IBUNYA berasal dari Sunda. Ayahnya, orang Bugis dan keluarga
tersebut menghabiskan waktu tuanya di Jawa Barat. Karena itu,
nama Karaeng Agus Gussery adalah nama yang tidak jamak bagi
kebanyakan orang Jawa Barat. Tetapi Karaeng yang satu ini lebih
banyak bertingkah laku Sunda, ketimbang Bugis. Cuma tubuhnya
yang kekar dan kulitnya yang sedikit gelap, membuktikan bahwa
dia adalah orang "seberang".
Sebelum memasuki Secapa TNI-AD, Agus pernah mengenyam pendidikan
SMA swasta di Batujajar, dekat Bandung. Sejak kecil,
kegemarannya bongkar pasang mesin apa saja. Kebiasaan otak-atik
ini diteruskannya ketika memasuki dinas militer.
Dia juga getol membaca buku-buku teknik -- terutama yang memuat
gambar bentuk-bentuk mesin sederhana. Dipelajarinya dan kemudian
dicoba bagaimana cara membuatnya. Ketika memasuki dinas militer,
laki-laki kelahiran Jasinga ini tetap bergaul erat dengan mesin.
Di Kompleks RPKAD Cijantung (Jakarta) yang waktu itu belum dapat
listrik. Lampu akan tetap menyala karena Agus mempunyai
kegemaran mendandani mesin diesel.
Haramay
Ketika memasuki MPP, 1970, Agus merasa cemas. Maklum, anaknya
ada tujuh orang. Apalagi usianya masih 49 tahun--usia yang
dianggap belum tua betul. Kemudian dia mempertaruhkan nasibnya
dengan membuka bengkel mesin. Semua mesin-mesin bekas dan besi
tua dibelinya dari tukang loak. Mesin diesel yang rusak
direparasinya dan dijual kembali.
Agus dibantu oleh tiga tukang bubut. Mesin pertama yang berhasil
diciptakannya ialah mesin penggiling padi. Penggilingan padi itu
kemudian diberinya kode A2, A3, A4 dan A5. Inisial A dari huruf
depan namanya, Agus. Angka-angka adalah tahap model penggilingan
sesuai dengan kapasitas giling. Dan berapa buah huller sudah
dibuatnya? 'Wah, sudah tak terhitung lagi," ujar Agus.
Pembelanya banyak yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kemudian Agus berhasil mernbuat mesin cetak batako. Bata pres
ini juga banyak pembelinya. Dia tidak menyebutkan harga
barang-barang ciptaannya.
Bengkelnya yang bernama CV. Angsana semakin terkenal dan semakin
besar. Bengkelnya di Jalan Kiaracondong di tanah seluas setengah
hektar. Selain itu, dia memiliki pula tanah di Lembang, seluas 6
ha.
Pada suatu hari Agus kedatangan seorang temannya, petani, dari
Garut. Tamunya bercerita tentang orang-orang Jepang yang
berusaha membuat bahan sandang dari rami. Agus kemudian teringat
masa kecilnya, ketika dia jadi anakangkat seorang Jepang di
Jasinga, Bogor.
Waktu itu, 1942, usia Agus masih 12 uhun. Ayahnya melarikan diri
dari tangkapan Jepang. Tinggal Agus dan seorang pamannya yang
kemudian ditangkap Jepang. Karena Agus masih di bawah umur,
begitu kisahnya, ia diangkat anak seorang Jepang. Namanya pun
diganti menjadi Sabura. Dia dilatih kemiliteran dan bahasa
Jepang.
Ada sesuatu yang diingatnya ketika "menjadi Jepang" selama 3
tahun itu. Di dalam tangsi, orang-orang Jepang itu menanam
haramay, yang entah bagaimana caranya kemudian dijadikan kain.
Dia tidak tahu betul bagaimana proses dari tumbuhan haramay
sampai siap jadi baju. "Iya, haramay," pikir Agus, "bagaimana
memisahkan serat-serat haramay itu ?"
Sejak kedatangan petani dari Garut itu, Agus gelisah. "Betul,
sejak itu saya tidak bisa tidur pulas," katanya. Sering dia
terbangun tengah malam dan otakatik di bengkelnya. Sketsa demi
sketsa digambarnya di papan tulis. Delapan bulan lamanya dia
mengadakan eksperimen--tapi belum juga berhasil.
Sampai suatu malam -- kebetulan malam Jumat--di bulan April
lalu. Sekitar pukul 3 pagi, Agus berhasil."Saya hampir gila
memikirkan pembuatan mesin ini," katanya penuh kebanggaan.
Keesokan harinya, istrinya disuruhnya memasak nasi tumpeng dan
potong ayam, untuk upacara syukuran: Sekian puluh malam tak
nyenyak tidur dan entah berapa banyak uang sudah keluar untuk
percobaan dan semuanya itu tidak sia-sia. "Kalau saya berhasil,"
kata Agus dengan semangat, "itu berarti kita tidak perlu lagi
impor begitu banyak kapas."
Haramay alias jute atau herup (Boehmeria nivea) adalah tanaman
yang mempunyai batang lurus mirip singkong. Cuma daunnya lebih
lebar. Garis tengah batangnya sekitar 2-8 cm. Tanaman sudah bisa
dipanen dalam waktu tiga bulan. Cara panennya: potong saja dan
dari tumpun-rumpun yang ditebas itu akan muncul tunas baru.
Tanaman perlu diperbarui lagi setelah sekitar. 15 tahun lamanya.
Jute banyak ditanam penduduk sekitar Klaten (Jawa Tengah),
Pematang Siantar, Cintaraja di Sumatera Utara.
Dan mesin buatan Karaeng Agus, bukan saja dapat dipakai untuk
memisahkan serat dari kulit kayunya, tapi juga berhasil
memisahkan serat sehalus kapas yang bisa dipintal menjadi
benang. Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri
Tekstil (BBPPIT) Departemen Perindustrian, serat jute ini
memiliki sifat yang mutunya setaraf dengan serat linen.
Kekuatannya dua kali lebih besar dari linen dan bahkan empat
kali lebih kuat dari kapas. Selain itu, warna dan kernilaunya
setaraf atau hampir sama dengan sutera alam, meskipun tidak
selentur kapas.
Kegunaannya pun macam-macam. Tanaman yang mudah tumbuh hanya
karena distek ini bisa menghasikan mulai bahan flanel, benang
sulam, tekstil, kertas rokok atau kertas untuk mencetak uang
kertas, sarnpai ke bahan baku untuk kaus lampu petromaks. Hasil
kasarnya yang berwarna rami bisa dijadikan tali, jala ikan atau
bahan-bahan kerajinan tangan.
Yang akan diperbuat Agus ialah rencana yang lebih besar dari
yang sudah-sudah. "Saya ingin mengolah haramayitu sendiri,"
ujarnya. Ia menolak siapa saja yang akan membeli mesin
ciptaannya yang hargaya Rp 2,5 juta setiap unit. Bahan baku
diharapkannya dan petani rami atau perkebunan rami kecil milik
perorangan. Tiap hektar tanaman jute menghasilkan serat kasar 3
ton setahunnya. Sebagai perbandingan, harga serat polyester
Jepang Rp 1.300/kg, kapas lokal Rp 1.400/kg, sedangkan serat
rami halus cuma Rp 600/kg.
Dari perbedaan harga teserbut Agu berani berkata
berkobar-kobar: "Karena itu saya menyarankan suatu revolusi
bahan baku tekstil." Usahanya ini sudah diketahui Gubernur Jawa
Barat Aang Kunaefi. Ia jugasudah mengirim surat kepada Menteri
Sekretaris Negara Sudharmono. Jawaban? "Itu yang sedang kami
tunggu," kata Agus, agar mesit ciptaannya dipamerkan di depan
Presiden Soeharto dan pejabat tinggi lainnya. Selain itu, Agus
sedang mengajukan permohonan kredit sebesar Rp 2 milyar. "Semua
harta saya yang ada (bengkel, tanah, rumah dan mobil) saya
jadikan: jaminan," katanya. Agus yakin bahwa, rencananya
bukanlah sekedar mimpi "Lampu hijau sudah saya dapat dari
Gubernur," ujarnya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini