Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Terbaik, di padang

Pusat kesenian padang menyelenggarakan festival teater arena di teater tertutup. peserta diwajibkan membawa cerita rakyat minang. selama festival, diadakan pula lokakarya dan diskusi.(ter)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FESTIVAL Teater yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta sudah menular ke beberapa dewan kesenian lain. Yang terakhir Padang. Pada tahun 1975, Pusat Kesenian Padang memang sudah membuka Festival Teater Arena yang diikuti 16 grup dengan 18 buah pementasan. Festival tersebut dilanjutkan dengan seri kedua pada tanggal 20 s/d 31 Mei yang lalu, diikuti oleh 19 buah grup. Berbeda dengan sebelumnya, Festival Teater Padang II mencantumkan kewajiban untuk membawakan cerita rakyat Minang. Dan karena Pusat Kesenian Padang sekarang sudah memiliki sebuah teater tertutup, seluruh kegiatan diatur dalam gedung tersebut -- meski gedung ini sebenarnya lebih cocok dipakai untuk sebuah disko. Indo Di Padang ada Wisran Hadi, pelukis yang belakangan ini lebih getol menulis drama -- ia misalnya mencatat beberapa kemenangan dalam penulisan sayembara penulisan naskah DKJ. Ia memiliki kelompok teater yang disebutnya Bumi Teater. Kelompok ini merajalela ke sekolah-sekolah dan menelurkan kelompok-kelompok baru yang juga bernama Bumi Teater. Mereka inilah yang ternyata merajai kegiatan festival. Dua buah naskah Wisran (Puti Bungsu dan indera Mata), dua buah naskah Chaerul Harun (Pitunang Sakti dan Cindua Mato), dua buah naskah BHR Tanjung (Nan Tongga dan Rambun Pamenan) serta beberapa naskah lain yang digali dari cerita-cerita Bungo Nilonali, Saban nan Aluih, ditampilkan dengan semangat randai. Meski hanya satu grup yang benar-benar memiliki latar belakang randai, wadag cerita maupun bentuk penampilan tradisionil sudah sempat muncul. Maka festival ini merupakan tempat penyaluran semangat berbusana, berandai serta juga semangat menampilkan lebih banyak adegan visuil meski hanya sebagai tempelan. Pengaruh tonil atawa komidi stambul dalam akting besar sekali. Sejak gong pertama dibuka, selama 14 malam dapat disaksikan akting Indo. Sikap jiwa serta terutama gerakan tangan adalah pola-pola akting untuk tubuh orang bule. Banyak pemain asyik dan amat yakin pada pola bermain yang dipaksakan ke dalam cerita rakyat itu. Begitulah Inisalnya kita temukan di malam pertama pementasan Bumi Teater Keluarga I, dengan lakon Cendera Mata. Kecuali bloking yang menampakkan keinginan untuk mengisi ruang, pementasan ini berjalan dalam tempo yang amat berlarut-larut. Para pemain asyik dengan gaya mereka, sehingga yang benar-benar menonjol adalah keinginan menunjukkan bahwa drama adalah sesuatu yang asing. Sebaliknya Bintang Harapan yang tampil malam berikutnya membawakan cerita Sabai Nan Aluih, muncul sangat sederhana tetapi kompak. Mereka benar bertolak dari randai dengan variasi yang kaya dan gebrakan-gebrakan yang sangat trampil. Meskipun kwa akting dansegi penuturan cerita terasa lemah, unsur itu tertutup sendirinya karena mereka menitikberatkan pada randainya. Inilah satu-satunya grup yang menonjol -- dari segi 'tontonan' -- selama festival, sambil mempertahankan kesederhanaan. Mereka berhasil menampilkan bukan hanya wadag warna lokal Minang, tapi juga jiwanya, semangatnya. Pada malam ke-6 muncul Bumi Teater Keluarga II dengan permadani dari bambu -- seperti yang kadang dipakai dalam pencak silat alu ambek. Bunyi yang muncul dari injakan kaki pada bambu itu berhasil menimbulkan suasana. Tidak seperti Bumi Teater yang lain, kelompok ini bermain dengan gruping-gruping artistik. Sayang keluguannya tidak disertai seleksi yang ketat, sehingga banyak spontanitasnya terasa kelebihan dan berlarut-larut. Berbeda dengan Bumi Teater STM I yang bermain malam berikutnya -- yang terlalu sadar bentuk. Misalnya dalam penyusunan gruping untuk menjadi simbol-simbol, dalam pengolahan tata lampu untuk memperoleh efek-efek dramatik. Kesadaran yang sering berlebihan sehingga praktis unsur-unsur seni rupa yang masuk hanya jadi cangkokan. Monolog Baru pada tanggal 27 muncul Bumi Teater STM II yang kelihatan memakai konsep dalam penyutradaraan. Mereka memainkan lakon Cindua Mato dengan sutradara Indra Nara Persada. Seorang dalang didudukkan di level yang tinggi. Ia membaca cerita, lalu memanggil para pemain yang harus menjalankan cerita ganti-berganti. Pertukaran adegan ke adegan, formil dan kering. Tapi karena dalang bermain dengan bagus, tak lama kemudian penampilan jadi segar. Satu ketika ada adegan perkelahian. Tatkala perkelahian hendak dimulai sang dalang (bajang) mengangkat tangan. Ia mengatakan bahwa dalam cerita memang terjadi perkelahian, tapi untuk malam itu cukup sekian saja -- selanjutnya penonton harus mengerti apa yang terjadi. Anti klimaks ini dilakukan terus-menerus, sehingga pertunjukan kocak. Esok malamnya muncul Bumi Teater SMA II membawa cerita Anggun Nan Tongga. Memakai jaring-jaring di belakang panggung dengan tata cahaya dramatik. Juga mempergunakan rebana. Secara visuil penampilan mereka menarik. Walaupun banyak peluang yang bisa dimanfaatkan dari seting jaring tidak digarap, grup ini lebih jujur dari STM I yang mau berbuat banyak tapi kehilangan spontanitas. Teater SMA III, yang muncul hari terakhir dan juga membawa rebana, termasuk grup yang pantas dicatat. Inilah satu-satunya grup yang memperhatikan ritme permainan kelompok -- walaupun sayang tidak bisa mengakhiri penampilannya, di samping ada pemain-pemain yang lupa dan amat mengganggu keutuhan. Pada malam terakhir, muncul Teater Tangka dengan lakon Malin Kundang. Monolog, dimainkan dan disutradarai oleh Bgd, Fahmi Baru dalam kesempatan ini kita melihat usaha untuk menunjukkan permainan. Sayang Fahmi, yang bergerak seperti penari sambil berbicara, mengalami kesulitan untuk membagi konsentrasi. Ia begitu banyak memperhatikan gerak, sehingga perhatiannya pada vokal hampir tak ada. Suaranya bergumam, lalu terasa terkubur dalam filter, kehilangan ekspresi. Ia memiliki teknik penguasaan tubuh dan teknik suara yang baik maklum termasuk pemain kawakan juga. Kalau ada sutradara yang ikut menanganinya dapat diperkirakan ia akan melejit. Lokakarya Sampai sedemikian jauh, bidang penyutradaraan di samping kwalitas naskah memang merupakan sumber kelemahan seluruh peserta. Para sutradara hanya main tempel dengan yakinnya. Tidak memiliki ide, konsep serta rasa penampilan. Segi ketrampilan lemah sekali, sehingga meskipun sering muncul variasi visuil yang bagus, toh lepas dari kesatuan sehingga tidak utuh. Banyak sutradara yang bekerja hanya untuk sekedar membuktikan bahwa mereka bukan tidak bisa melakukan apa yang dilakukan oleh apa yang disebut teater kontemporer. Konsep busana dapat dimaklumi masih berpegang pada kwalitas asal mentereng, seperti terjadi pada kelompok SKKA Teater yang membawakan Rambun Pamenan dengan sutradara Ny. Mursyida BA. Seperti memikul beban psikologis, mereka tampak ingin membuktikan bisa memainkan cerita meskipun tidak punya pemain pria. Kemacetan ide rupa-rupanya tidak hanya bersumber dari belum terjamahnya Padang oleh berbagai perkembangan dan kecenderungan dunia teater sekarang. Tapi juga dari berbagai beban psikologis tadi. Lihat misalnya Teater SMP Negeri II dengan cerita Anggun Nan Tongga. Dengan materi anak-anak SMP, dapat dimengerti jangkauan yang hendak dicapai paling-paling membuktikan bahwa anak-anak sekecil itu juga bisa berakting. Motivasi dan acuannya adalah segi pendidikan. Padahal sudah jelas betapapun bermanfaatnya, yang diselenggarakan kali ini bukan festival dengan tema pendidikan tapi penggalian cerita rakyat. Tapi apa yang telah dibuktikan Padang tak lain sesuatu yang sangat berharga: bahwa teater di sini merupakan barang hidup. Ada pendukungnya. Ada pekerjanya. Dan ada seorang walikota yang mau nongkrong sampai pertunjukan bubar. Ini luar biasa. Mursal Esten, Ketua Pusat Kesenian Padang tampak serius. Ia juga mengusahakan selama festival diadakan lokakarya dan diskusi, sehingga kelelahan disertai pula oleh catatan beberapa pemikiran. Ada 5 orang juri yang ditunjuk. Setelah salah seorang juri berhalangan, yang bekerja kemudian tinggal drs. Jamil Bakar, Chairul Harun (Padang) dan Rujito serta Putu Wijaya (Jakarta). Juri-juri ini melepaskan sama sekali penilaian lewat angka, bahkan juga tidak berusaha merumuskan patokan sebelumnya. Mereka mencatat semua aspek yang muncul dalam festival dan kemudian melewati diskusi memutuskan 3 grup terbaik, dua pemain terbaik dan seorang sutradara terbaik sebagaimana yang diharapkan panitia. Yang berhasil keluar sebagai pemain wanita terbaik Dessy Arifin dari grup Remaja Teater yang bermain sebagai Bundo Kanduang. Pemain pria terbaik: Bujang R dari Bumi Teater STM I sebagai bajang atau dalang. Sutradara dari grup Si Janang ini juga, namanya Indra Nara Persada. Adapun pemenang grup pertama kosong. Untuk grup kedua dipilih Bumi Teater STM II dan Bintang Harapan. Sedang grup ketiga: Bumi Teater SMA II. Untuk masing-masing grup disediakan hadiah Rp 75 ribu - Rp 150 ribu. Walikota bertanya: apa kesan umum dari festival itu. Salah seorang juri menjawab: "Dukungan penonton besar, sehingga proyek ini bukan kesia-siaan. Diperlukan terselenggaranya secara kontinyu sebelum sampai pada hasil yang sangat memuaskan. Dalam soal penyutradaraan terjadi kemacetan, dan ini diikuti kemacetan seluruh sektor. Dapat dipecahkan misalnya dengan jalan memberi bandingan dengan mengundang grup-grup yang baik dari luar Padang, sehingga kawasan yang berhenti itu bisa cair lagi." Walikota tersenyum: mungkin memikirkan biaya. Sedangkan beberapa orang seniman Padang sendiri kelihatan tenang-tenang saja. Mungkin mereka teringat lokakarya yang diadakan selama festival. Hampir seluruh grup tidak suka mengikutinya, karena sudah punya metode sendiri dan menganggap apa yang dikemukakan dalam lokakarya tidak ada hubungannya dengan teater.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus