tetap bergaul erat dengan mesin. Di Kompleks RPKAD Cijantung (Jakarta) yang waktu itu belum dapat listrik. Lampu akan tetap menyala karena Agus mempunyai kegemaran mendandani mesin diesel. Haramay Ketika memasuki MPP, 1970, Agus merasa cemas. Maklum, anaknya ada tujuh orang. Apalagi usianya masih 49 tahun--usia yang dianggap belum tua betul. Kemudian dia mempertaruhkan nasibnya dengan membuka bengkel mesin. Semua mesin-mesin bekas dan besi tua dibelinya dari tukang loak. Mesin diesel yang rusak direparasinya dan dijual kembali. Agus dibantu oleh tiga tukang bubut. Mesin pertama yang berhasil diciptakannya ialah mesin penggiling padi. Penggilingan padi itu kemudian diberinya kode A2, A3, A4 dan A5. Inisial A dari huruf depan namanya, Agus. Angka-angka adalah tahap model penggilingan sesuai dengan kapasitas giling. Dan berapa buah huller sudah dibuatnya? 'Wah, sudah tak terhitung lagi," ujar Agus. Pembelanya banyak yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemudian Agus berhasil mernbuat mesin cetak batako. Bata pres ini juga banyak pembelinya. Dia tidak menyebutkan harga barang-barang ciptaannya. Bengkelnya yang bernama CV. Angsana semakin terkenal dan semakin besar. Bengkelnya di Jalan Kiaracondong di tanah seluas setengah hektar. Selain itu, dia memiliki pula tanah di Lembang, seluas 6 ha. Pada suatu hari Agus kedatangan seorang temannya, petani, dari Garut. Tamunya bercerita tentang orang-orang Jepang yang berusaha membuat bahan sandang dari rami. Agus kemudian teringat masa kecilnya, ketika dia jadi anakangkat seorang Jepang di Jasinga, Bogor. Waktu itu, 1942, usia Agus masih 12 uhun. Ayahnya melarikan diri dari tangkapan Jepang. Tinggal Agus dan seorang pamannya yang kemudian ditangkap Jepang. Karena Agus masih di bawah umur, begitu kisahnya, ia diangkat anak seorang Jepang. Namanya pun diganti menjadi Sabura. Dia dilatih kemiliteran dan bahasa Jepang. Ada sesuatu yang diingatnya ketika "menjadi Jepang" selama 3 tahun itu. Di dalam tangsi, orang-orang Jepang itu menanam haramay, yang entah bagaimana caranya kemudian dijadikan kain. Dia tidak tahu betul bagaimana proses dari tumbuhan haramay sampai siap jadi baju. "Iya, haramay," pikir Agus, "bagaimana memisahkan serat-serat haramay itu ?" Sejak kedatangan petani dari Garut itu, Agus gelisah. "Betul, sejak itu saya tidak bisa tidur pulas," katanya. Sering dia terbangun tengah malam dan otakatik di bengkelnya. Sketsa demi sketsa digambarnya di papan tulis. Delapan bulan lamanya dia mengadakan eksperimen--tapi belum juga berhasil. Sampai suatu malam -- kebetulan malam Jumat--di bulan April lalu. Sekitar pukul 3 pagi, Agus berhasil."Saya hampir gila memikirkan pembuatan mesin ini," katanya penuh kebanggaan. Keesokan harinya, istrinya disuruhnya memasak nasi tumpeng dan potong ayam, untuk upacara syukuran: Sekian puluh malam tak nyenyak tidur dan entah berapa banyak uang sudah keluar untuk percobaan dan semuanya itu tidak sia-sia. "Kalau saya berhasil," kata Agus dengan semangat, "itu berarti kita tidak perlu lagi impor begitu banyak kapas." Haramay alias jute atau herup (Boehmeria nivea) adalah tanaman yang mempunyai batang lurus mirip singkong. Cuma daunnya lebih lebar. Garis tengah batangnya sekitar 2-8 cm. Tanaman sudah bisa dipanen dalam waktu tiga bulan. Cara panennya: potong saja dan dari tumpun-rumpun yang ditebas itu akan muncul tunas baru. Tanaman perlu diperbarui lagi setelah sekitar. 15 tahun lamanya. Jute banyak ditanam penduduk sekitar Klaten (Jawa Tengah), Pematang Siantar, Cintaraja di Sumatera Utara. Dan mesin buatan Karaeng Agus, bukan saja dapat dipakai untuk memisahkan serat dari kulit kayunya, tapi juga berhasil memisahkan serat sehalus kapas yang bisa dipintal menjadi benang. Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil (BBPPIT) Departemen Perindustrian, serat jute ini memiliki sifat yang mutunya setaraf dengan serat linen. Kekuatannya dua kali lebih besar dari linen dan bahkan empat kali lebih kuat dari kapas. Selain itu, warna dan kernilaunya setaraf atau hampir sama dengan sutera alam, meskipun tidak selentur kapas. Kegunaannya pun macam-macam. Tanaman yang mudah tumbuh hanya karena distek ini bisa menghasikan mulai bahan flanel, benang sulam, tekstil, kertas rokok atau kertas untuk mencetak uang kertas, sarnpai ke bahan baku untuk kaus lampu petromaks. Hasil kasarnya yang berwarna rami bisa dijadikan tali, jala ikan atau bahan-bahan kerajinan tangan. Yang akan diperbuat Agus ialah rencana yang lebih besar dari yang sudah-sudah. "Saya ingin mengolah haramayitu sendiri," ujarnya. Ia menolak siapa saja yang akan membeli mesin ciptaannya yang hargaya Rp 2,5 juta setiap unit. Bahan baku diharapkannya dan petani rami atau perkebunan rami kecil milik perorangan. Tiap hektar tanaman jute menghasilkan serat kasar 3 ton setahunnya. Sebagai perbandingan, harga serat polyester Jepang Rp 1.300/kg, kapas lokal Rp 1.400/kg, sedangkan serat rami halus cuma Rp 600/kg. Dari perbedaan harga teserbut Agu berani berkata berkobar-kobar: "Karena itu saya menyarankan suatu revolusi bahan baku tekstil." Usahanya ini sudah diketahui Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi. Ia jugasudah mengirim surat kepada Menteri Sekretaris Negara Sudharmono. Jawaban? "Itu yang sedang kami tunggu," kata Agus, agar mesit ciptaannya dipamerkan di depan Presiden Soeharto dan pejabat tinggi lainnya. Selain itu, Agus sedang mengajukan permohonan kredit sebesar Rp 2 milyar. "Semua harta saya yang ada (bengkel, tanah, rumah dan mobil) saya jadikan: jaminan," katanya. Agus yakin bahwa, rencananya bukanlah sekedar mimpi "Lampu hijau sudah saya dapat dari Gubernur," ujarnya lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus