BATIK adalah modal. Modal estetik maupun industri. Itu dikatakan
seorang penanggap -- seorang Australia -- dalam panel diskusi
tentang batik di kediaman Iwan Tirta, 25 Mei 1978. Karena itu
secara tak langsung penanggap itu menyarankan memperkembangkan
batik seluas dan sebesar mungkin. Banyak gunanya: menampung
tenaga kerja, bisa diekspor menambah devisa negara.
Dari keempat panelis (Iwan Tirta, drs. Sukarno, sarjana seni
rupa ITB, drs. Kaptin Adisumarta, penulis ekonomi dan redaktur
Progress, dan Permadi SH dari Lembaga Konsumen), ternyata hanya
satu penanggap itu saja yang berbicara tentang batik dan
kemungkinan menaikkan taraf hidup masyarakat -- itu pun secara
tak langsung. Barangkali saja tema yang disodorkan panitia
terlalu luas dan kabur. Pengertian taraf hidup dan masyarakat
memang sangat lebar -- di samping kedengaran artifisial bisa
dihubungkan dengan batik.
Mungkin yang menarik yang dikemukakan Iwan Tirta. Katanya, batik
tulis halus akan menyingkir, akan kembali menjadi kerja sambilan
atau mata pencaharian sekelompok elite atau pencinta seni.
Sinyalemen itu agaknya benar -- mengingat sejarah dan proses
batik tulis. Kecuali telah jarang para pembatik tulis yang masih
tekun, pun harganya bisa bukan main mahal. Juga pandangan
masyarakat --apalagi generasi muda-kayaknya cenderung memandang
pakaian sebagai hal praktis meski tak dilupakan segi
artistiknya.
Kalau Permadi berbicara tentang perlindungan konsumen batik,
misalnya produsen diharuskan mencantumkan label cara mencuci,
cara memelihara dan sebagainya, mungkin itu hal umum tidak
hanya untuk batik. Dan kalau berbicara tentang harga, itu juga
soal umum. Lihat saja bagaimana pedagang di pusat pertokoan
tidak mencantumkan harga dan menawarkannya seenaknya. Mereka
yang tak tahu-menahu mutu bahan kain misalnya, mudah sekali
dimakan.
Berbicara tentang menaikkan taraf hidup para pembatik (tulis)
tentulah tak bisa lepas dari hal-hal yang dikemukakan Sukarno.
Misalnya: peningkatan daya kreasi. Tapi itu kemungkinan sekali
hanya akan mendatangkan untung bagi tengkulak. Keramik terakota
Kasongan, Yogyakarta, yang kini meningkat mutu artistiknya
berkat bimbingan seorang seniman, toh tak berhasil meningkatkan
taraf hidup para pembuatnya. Mereka tetap saja miskin, meski
jalan desa kini beraspal licin. Dan jarak harga jual mereka dan
harga jual di toko-toko di kota demikian jauhnya. Siapa yang
untung?
Mungkin, di samping peningkatan daya kreasi, mereka para
pembatik atau para pekerja kerajinan rakyat, lebih perlu modal
sendiri, lebih perlu tahu seluk-beluk perdagangan. Dan yang
penting perlu kekuatan dan keberanian untuk melawan tengkulak
atau pengijon atau pemborong yang semena-mena. Itu masalah
ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini