FESTIVAL Teater yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta
sudah menular ke beberapa dewan kesenian lain. Yang terakhir
Padang. Pada tahun 1975, Pusat Kesenian Padang memang sudah
membuka Festival Teater Arena yang diikuti 16 grup dengan 18
buah pementasan. Festival tersebut dilanjutkan dengan seri kedua
pada tanggal 20 s/d 31 Mei yang lalu, diikuti oleh 19 buah grup.
Berbeda dengan sebelumnya, Festival Teater Padang II
mencantumkan kewajiban untuk membawakan cerita rakyat Minang.
Dan karena Pusat Kesenian Padang sekarang sudah memiliki sebuah
teater tertutup, seluruh kegiatan diatur dalam gedung tersebut
-- meski gedung ini sebenarnya lebih cocok dipakai untuk sebuah
disko.
Indo
Di Padang ada Wisran Hadi, pelukis yang belakangan ini lebih
getol menulis drama -- ia misalnya mencatat beberapa kemenangan
dalam penulisan sayembara penulisan naskah DKJ. Ia memiliki
kelompok teater yang disebutnya Bumi Teater. Kelompok ini
merajalela ke sekolah-sekolah dan menelurkan kelompok-kelompok
baru yang juga bernama Bumi Teater. Mereka inilah yang ternyata
merajai kegiatan festival.
Dua buah naskah Wisran (Puti Bungsu dan indera Mata), dua buah
naskah Chaerul Harun (Pitunang Sakti dan Cindua Mato), dua buah
naskah BHR Tanjung (Nan Tongga dan Rambun Pamenan) serta
beberapa naskah lain yang digali dari cerita-cerita Bungo
Nilonali, Saban nan Aluih, ditampilkan dengan semangat randai.
Meski hanya satu grup yang benar-benar memiliki latar belakang
randai, wadag cerita maupun bentuk penampilan tradisionil sudah
sempat muncul. Maka festival ini merupakan tempat penyaluran
semangat berbusana, berandai serta juga semangat menampilkan
lebih banyak adegan visuil meski hanya sebagai tempelan.
Pengaruh tonil atawa komidi stambul dalam akting besar sekali.
Sejak gong pertama dibuka, selama 14 malam dapat disaksikan
akting Indo. Sikap jiwa serta terutama gerakan tangan adalah
pola-pola akting untuk tubuh orang bule. Banyak pemain asyik dan
amat yakin pada pola bermain yang dipaksakan ke dalam cerita
rakyat itu.
Begitulah Inisalnya kita temukan di malam pertama pementasan
Bumi Teater Keluarga I, dengan lakon Cendera Mata. Kecuali
bloking yang menampakkan keinginan untuk mengisi ruang,
pementasan ini berjalan dalam tempo yang amat berlarut-larut.
Para pemain asyik dengan gaya mereka, sehingga yang benar-benar
menonjol adalah keinginan menunjukkan bahwa drama adalah sesuatu
yang asing.
Sebaliknya Bintang Harapan yang tampil malam berikutnya
membawakan cerita Sabai Nan Aluih, muncul sangat sederhana
tetapi kompak. Mereka benar bertolak dari randai dengan variasi
yang kaya dan gebrakan-gebrakan yang sangat trampil. Meskipun
kwa akting dansegi penuturan cerita terasa lemah, unsur itu
tertutup sendirinya karena mereka menitikberatkan pada
randainya. Inilah satu-satunya grup yang menonjol -- dari segi
'tontonan' -- selama festival, sambil mempertahankan
kesederhanaan. Mereka berhasil menampilkan bukan hanya wadag
warna lokal Minang, tapi juga jiwanya, semangatnya.
Pada malam ke-6 muncul Bumi Teater Keluarga II dengan permadani
dari bambu -- seperti yang kadang dipakai dalam pencak silat alu
ambek. Bunyi yang muncul dari injakan kaki pada bambu itu
berhasil menimbulkan suasana. Tidak seperti Bumi Teater yang
lain, kelompok ini bermain dengan gruping-gruping artistik.
Sayang keluguannya tidak disertai seleksi yang ketat, sehingga
banyak spontanitasnya terasa kelebihan dan berlarut-larut.
Berbeda dengan Bumi Teater STM I yang bermain malam berikutnya
-- yang terlalu sadar bentuk. Misalnya dalam penyusunan gruping
untuk menjadi simbol-simbol, dalam pengolahan tata lampu untuk
memperoleh efek-efek dramatik. Kesadaran yang sering berlebihan
sehingga praktis unsur-unsur seni rupa yang masuk hanya jadi
cangkokan.
Monolog
Baru pada tanggal 27 muncul Bumi Teater STM II yang kelihatan
memakai konsep dalam penyutradaraan. Mereka memainkan lakon
Cindua Mato dengan sutradara Indra Nara Persada. Seorang dalang
didudukkan di level yang tinggi. Ia membaca cerita, lalu
memanggil para pemain yang harus menjalankan cerita
ganti-berganti. Pertukaran adegan ke adegan, formil dan kering.
Tapi karena dalang bermain dengan bagus, tak lama kemudian
penampilan jadi segar.
Satu ketika ada adegan perkelahian. Tatkala perkelahian hendak
dimulai sang dalang (bajang) mengangkat tangan. Ia mengatakan
bahwa dalam cerita memang terjadi perkelahian, tapi untuk malam
itu cukup sekian saja -- selanjutnya penonton harus mengerti apa
yang terjadi. Anti klimaks ini dilakukan terus-menerus, sehingga
pertunjukan kocak.
Esok malamnya muncul Bumi Teater SMA II membawa cerita Anggun
Nan Tongga. Memakai jaring-jaring di belakang panggung dengan
tata cahaya dramatik. Juga mempergunakan rebana. Secara visuil
penampilan mereka menarik. Walaupun banyak peluang yang bisa
dimanfaatkan dari seting jaring tidak digarap, grup ini lebih
jujur dari STM I yang mau berbuat banyak tapi kehilangan
spontanitas.
Teater SMA III, yang muncul hari terakhir dan juga membawa
rebana, termasuk grup yang pantas dicatat. Inilah satu-satunya
grup yang memperhatikan ritme permainan kelompok -- walaupun
sayang tidak bisa mengakhiri penampilannya, di samping ada
pemain-pemain yang lupa dan amat mengganggu keutuhan.
Pada malam terakhir, muncul Teater Tangka dengan lakon Malin
Kundang. Monolog, dimainkan dan disutradarai oleh Bgd, Fahmi
Baru dalam kesempatan ini kita melihat usaha untuk menunjukkan
permainan. Sayang Fahmi, yang bergerak seperti penari sambil
berbicara, mengalami kesulitan untuk membagi konsentrasi. Ia
begitu banyak memperhatikan gerak, sehingga perhatiannya pada
vokal hampir tak ada. Suaranya bergumam, lalu terasa terkubur
dalam filter, kehilangan ekspresi. Ia memiliki teknik penguasaan
tubuh dan teknik suara yang baik maklum termasuk pemain kawakan
juga. Kalau ada sutradara yang ikut menanganinya dapat
diperkirakan ia akan melejit.
Lokakarya
Sampai sedemikian jauh, bidang penyutradaraan di samping
kwalitas naskah memang merupakan sumber kelemahan seluruh
peserta. Para sutradara hanya main tempel dengan yakinnya. Tidak
memiliki ide, konsep serta rasa penampilan. Segi ketrampilan
lemah sekali, sehingga meskipun sering muncul variasi visuil
yang bagus, toh lepas dari kesatuan sehingga tidak utuh.
Banyak sutradara yang bekerja hanya untuk sekedar membuktikan
bahwa mereka bukan tidak bisa melakukan apa yang dilakukan oleh
apa yang disebut teater kontemporer. Konsep busana dapat
dimaklumi masih berpegang pada kwalitas asal mentereng, seperti
terjadi pada kelompok SKKA Teater yang membawakan Rambun Pamenan
dengan sutradara Ny. Mursyida BA. Seperti memikul beban
psikologis, mereka tampak ingin membuktikan bisa memainkan
cerita meskipun tidak punya pemain pria.
Kemacetan ide rupa-rupanya tidak hanya bersumber dari belum
terjamahnya Padang oleh berbagai perkembangan dan kecenderungan
dunia teater sekarang. Tapi juga dari berbagai beban psikologis
tadi. Lihat misalnya Teater SMP Negeri II dengan cerita Anggun
Nan Tongga. Dengan materi anak-anak SMP, dapat dimengerti
jangkauan yang hendak dicapai paling-paling membuktikan bahwa
anak-anak sekecil itu juga bisa berakting. Motivasi dan acuannya
adalah segi pendidikan. Padahal sudah jelas betapapun
bermanfaatnya, yang diselenggarakan kali ini bukan festival
dengan tema pendidikan tapi penggalian cerita rakyat.
Tapi apa yang telah dibuktikan Padang tak lain sesuatu yang
sangat berharga: bahwa teater di sini merupakan barang hidup.
Ada pendukungnya. Ada pekerjanya. Dan ada seorang walikota yang
mau nongkrong sampai pertunjukan bubar. Ini luar biasa. Mursal
Esten, Ketua Pusat Kesenian Padang tampak serius. Ia juga
mengusahakan selama festival diadakan lokakarya dan diskusi,
sehingga kelelahan disertai pula oleh catatan beberapa
pemikiran.
Ada 5 orang juri yang ditunjuk. Setelah salah seorang juri
berhalangan, yang bekerja kemudian tinggal drs. Jamil Bakar,
Chairul Harun (Padang) dan Rujito serta Putu Wijaya (Jakarta).
Juri-juri ini melepaskan sama sekali penilaian lewat angka,
bahkan juga tidak berusaha merumuskan patokan sebelumnya. Mereka
mencatat semua aspek yang muncul dalam festival dan kemudian
melewati diskusi memutuskan 3 grup terbaik, dua pemain terbaik
dan seorang sutradara terbaik sebagaimana yang diharapkan
panitia.
Yang berhasil keluar sebagai pemain wanita terbaik Dessy Arifin
dari grup Remaja Teater yang bermain sebagai Bundo Kanduang.
Pemain pria terbaik: Bujang R dari Bumi Teater STM I sebagai
bajang atau dalang. Sutradara dari grup Si Janang ini juga,
namanya Indra Nara Persada. Adapun pemenang grup pertama kosong.
Untuk grup kedua dipilih Bumi Teater STM II dan Bintang Harapan.
Sedang grup ketiga: Bumi Teater SMA II. Untuk masing-masing grup
disediakan hadiah Rp 75 ribu - Rp 150 ribu.
Walikota bertanya: apa kesan umum dari festival itu. Salah
seorang juri menjawab: "Dukungan penonton besar, sehingga proyek
ini bukan kesia-siaan. Diperlukan terselenggaranya secara
kontinyu sebelum sampai pada hasil yang sangat memuaskan. Dalam
soal penyutradaraan terjadi kemacetan, dan ini diikuti kemacetan
seluruh sektor. Dapat dipecahkan misalnya dengan jalan memberi
bandingan dengan mengundang grup-grup yang baik dari luar
Padang, sehingga kawasan yang berhenti itu bisa cair lagi."
Walikota tersenyum: mungkin memikirkan biaya. Sedangkan
beberapa orang seniman Padang sendiri kelihatan tenang-tenang
saja. Mungkin mereka teringat lokakarya yang diadakan selama
festival. Hampir seluruh grup tidak suka mengikutinya, karena
sudah punya metode sendiri dan menganggap apa yang dikemukakan
dalam lokakarya tidak ada hubungannya dengan teater.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini