Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Abidin terpukau pada Sumatera Barat. Begitu banyak orang di sana yang tergila-gila pada kegiatan berburu babi hutan. Anjing pemburu dicintai jauh melebihi anak kandung sendiri. "Bahkan ada yang rela menunda penguburan ibu kandungnya hanya karena sudah merencanakan berburu babi hutan," kata Zainal dalam sebuah percakapan dengan Tempo.
Gagasan-gagasan pun bergulat liar di benak Zainal. Dia tidak mau membiarkan drama kehidupan nyata ini menguap begitu saja. "Saya ambil kamera dan mulai merekam," kata Zainal. Tak lama waktu berlalu, Zainal berhasil merampungkan filmnya yang diberi judul A Dog's Life. Film yang sukses menyabet penghargaan kedua dalam Festival Film Independen (FFII) yang digelar SCTV, 2003.
Zainal adalah satu dari banyak anak muda yang tengah gandrung memilih bikin film sebagai alternatif baru kegiatan di luar sekolah. Belakangan ini kian banyak anak muda seperti dia. Dengarlah Teguh, pelajar kelas III SMA di Jakarta. "Bikin film itu keren abis, man. Lu bisa mejeng di TV, banyak kenalan orang beken, dan yang terpenting, lu bisa mengekspresikan apa yang lu mau," katanya. Itulah sebabnya, Teguh tak segan menghabiskan tabungan untuk membeli kamera tangan (handycam) digital seharga Rp 3 juta. "Ini barang second hand. Enggak masalah, yang penting bisa bikin film," kata Teguh.
Lihat pula Dennis Adhiswara, 22 tahun. Dia menghabiskan dana 300 ribu perak untuk memproduksi film pendek berjudul Rhama Zulfikar, pada 2001. Film komedi bergaya Rhoma Irama ini dibuat dengan kamera Mini DV. "Enam orang pemain merangkap sebagai kru film," kata Dennis. Ia perlu waktu enam hari untuk pengambilan gambar dan seminggu untuk proses penyuntingan. Kerja Dennis berbuah. Rhama Zulfikar bahkan sampai menyambangi Toronto, Kanada, dan Singapura untuk mengikuti festival film independen bertaraf internasional.
Zaman memang sedang berubah. Setidaknya satu dekade lalu, membuat film identik dengan proses yang mahal dan elitis. Cuma segelintir orang dengan kekayaan dan kemampuan teknis tinggi yang sanggup menghasilkan film.
Kini, revolusi teknologi digital telah membuat harga kamera lebih terjangkau. Pengoperasian kamera pun tak lagi menuntut kemampuan teknis selangit. Kemudahan makin ditunjang arus informasi internet dan TV yang memperlancar pertukaran ide. Membuat film indie pun menjadi aktivitas yang menggoda. Apalagi, tema yang bisa dimunculkan amat beragam sesuai keinginan si pembuat. "Film indie pun menjelma menjadi bentuk seni yang demokratis. Cocok dengan jiwa muda," kata Garin Nugroho, sutradara senior.
Minat membuat film indie makin subur dengan banyaknya festival. Beberapa perusahaan dan lembaga, misalnya SCTV, Close Up, Konfiden (Kelompok Film Independen), menggelar ajang kompetisi film indie. Pekan-pekan ini pun sedang berlangsung proses penjurian Festival Film Independen yang digelar Badan Pembinaan Perfilman Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Pada umumnya, anak-anak muda ini mengawali minat mereka dengan kongkow-kongkow di berbagai komunitas penikmat film. Konfiden, Kineklub Gedung 28, Ruang Rupa, Pop Corner, Kelompok Blimbing (mahasiswa Institut Kesenian JakartaIKJ), adalah beberapa contoh komunitas penikmat film. Komunitas ini, sayangnya, sering timbul tenggelam karena ketiadaan regenerasi pengurus yang intensif.
Dari sekadar berdiskusi, mereka menjajal kemampuan membikin film. "Dulu, waktu saya melihat kakak bikin film, kok kayaknya ribet banget. Tapi setelah menjalani sendiri, asyik juga," kata Angga Sasongko, 19 tahun.
Angga pun melangkah. Sejak dua tahun lalu, mahasiswa Jurusan Broadcasting, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Indonesia, ini mulai berkarya. Enam film pendek lahir dari tangannya. Film terakhirnya, Ladies Room, tentang adegan dalam ruang ganti di sebuah toko pakaian, bahkan meraih Close-Up Movie Competition 2004.
Mirip Angga, Dennis memulai karier filmnya dengan bermain-main memakai kamera tangan ayahnya. Bintangnya adalah boneka-boneka tentara kecil. Dennis kecil, waktu itu masih duduk di bangku SD, bahkan sudah mampu membuat efek sederhana meski hanya sekadar memunculkan dan menghi-langkan gambar orang.
"Baru SMA kelas III saya bergabung dengan Pop Corner, lalu ikut workshop film mereka." Pop Corner adalah salah satu komunitas anak muda yang menggeluti dunia budaya pop. Kini di usia 22 tahun Dennis telah menghasilkan empat film pendek, semuanya komedi, yakni Sudah Sore Sebentar Lagi Jam Lima Cepat Pulang, Rhama Zulfikar, El Meler, dan terakhir Kwalitet Dua.
Lain lagi kisah Lulu Ratna, 32 tahun. Ia mengaku membuat film pada awalnya hanya sebagai sarana untuk berbagi pengalaman hidupnya. "Ibaratnya kalau orang menulis di buku harian, maka saya membuat film untuk berbagi dengan orang lain," katanya. Lulu lebih memilih jenis dokumenter sebagai sarana berekspresi.
Sesungguhnya, Lulu lebih tertarik pada dunia musik. "Kemudian saya sadar bahwa aturan main dunia musik sudah terbentuk ketat. Mau jadi promotor mesti punya uang banyak," katanya. Hal-hal yang kompleks semacam ini tidak ada di dunia film indie. "Kalau enggak punya uang, tinggal pinjam atau sewa kamera, beres," kata Lulu. Sejauh ini, Lulu telah menghasilkan tiga film dokumenter pendek, yakni Bus Kota (2003), Crooswijk (2004), dan My Right Wing (2004). Semua gambar diambilnya sambil jalan-jalan ke beberapa kota di dunia kala mengikuti sejumlah festival film internasional.
Alex Komang, sineas senior menyambut baik kemunculan anak-anak muda dan komunitas film seperti ini. Dia tidak berharap semua menjadi seniman film. "Pada saatnya mereka akan mencari lebih dalam bahwa film juga ada ilmunya, tentang fotografi, sinematografi dan estetika, dramaturgi," katanya. Mestinya, Alex melanjutkan, pemerintah turut serta memupuk minat anak-anak muda ini, misalnya dengan cara menggelar berbagai lokakarya perfilman. "Bahwa anak-anak muda ini berkumpul dengan satu minat, punya waktu, punya energi. Itu saja sudah merupakan kekuatan yang harus dimanfaatkan," kata Alex.
Alex menambahkan, film indie tidak punya beban produknya harus laku di pasar. Sebuah beban yang kerap menghambat kreativitas produksi film mainstream. Walhasil, film indie bebas bercerita tentang apa saja dan dengan teknik mana suka. Eksperimen sebebas apa pun terbuka. Inilah yang rupanya menjadikan film indie jadi berkesan keren dan top.
Namun, biarpun tak harus komersial, para pembuat film indie juga mendambakan hasil karyanya ditonton orang secara luas. "Saya punya jurus rahasia," kata Dennis yang dikenal sebagai bintang iklan ini. Dennis menyalin karyanya ke dalam cakram digital (CD) kosong seharga Rp 2.500 per keping. Salinan CD diberikan gratis kepada siapa pun yang ingin menonton karyanya.
Jurus ini, Dennis melanjutkan, meniru bandar narkoba dalam memasarkan produknya. "Beri gratis. Kalau ketagihan, mereka yang akan mencari kita," katanya sambil terbahak. Ada pula kalimat kunci yang digunakan Dennis untuk menyapa pemirsa. "Halo, saya Dennis. Saya membuat film-film goblok. Jadi, selamat menonton dan tertawa."
Utami Widowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo