Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Buka Pintu ala Gedung Bundar

Sejumlah kasus yang dihentikan penyidikannya oleh kejaksaan akan dibuka kembali. Seriuskah?

1 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum genap seminggu menjabat, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh langsung tancap gas. Jaksa Arman?begitu ia biasa dipanggil?menyatakan akan membuka kembali semua kasus yang diberi Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh jaksa. "Semua perkara korupsi yang di-pending maupun yang dalam pengusutan segera diperiksa dan dilaporkan kepada saya," kata Jaksa Agung awal pekan lalu.

Segampang itukah membuka kasus SP3? Menurut Lukman Bachmid, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI, sebenarnya untuk membuka SP3 hanya perlu dua syarat. "Satu, kasus itu ternyata dianggap cukup bukti. Dua, ada bukti baru atau novum," katanya. Dalam banyak kasus SP3, menurut dia, alasan ketiadaan alat bukti lebih dominan.

Tapi fakta berkata, alasan alat bukti itu mirip akrobat jaksa. Dalam kasus-kasus yang diberi SP3, buka-tutup kasus bukan hal baru. Misalnya, kasus Djoko Ramiadji yang dituduh merugikan keuangan negara sekitar Rp 301 miliar dengan menyalahgunakan Commercial Paper (CP) Hutama Karya dalam pembangunan Jakarta Outer Ring Road (JORR).

Kasus ini pernah di-SP3-kan pada September 1999, lantas dibuka lagi pada Mei 2001. Tak berapa lama, muncul SP3 lagi. Alasannya pun sama, pihak penyidik tak memiliki alat bukti yang cukup. Menurut Soehandoyo, juru bicara kejaksaan waktu itu, saksi kunci tak bisa diperiksa jaksa. "Lesmana Basuki, bos Sejahtera Bank Umum, sebagai penyelenggara penerbitan CP Hutama Karya, raib entah ke mana," katanya.

Contoh lain adalah kasus mantan presiden Soeharto yang menjadi tersangka karena dugaan penyalahgunaan dana yayasan senilai Rp 1,7 triliun. Kasus ini pernah di-SP3-kan, tapi kemudian dibuka kembali.

Kasus-kasus besar yang mendapat SP3, memang terhitung kelas kakap. Artinya, kerugian negara tergolong besar. Bila jaksa mengaku tak menemukan unsur pidana dalam kasus sebesar gajah itu, tentu orang geregetan. Ini misalnya terjadi dalam SP3 kasus Kanindotex, Agustus lalu. Alasan jaksa, kasus Kanindotex bukanlah kasus pidana dan tidak ada indikasi kerugian negara.

Padahal, dalam kasus yang diduga merugikan negara Rp 300 miliar itu, pada awalnya jaksa menemukan indikasi mark up fasilitas letter of credit oleh tersangka Johanes Kotjo melalui PT Apac Century Corporation (Acen) sebesar USS 42 juta yang berakibat post financing US$ 28 juta. Selain Kotjo (Presiden Komisaris PT Kanindotex), tersangka lain dalam kasus ini adalah Robby Djohan (Presiden Direktur PT Kanindotex).

Begitu juga kasus dugaan korupsi proyek penanaman hutan oleh Prajogo Pangestu. Berdasarkan penelitian Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Prajogo melalui PT Musi Hutan Persada telah menyalahgunakan dana reboisasi sebesar Rp 331 miliar. Praktek haram ini dilakukan dengan cara mengakali areal tanaman HTI seluas 75.499,59 hektare, dari total areal tanaman seluas 118.000,41 hektare menjadi 193.500 hektare. Ia juga "dihadiahi" SP3.

Dalam kasus Prajogo, kejaksaan berpegang pada keterangan ahli dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. "Secara fisik, proyek yang dilaksanakan Prajogo sudah sesuai bujet Departemen Kehutanan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Antasari Azhar, September lalu. Artinya, penyimpangan luas lahan dan penggelembungan nilai proyek tidak terbukti. Soal kepatutan publik juga kadang "tersenggol" dalam pemberian SP3. Ini terjadi dalam kasus Sjamsul Nursalim. Kasus yang dibuka pada masa Jaksa Agung Marzuki Darusman menyeret mantan Direktur Utama Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu karena dugaan penyelewengan dana BLBI Rp 28,4 triliun. Ketika asetnya disita oleh BPPN, nilainya hanya Rp 27,4 triliun. Namun, baru satu hari mendekam di tahanan Kejaksaan Agung, April 2001, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Chalid Kharim Leo memberinya izin berobat ke Jepang. Sejak itu, ia buron.

Berdasarkan skema Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) ternyata Sjamsul hanya "diwajibkan" menyetor Rp 1 triliun. Pada Desember 2002, Itjih Nursalim, istrinya, bersedia meneken letter of undertaking (surat penyerahan aset pelunasan utang) ke BPPN. Nilainya cuma 5 persen atau sekitar Rp 1,4 triliun dari keseluruhan dana BLBI yang dikemplang. Karena langkahnya ini, berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002, yang mengatur pelepasan tuntutan hukum atas konglomerat bermasalah, Sjamsul bebas karena dianggap sebagai debitor kooperatif.

Setali tiga uang dengan kasus Sjamsul adalah kasus lama yang membelit Marimutu Sinivasan. Kasus penyalahgunaan kredit ekspor dari Bank BNI sebesar Rp 9,8 triliun juga berbuntut SP3, Mei 2000. Padahal, kredit yang diajukan fiktif alias Texmaco tak mendapat order ekspor. Dan pinjaman tersebut dibelokkan untuk membayar pinjaman jangka pendek. Total pinjaman Texmaco kepada perbankan mencapai Rp 29 triliun.

Alasan jaksa, unsur pidana telah hilang karena tindakan Texmaco telah mendapat persetujuan Dewan Direksi Bank Indonesia?sebelum berubah menjadi Dewan Gubernur BI. Unsur kerugian negara juga dianggap belum muncul karena nilai aset Texmaco dianggap bisa menutup seluruh utangnya. Namun, akibat utang Texmaco, Bank BNI kolaps sehingga pemerintah terpaksa menyetor dana rekapitulasi yang mencapai Rp 7 triliun tiap tahun.

Daftar penerima SP3 bisa jadi akan memanjang bila Jaksa Agung Arman tak tegas. Isyarat penambahan tersebut sempat dinyatakan oleh Antasari Azhar terhadap para terdakwa kasus Bank Bali, yakni Rudy Ramli (mantan Direktur Utama Bank Bali), Tanri Abeng (mantan Menteri Pendayagunaan BUMN), Erman Munsyir (pegawai BI) dan Setya Novanto (anggota DPR dari Partai Golkar). Alasannya, para terdakwa kasus tersebut yang diseret jaksa ke pengadilan, seperti Djoko Tjandra, Pande Lubis dan Syahril Sabirin, malah diputus bebas. "Jadi, buat apa lagi diajukan kalau dibebaskan?" kata Antasari.

Arif A. Kuswardono, Istiqomatul Hayati


Para Penerima SP3

Dugaan korupsi TAC
Tersangka: Ginandjar Kartasasmita, Faisal Abda'oe, Praptono H.T. Kerugian: US$ 24,8 juta atau Rp. 223,2 miliar

Dugaan korupsi dana BLBI
Tersangka: Sjamsul Nursalim Kerugian: Rp 10,9 triliun

Dugaan korupsi dana Jamsostek
Tersangka: Abdul Latief dan Abdullah Nusi Kerugian: Rp 62 miliar

Dugaan korupsi di BRI
Tersangka: Prijadi, Djoko Santoso, The Ning King, dan Djoko S. Tjandra Kerugian: Rp 10 triliun

Dugaan korupsi fasilitas kredit PT Texmaco
Tersangka: Marimutu Sinivasan Kerugian: Rp 9,8 triliun

Dugaan korupsi dana BLBI oleh Bank Dagang Industri (BDI)
Tersangka: Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Adriansyah Umar Maki Kerugian: Rp 418 miliar

Dugaan korupsi dana JORR
Tersangka : Djoko Ramiadji Kerugian: Rp 209 miliar dan US$ 105 juta

Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa
Tersangka: Siti Hardijanti Rukmana, Faisal Abda'oe, Rosano Barrack Kerugian: Rp 183 miliar atau US$ 20, 4 juta

Dugaan korupsi proyek reboisasi PT Musi Hutan Persada
Tersangka: Prajogo Pangestu Kerugian: Rp 331 miliar

Dugaan korupsi proyek JITC/Pelindo II
Tersangka: Tanri Abeng Kerugian: Rp 12,9 miliar

Dugaan mark up Kanindotex
Tersangka: Johanes Kotjo dan Robby Tjahyadi Kerugian: Rp 300 miliar

Kasus Korupsi Asrama Haji Solo
Tersangka: Soewardi (mantan Gubernur Jawa Tengah) Kerugian: Rp 19 miliar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus