Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Yuni Zakaria, ritual membersihkan diri bukan cuma mandi dan keramas. Setiap hari lajang 35 tahun ini juga rutin ”menggelitik” lubang telinganya dengan cotton bud. ”Kuping rasanya gatal kalau sehari saja tidak dibersihkan,” katanya. Supaya hasilnya sempurna, dia biasa menghabiskan dua batang korek kuping ukuran kecil untuk mengikis semua kotoran hingga ke pelosok dalam telinga.
Nah, sejak setengah tahun lalu, Yuni melengkapi tradisi membersihkan telinga dengan ear candle. Terapi menggunakan lilin khusus yang dibakar ini memang sedang jadi tren. Minimal sekali sebulan Yuni ”membakar” telinganya di sebuah klinik pengobatan di dekat rumahnya, di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. ”Kepala terasa ringan, jarang pusing juga,” ujarnya.
Sayang, kenikmatan tak berlangsung lama. Sejak sebulan lalu, Yuni merasakan pendengarannya tak setajam dulu. Telinganya berdengung. Setelah dia memeriksakan diri ke dokter spesialis telinga-hidung-tenggorokan dua pekan lalu, diketahui telinganya mengalami iritasi.
”Membersihkan telinga terlalu sering bisa memicu trauma pada saluran telinga,” kata Ratna D. Restuti, dokter ahli telinga-hidung-tenggorokan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pembersihan telinga menggunakan korek kuping atau benda yang cenderung tajam bisa mengakibatkan iritasi saluran telinga. Bila itu dilakukan terus-menerus, kulit saluran telinga pun menebal. ”Akibatnya, liang telinga menyempit, pendengaran berkurang,” kata kepala bagian telinga-hidung-tenggorokan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu.
Kondisinya diperparah dengan terapi lilin—yang bisa jadi dilakukan bukan oleh ahlinya. Panas yang ditimbulkan pembakaran lilin mengundang iritasi. Saluran telinga pun memerah. Memasukkan cairan yang tidak semestinya dapat melukai gendang telinga.
Menurut Ratna, perawatan telinga sebenarnya cukup mudah karena organ pendengaran itu sudah punya mekanisme pembersihan alami. Bentuknya yang mirip corong dengan bagian luar lebih lebar, ditambah kelenjar serumen atau cairan telinga—dan kelembapan—membuat kotoran mudah keluar. Kotoran juga mudah terangsang keluar lewat gerakan mengunyah makanan.
Memang terkadang mekanisme alamiah itu terganggu sehingga kotoran menumpuk. Inilah saatnya membersihkan telinga. ”Tapi cukup di bagian luarnya saja,” kata Ratna. Bagian telinga yang dibersihkan cukup sepertiga dari saluran liang telinga, yang panjangnya sekitar 24 mililiter (jarak dari lubang ke gendang telinga). Soalnya, di sepertiga bagian telinga itulah lokasi kotoran. Jadi, tak perlu mengorek-ngorek sampai dalam. Bukannya bersih, kotoran justru kembali masuk dan menyumbat gendang telinga.
Membersihkan telinga dengan benar sangat penting untuk mencegah infeksi. Selama ini, infeksi telinga menjadi salah satu penyebab terbesar gangguan pendengaran—selain tuli akibat bising, tuli sejak lahir, dan tuli pada usia lanjut.
Infeksi, terutama pada anak-anak, terjadi karena kesalahan proses pembersihan dan perlakuan. Pada bayi, misalnya, orang tua kerap tak memperhatikan posisi menyusui. ”Posisi kepala bayi tak boleh mendatar, harus tegak,” ujar Ratna. Soalnya, organ bayi belum sempurna, jarak antara saluran telinga tengah dan dalam amat dekat. Kemungkinan air susu yang masuk ke tenggorokan mengalir ke saluran telinga masih besar.
Risiko infeksi telinga kian besar bila bayi diberi susu botol, yang membuat bayi harus lebih keras bekerja mengisap susu. Akibatnya, tekanan di belakang hidung juga lebih tinggi, yang akhirnya pindah ke telinga, terutama kalau sedang batuk-pilek.
Dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorokan, kepala, dan leher Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sabtu dua pekan lalu, Jenny Endang Bashiruddin mengungkapkan Indonesia termasuk dalam empat negara dengan prevalensi ketulian 4,6 persen. Tiga negara lainnya adalah Myanmar, India, dan Sri Lanka. Diperkirakan 36 juta orang menderita gangguan pendengaran dan 800 ribu orang menderita ketulian di Indonesia.
Ketua Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Damayanti Soetjipto menerangkan, sejatinya separuh dari gangguan pendengaran itu bisa dicegah. ”Ketulian sebagian besar terjadi karena hal sepele,” kata kepala bagian telinga-hidung-tenggorokan di Rumah Sakit MMC Jakarta itu. Membersihkan telinga berlebihan adalah salah satunya.
Penyebab lain yang menjadi perhatian Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah gaya hidup masyarakat yang terlalu akrab dengan suara bising. Itu tidak hanya berupa polusi suara yang disebabkan riuhnya suara kendaraan, tapi juga penggunaan peralatan elektronik, seperti mendengarkan musik dengan earphone, konser musik, bioskop, dan diskotek.
”Di tempat hiburan anak di mal, rata-rata kebisingannya di atas 90 desibel,” kata Damayanti. Padahal batas wajar untuk kesehatan pendengaran cuma 80 desibel—kalau di atas itu, paling lama hanya boleh sejam. Bila menggunakan earphone, suara dari peranti musik maksimal setengah dari volume penuh. Mendengarkannya juga tak boleh lebih dari satu jam, agar sel-sel rambut koklea (rumah siput) tidak rusak.
Sayang, kesadaran masyarakat masih rendah. Mendengarkan musik rasanya kurang asyik bila volumenya tidak maksimal. Bahkan, di pabrik-pabrik yang sudah punya aturan soal batas bising pun, hal ini kerap diabaikan. Banyak pegawai yang malas menggunakan penutup telinga meski sudah disediakan.
Bahkan, ketika gangguan telinga mulai muncul, jarang yang langsung ke dokter. Padahal penanganan gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin. Apalagi terjadinya gangguan atas pendengaran itu bertahap. Awalnya orang tak bisa mendengar suara frekuensi tinggi, tapi lama-kelamaan tuli total. Kalau sudah begini, siap-siaplah hidup dalam kesunyian. Soalnya, belum ada obat ketulian.
Nunuy Nurhayati
Waspadai Bayi Tuli
Salah satu masalah kesehatan pendengaran yang menjadi perhatian global adalah tuli sejak lahir. Di Indonesia, jumlahnya mencapai 5.000 bayi setiap tahun.
Ketulian sejak lahir dapat mengganggu proses bicara anak. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan pemeriksaan atas bayi yang berisiko tinggi tuli (lahir dengan vacuum atau bedah caesar, lahir kuning, dan menderita meningitis) menggunakan otoacoustic-emission untuk menguji pendengarannya.
Bila ketahuan tuli, bayi harus segera diberi rangsangan bunyi-bunyian sebelum menginjak enam bulan, guna menstimulasi saraf dan pusat pendengaran di otak. Secara tak sadar, otak akan merekam semua rangsangan suara tadi sehingga, ketika kelak dia menggunakan alat bantu dengar, kata-kata yang dihasilkan lebih jelas dan berintonasi baik layaknya orang berpendengaran normal.
Agar Kuping Tetap Tajam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo