Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bila musim tebas tiba

Masa panen, merupakan saat menganggur bagi petani. tenaga mereka belum diperlukan disawah. petani dari desa sekitar banjarmasin berkeliling martapura & banjar baru menjual atap rumbia. (sd)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA petani Banjarmasin sempoyongan pada musim tebas. Mereka jadi penganggur. Untuk sementara sawah tidak memerlukan tenaga mereka. Kebutuhan sehari-hari dapat disumpal dengan hasil panen, meski secara pas-pasan. Sebagai akibatnya, penawaran tenaga manusia berlimpah, harganya merosot keras. Pada masa seperti itu, tenaga kerja sehari penuh hanya berharga Rp 300 sampai Rp 400. Toh asal ada kesempatan orang berbondong datang -- daripada tidur dan menghitung rusuk rumah. Lalu kalau pekerjaan tidak ada? Inilah yang mendorong mereka memberondong kota, berusaha merebut kesempatan apa saja. Belakangan ini, koresponden TEMPO di Banjarmasin, Rahmat Marlim, menyaksikan sendiri kedatangan orang-orang desa itu. Ramai. Disrempet Truk Dengan memakai sepeda, mereka tampak berkeliling Martapura dan Bayanbaru menjual atap rumbia. Kalau diperhatikan, mereka berasal dari Desa-Desa Astambul, Sungai Alat, Pasar Jati -- Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar. Inilah pemandangan yang tak mungkin dijumpai sekitar 5 tahun di belakang. Petani-petani ini rata-rata membonceng 100 bidang atap yang disusun berjepitan. Panjang atap sekitar satu depa. Diikat baik-baik dengan tali, karena seringkali perjalanan menempuh puluhan kilometer. Sejak dahulu memang ada tradisi untuk menjual atap rumbia. Tetapi para penjual cukup menunggu pembeli di pinggir sungai, di sampan atau rakit mereka. "Sekarang kami antar sampai ke rumah langsung," kata Settar, salah seorang penjual atap dari Kampung Astambul. Lelaki usia 40 tahun ini terang-terangan melaporkan perebutan rezeki sudah semakin keras, sehingga servis perlu ditingkatkan. Abdusyukur, berusia 51 tahun, dari Sungai Alat, sering mengayuh sepeda sampai tembus ke Banjarmasin -- jarak yang kalau ditotal tak kurang dari 47 kilometer. Bayangkan bagaimana alot dan tekun orang tua ini, toh harapan laku tidak selamanya terjamin. Ia memboyong rata-rata 125 bidang atap. Kalau sudah penasaran ia, tak ragu-ragu menisik lorong-lorong Banjarmasin. Ini pun bukan jaminan. Sering ia terpaksa bermalam. Tidur di sembarang tempat. Yang paling disukainya di surau, sebab kalau di losmen atau penginapan lain pasti labanya yang tidak seberapa bisa ludes. Modal 100 atap rumbia sekitar Rp 1700 sampai Rp 1800. Biasanya ia berusaha menjual dengan harga Rp 2000. Keuntungan yang tipis. Toh "kalau pembelinya kurang, kurang dari itu dilego juga, daripada pulang menggenjot lagi," kata orang tua itu dengan tenang. Dengan baju kuyup peluh, muka dinaungi topi, Kakek Syukur membelah kesibukan jalan raya. Ia selalu mengutamakan sikap hati-hati, karena anak-anak dan isterinya selalu menunggu dia dengan was-was. Maklum salah seorang rekannya bernama Suman (30 tahun) sempat diserempet truk sehingga cacat seumur hidup. Syukur tidak ingin menjadi beban keluarga. Ia justru andalan keluarganya. Semua tukang atap itu juga andalan keluarga masing-masing. Mungkin ini yang menyebabkan mereka saling tolong-menolong. Sering di antara mereka ada jual beli atap, sehingga membantu terutama yang usia gaek, supaya laku. Settar, yang punya tanggungan setengah lusin anak, menambahkan: "Kalau tidak demikian, kami tak dapat menyambung hidup. Maklum hasil bersawah tak menentu, kadangkala berhasil kadangkala hanya kembali modal bibit." Menurut pengalamannya, berjualan atap rumbia sekali boyong belum tentu berhasil satu hari. "Adakalanya baru laku esoknya, atau bahkan tidak jarang dua tiga hari kemudian." Karena itu ia sempat menyusun filsafat rezeki "Pasal rezeki, kalau belum waktunya tiba pada kita," ujarnya dengan yakin, "tak akan bisa dikejar-kejar. Yang sudah ada dalam mulut dan perut sekali pun kalau belum rezeki kita, tapi rezeki ayam, termuntahkan dan dicotok ayam akhirnya." Terpaksa Sebelum dijual, menyusun sekian atap di sepeda juga punya aturan sendiri. Barang itu dionggokkan di ancak belakang sepeda. Nyaris setinggi orang dewasa -- setelah dipres dengan ikatan tali plastik yang ditarik kencang-kencang. Di tengahnya dipancangkan sepotong kayu ulin untuk membagi keseimbangan dan kemantapan. Untuk ukuran priyayi, berat sepeda itu bukan main. Apalagi kalau usia sudah gaek. Kalau tak biasa menangani, sekali genjot bisa tersungkur. Apalagi kalau dipapas kendaraan berat yang kencang larinya. Jadi kalau tidak hati-hati memang mudah tertimpa nasib seperti Suman. Pagi hari konvoi sepeda tukang atap itu merupakan santapan mata yang seronok. Mereka beriring, berat tetapi lancar, memasuki Banjarmasin. Kecuali dengus nafas petani yang ngobyek itu, tidak ada seruan-seruan menjajakan dagangan. Para pembeli yang berminat harus memperhatikan arus mereka. Kalau petang tiba, iring-iringan kembali ke asalnya. Beberapa orang yang tak berhasil menjual hari itu menitipkan atap mereka di kenalan-kenalan mereka, untuk esok harinya dijajakan kembali. "Tapi tiga kali pernah atap yang saya titipkan habis disikat maling," kata Jarkasi, usia 39 tahun. "Terlalu juga. Mengapa kami yang seperti ini yang dicuri." Terpaksa Jarkasi memperhitungkan kehilangan itu sebagai hutang. Cara menebusnya, dengan cicilan. "Untungnya langganan saya mau. Juragan saya pun percaya. Hutang itu kemudian lunas juga," katanya. Jarkasi ini memang termasuk orang kuat. Ia sanggup menggenjot sepeda yang ditongkrongi 150 buah atap. Bahkan sanggup dua kali dalam sehari bolak-balik dari kampung ke kota. Nafasnya juga tidak ngos-ngosan. Biasa saja. Ditanya apa rahasianya, ia langsung menunjukkan falsafah yang dia anut. "Niat saya menjual atap, agar rumah orang ternaung dari hujan dan panas, yang punya rumah merasa teduh, hati saya juga teduh," ujarnya dengan kalem. Tukang-tukang atap Banjar ini rupa-rupanya berbakat jadi tehnosof. "Sebenarnya kami ini bukan jual atap. Tetapi jual tenaga saja," kata Bakeri dari Desa Pasar Jati. Orang tua berumur 56 tahun ini bermata rabun. Pendengarannya juga sudah tidak bisa dipercaya lagi. Toh dia ikut juga mengadu nasib. "Terpaksa. Cari makan," katanya. "Anak bukan tidak ada. Ada ya ada, tapi hanya cukup buat dia anak-beranak juga." Karena tubuhnya sudah ringkih, ia Sering berhenti di tengah jalan. Misalnya sambil istirahat di bawah pohon beringin di Alun-alun Martapura. Tapi ia tidak menyesali nasib. Kadang-kadang hanya bergurau: "Yah kalau saya pegawai negeri seperti Guru Simuh, saya sudah pensiun. Tapi saya cuma petani. Pensiun saya cuma mati." Kalimat terakhir itu katanya hadis Nabi. Bakeri juga tidak ingin mengalami nasib seperti Suman. Ia sadar pada usianya yang tua dan keringkihannya, karena itu selalu memegang stang sepedanya kuatkuat kalau sudah berada di dalam kota. "Kalau mendengar deru truk di belakang, wah hati saya dag-dig-dug. Tangan saya saya tegapkan pegang stang sepeda, hati terus berdoa agar diselamatkan Tuhan dari musibah diseruduk truk," ujarnya dengan serius. Dari balik topi purunnya yang butut kemudian ia berpesan kepada pembaca TEMPO: "Tolong doa bapak: hari ini atap ini laku cepat." Pungli Untuk menghemat, banyak di antara penjual atap membawa ransum dari rumah. Biasanya dimasukkan ke dalam bakul yang bergelayut di stang sepeda. Tapi lihatlah, betapa nilai keluarga sangat tebal. "Kalau laku pagi, kami segera pulang lagi ke kampung. Makan di rumah saja," kata Settar. Settar dan kawan-kawan akan lenyap dari jalan manakala kesibukan sawah sudah memanggil mereka kembali. Jadi pada hakekatnya mereka benar-benar petani. Atap-atap itu bagaimanapun tetap hanya sambilan. "Kalau bersandar ke hasil menjaja atap saja, terang tak cukup. Untung kami punya tanah sawah warisan orangtua," kata Settar. Apalagi bagi mereka, selain merupakan sumber tambahan, berjaja atap memberi variasi. Menurut Settar pemandangan di sepanjang jalan bisa banyak berbicara. Apalagi pengalaman-pengalaman yang diperoleh. Lelaki yang menanggung 10 perut di rumahnya ini sempat mengemukakan perbandingan seperti ini: "Sekarang saya bisa merasakan bau tengik peluh saya berbarengan debau wangi pakaian pembeli atap saya." Ya, ini terjadi kalau ada nyonya yang wangi berkenan beli atap Settar untuk bikin kandang ayam. Settar sudah menembus jalan sampai Tambela, Aranio, menanjak dan tiba di Bukit Mandiangin di Riam Kanan. Ia sudah bertemu berbagai macam pembeli. Ada yang kasihan padanya, lalu mengeluarkan teh panas dan biskuit. Bahkan sekali ada yang royal dan menjamu makan. "Tapi tak jarang tak apa-apa. Apa boleh buat, terpaksa saya minta air putih." Terhadap keadaan pada masa kini, ia mengatakan cukup puas. "Dulu kami bawa atap ke luar kampung dicegat, kena pajak. Sekarang, kata orang itu pungli, dilarang Sudomo. Benar sebutannya begitu, Pak, saya cuma dengar-dengar." Memang benar, sejak kisah "pungli" ramai digunjingkan, penjaja atap di Astambul lega dan aman. Dulu pernah ada pungutan "restribusi" kalau melewati pos Hansip di Kecamatan. "Masak atap rumbia yang ditanam di bencah dimasukkan hasil hutan. Yang dicukai justru kami, penjajanya. Bukan yang punya atap," protes Settar. Syukurlah semuanya sudah berlalu. Tapi kenang-kenangan itu masih berbekas. "Padahal hansipnya kawan sekampung. Galaknya masya Allah!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus