Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Surat Sakti Menjelang Lengser

Keluarnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas Ginandjar memancing tanda tanya. Agenda Jaksa Agung baru.

1 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Ginandjar Kartasasmita yang semringah tiba-tiba cemberut. Senyumnya sirna. Seketika air muka Ketua Dewan Perwakilan Daerah itu berubah ketika Tempo mencegat dan menanyakan keluarnya surat perintah penghentian penyidikan kasus technical assistance contract (TAC) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas, yang dikeluarkan Kejaksaan Agung pada 12 Oktober lalu.

Dengan keluarnya surat perintah itu, praktis Ginandjar lolos dari jerat hukum. Statusnya sebagai tersangka tanggal. "Saya tidak mau mengomentari soal itu," katanya ringkas, seraya melangkah keluar dari ruang kerjanya di Gedung MPR/DPR, Rabu pekan lalu.

Ketika reformasi bergulir, tangkas ia meloncat dari kubu Soeharto, menyatakan mundur sebagai menteri. Ginandjar lalu jadi Wakil Ketua MPR. Ketika itulah namanya dikaitkan dengan kasus TAC untuk pengeboran empat sumur minyak di Sumatera Selatan dan Jawa Barat, pada Desember 1992 dan Februari 1993.

Perjanjian menyangkut proyek pengeboran sumur minyak di lapangan Bunyu dan Prabumulih, serta Jatibarang dan Pendopo, ini diawali masuknya Ustraindo dengan proposal yang menjanjikan. Mereka menjamin memiliki teknologi pengeboran supercanggih yang bisa melipatgandakan produktivitas sumur minyak.

Sebagai Menteri Pertambangan dan Energi serta Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) waktu itu, Ginandjar diduga menyalahgunakan wewenangnya. Surat persetujuan proyek antara Ustraindo dan Pertamina diteken Ginandjar beberapa saat sebelum ia ditunjuk sebagai Ketua Bappenas?jabatannya hingga 1998.

Proyek ini kemudian ditengarai menimbulkan kerugian uang negara US$ 24,8 juta. Sebab, belakangan, Pertamina mesti membayar Rp 5 miliar plus 200 ribu barel minyak per hari sebagai pengganti biaya uji kelayakan. Artinya, bantuan teknis yang mestinya ditujukan untuk memulihkan produktivitas sumur yang sudah kering sebenarnya tidak diperlukan. Keempat sumur bahkan dinilai masih deras menyemburkan minyak.

Kasus TAC ini mencuat pada November 2000, ketika Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama Pertamina, Faisal Abda'oe, dan Direktur Utama PT Ustraindo Petro Gas, Praptono Honggopati Tjitrohupoyo, sebagai tersangka. Empat bulan kemudian Kejaksaan Agung juga menetapkan Ginandjar sebagai tersangka.

Namun pemeriksaan terhadap Ginandjar tidak mudah. Tim pengacaranya mengatakan, ketika kasus itu terjadi, Ginandjar adalah perwira aktif dan berpangkat marsekal muda. Untuk memeriksanya diperlukan izin Panglima TNI. Tim pengacara juga menyatakan, yang berhak menyidik kasus Ginandjar adalah polisi militer atau tim tetap, bukan aparat kejaksaan.

Kejaksaan Agung, yang ketika itu dipimpin Marzuki Darusman, tetap bersikukuh menyidik Ginandjar, bahkan sempat menjebloskannya ke ruang tahanan. Ginandjar mengajukan praperadilan atas penahanannya itu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan kemudian mengabulkan gugatan ini. Ia dikeluarkan dari tahanan, dan kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Setelah vakum hampir setahun, pada Maret 2002 keluar putusan kasasi MA yang menyatakan penyidikan atas Ginandjar sah. Lantaran tak mau gagal lagi, kejaksaan membentuk tim koneksitas yang terdiri dari unsur TNI dan kejaksaan?masing-masing lima orang. Tim yang dipimpin Jaksa Soewandi ini pada September 2002 memulai lagi memeriksa Ginandjar.

Kejaksaan juga meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit pelaksanaan TAC. Pada Februari 2003, kejaksaan menyatakan kasus Ginandjar masih perlu pendalaman untuk menemukan bukti adanya unsur dugaan perbuatan melawan hukum.

Tiba-tiba muncullah SP3 itu, dengan alasan tidak cukup bukti. "Tapi, jika di kemudian hari ada bukti dan alasan baru, penyidikan dapat dilakukan kembali," demikian bunyi SP3 yang ditandatangani Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Sudhono Iswahyudi.

Seorang jaksa penyidik yang tak mau disebut namanya mengatakan, hasil audit BPKP tidak menemukan dugaan kerugian negara dalam pelaksanaan proyek TAC itu. "Jadi kasus ini harus dihentikan," katanya. Menurut sang jaksa, tim penyidik koneksitas sebelumnya juga meminta pendapat empat ahli pertambangan dari ITB, Universitas Pembangunan Nasional, dan Pertamina.

Keempat ahli itu menyatakan tidak ada yang salah dengan kasus TAC. "Jika ahli dari perguruan tinggi menyatakan kontrak itu salah, sementara ahli dari Pertamina menyatakan tak bermasalah, kejaksaan akan langsung memberkas perkara itu," ujar sang jaksa.

Menurut dia, setelah ditelusuri berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, proyek itu memang dimungkinkan tidak melalui tender. Jikapun dilakukan tender, harus ada pembandingnya. "Ketika itu pembandingnya tidak ada," katanya.

Demikian pula terhadap penerapan proyek TAC itu. Banyak kalangan berpendapat proyek TAC tidak tepat karena dilakukan terhadap sumur produktif. "Tapi, dari hasil pemeriksaan, tidak ada yang melarang proyek itu diterapkan ke sumur produktif," katanya.

Di luar itu, menurut jaksa tadi, peran Ginandjar hanya sebatas penanda tangan kontrak antara Pertamina dan Ustraindo. Ginandjar meneken TAC pada 31 Desember 1992 untuk lapangan Bunyu, dan pada 27 Februari 1993 untuk tiga lapangan pengeboran lainnya. Adapun sejak 17 Maret 1993, Ginandjar sudah tidak lagi menjabat Menteri Pertambangan dan Energi serta Ketua DKPP.

Akibatnya, jika dalam pelaksanaan proyek itu ada masalah, bukan tanggung jawabnya lagi. "Kecuali jika dalam kontrak ada masalah, meski dalam pelaksanaan pekerjaan proyek itu benar, Ginandjar bisa dijerat hukum," katanya.

Bagaimanapun, keluarnya SP3 ini memancing reaksi keras dari Indonesia Corruption Watch. "Ini tamparan bagi Jaksa Agung baru," ujar Koordinator ICW, Teten Masduki. Menurut Teten, selama ini pemberian SP3 selalu memakai pola sama: dilakukan diam-diam. "SP3 diberikan kepada para tersangka korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar," ujarnya.

Teten mengharapkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memeriksa kasus ini lagi. Jaksa Soewandi, yang memimpin penyidikan kasus TAC, mengatakan tidak ada masalah jika hasil penyidikannya dievaluasi. Ia bahkan telah menyerahkan laporan hasil penyidikan kasus TAC kepada Jaksa Agung. "Biar dievaluasi, tidak ada masalah," kata Soewandi.

M. Assegaf, pengacara Ginandjar, juga menyatakan tak gentar jika kasus kliennya dibuka kembali. "Kami sangat siap membuktikan kasus itu bukan korupsi, dan tidak cukup bukti untuk dilimpahkan ke pengadilan," katanya. Ia bahkan mengaku heran pada tindakan kejaksaan yang mengumumkan SP3 itu setelah jauh hari BPKP menyatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus itu.

"Saya tidak tahu alasan mengumumkan SP3 itu dua hari sebelum Kejaksaan Agung berganti pimpinan," ujarnya. Menurut Assegaf, kejaksaan sejak awal telah melakukan kesalahan, terburu-buru menetapkan Ginandjar sebagai tersangka. "Akibatnya, publik menagih terus," katanya.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh belum menjawab pasti apakah akan membuka lagi kasus ini. Ia hanya menegaskan, semua kasus korupsi besar yang menyita perhatian masyarakat, atau yang dihentikan penyidikannya, akan menjadi prioritas utamanya untuk dievaluasi kembali. "Ini komitmen saya," katanya. Menyimak jawaban ini, bisa jadi kasus Ginandjar akan masuk agenda kerjanya.

Sukma N. Loppies, Danto


Perjalanan Kasus Ginandjar

November 2000 Kasus TAC (technical assitance contract) antara PT Ustraindo Petro Gas dan Pertamina yang diduga merugikan negara US$ 24,8 juta mencuat ke publik. Penandatangan kontrak ini dilakukan pada 1992, ketika Ginandjar Kartasasmita menjabat Menteri Pertambangan. Kejaksaan menetapkan Direktur Utama Pertamina Faisal Abda'oe dan Direktur Utama PT Ustraindo Petro Gas Praptono H. Tjitrohupoyo sebagai tersangka.

Maret 2001 Ginandjar dijadikan tersangka karena menyetujui kontrak itu. Kejaksaan belum bisa memeriksa Ginandjar karena ia sedang mengikuti program belajar di Boston.

21 Maret 2001 Kejaksaan Agung menahan Faisal Abda'oe. Tim pengacara Ginandjar menyatakan kliennya tidak diperiksa karena belum ada izin dari Panglima TNI. Ketika kasus itu mencuat, menurut pengacara Ginandjar, kliennya adalah perwira aktif berpangkat marsekal muda.

27 Maret 2001 Ginandjar datang ke Kejaksaan Agung sebagai saksi. Ia mengaku sakit dan meminta diperiksa dokter pribadinya di RS Pertamina. Permintaan itu ditolak. Ginandjar sempat meninggalkan kejaksaan dan ketika itu disebut-sebut ia "melarikan diri".

28 Maret 2001 Ginandjar masuk RS Pertamina dan dirawat di sana.

3 April 2001 Tim pengacara Ginandjar mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan.

8 April 2001 Ginandjar dipindahkan dari RS Pertamina ke rumah tahanan Kejaksaan Agung.

17 April 2001 Putusan praperadilan menyatakan penahanan Ginandjar tidak sah sebelum tanggal 9 April. Tapi tidak ada perintah untuk mengeluarkan Ginandjar dari tahanan.

19 April 2001 Ginandjar kembali mengajukan gugatan praperadilan. Ia menilai penahanan atas dirinya tidak sah.

2 Mei 2001 Ginandjar keluar dari tahanan berdasarkan putusan praperadilan yang kedua. Kejaksaan mengajukan kasasi ke MA. Penyidikan dilanjutkan dengan membentuk tim koneksitas. Kejaksaan membebaskan tersangka Faisal Abda'oe dan Praptono.

Januari 2002 Berkas praperadilan kasus Ginandjar dikirim PN Jakarta Selatan ke MA. Ada keterlambatan dari PN Jakarta Selatan dengan alasan disket rusak.

Maret 2002 MA mengabulkan kasasi kejaksaan dalam praperadilan kasus Ginandjar. Putusan ini membatalkan praperadilan PN Jakarta Selatan. MA memerintahkan penyidikan dilanjutkan.

Mei 2002 Kejaksaan membentuk Tim Penyidik Koneksitas, tim gabungan TNI dan Kejaksaan Agung dengan personel lima orang.

Juni 2002 Tim Penyidik Koneksitas memulai kembali pemeriksaan kasus TAC.

21 Juni 2002 Kejaksaan menutup kasus TAC dengan alasan tersangka Faisal Abda'oe wafat.

24 September 2002 Tim Penyidik Koneksitas dan BPKP mulai mengaudit proyek TAC.

Maret 2003 Kejaksaan menyatakan masih tetap menunggu audit BPKP.

19 Oktober 2004 Jaksa Agung M.A. Rachman menyatakan, kejaksaan telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus Ginandjar karena tak terbukti Ginandjar merugikan keuangan negara. Pada bulan ini pula Ginandjar dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus