Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA nama menjadi sandungan bagi Anda, penggemar musik, untuk membuka ruang eksplorasi, lupakan saja kesempatan untuk bisa menemukan hal-hal baru atau, setidaknya, menarik.
Seperti band ini: Them Crooked Vultures. (Ya, betul, nama apa ini, jelek sekali, sebagian orang pasti nyeletuk. Tapi, di sisi lain, bukankah beginilah seharusnya rock ’n roll?)
Terdiri atas tiga musisi yang punya riwayat berkilat, inilah proyek kolaborasi yang sebenarnya sudah meletupkan rasa penasaran ketika indikasinya pertama kali diungkapkan. Pada 2005, dalam wawancara dengan majalah Mojo, Dave Grohl, gitaris dan vokalis kelompok Foo Fighters (sebelumnya, ya, drummer Nirvana), mengatakan proyek selanjutnya yang dia kerjakan akan melibatkan Josh Homme dan John Paul Jones. Homme tak lain adalah gitaris dan vokalis Queens of the Stone Age, grup yang aktif sejak 1997. Adapun Jones pernah menjadi pemetik bas Led Zeppelin, satu dari tiga band pada 1970-an yang dijuluki The Holy Trinity of Heavy Metal.
Dan seperti seorang anggota staf penjualan yang terampil, dia waktu itu berkata: ”Itulah album (saya) berikutnya. Album yang tidak bakal jelek.”
Ada waktu hampir empat tahun untuk menuju ke titik ”berikutnya” itu. Sebab, band yang menghimpun mereka bertiga baru dibentuk pada 2009. Walau demikian, mereka bergerak cepat: mulai masuk studio pada Juli 2009 dan main di panggung untuk pertama kalinya—dengan dukungan gitaris Alain Johannes—pada Agustus 2009. Lagu yang mereka jagokan sebagai single pertama, New Fang, dirilis pada Oktober 2009.
Album self-titled inilah hasil kerja mereka di studio. Bersampul merah yang menampilkan gambar sesosok tubuh manusia berkepala burung nasar, dengan tangan bersedekap, album ini merupakan jawaban yang telak bagi rasa penasaran para penggemar Grohl, Homme, dan Jones.
Dirilis pada November lalu, album ini menyajikan elemen-elemen penulisan lagu, aransemen, dan perfoma yang menggiurkan. Homme seperti meniupkan badai riff atau motif dan solo gitar yang ribut serta bertenaga tapi jauh dari kacau. Grohl menggebuk drumnya seperti menghajar anak berandalan yang patut dihukum. Dan Jones, ya, mereka yang tahu Led Zeppelin tentu tak terkejut: dia melengkapi semua sisi yang tak terpenuhi oleh dua rekannya (sebagaimana dulu biasa dilakukannya saat bersama Led Zeppelin).
Dari sekali dengar, wajar jika para penggemar Queens of the Stone Age segera mengenali karakter band itu. Tapi, menyimak lebih teliti, sesungguhnya hal itu hanya karena Homme kebetulan berperan juga sebagai penulis lagu dan penyanyi. Kesamaan dengan Queens hanya sampai di situ. Selebihnya, harus diakui ada aksen Zeppelin-esque di sana-sini. Coba simak, misalnya, Scumbag Blues, yang mungkin mengingatkan orang akan Trampled Underfoot-nya Zeppelin; di sini clavinet Jones berkelindan dengan gemuruh drum Grohl dan kocokan gitar Homme yang bergaya psychedelia. Atau bahkan lagu pembuka yang boleh dibilang merupakan representasi dari keseluruhan isi album, No One Loves Me & Neither Do I.
Tapi, tentu saja, ini juga bukan Zeppelin. Yang pernah mendengar Jones lewat Zooma, album solonya pada 1999, mungkin akan mengenali beberapa elemen seperti di sana. Hampir serupa, di sini, trio Grohl, Homme, dan Jones ekstra-bergairah dalam membetot kemampuan untuk bermain-main, bereksperimen—walau tak sampai kelewatan. Misalnya pada Interlude with Ludes, ketika mereka seperti berasyik-masyuk bergaduh-ria dengan nada-nada muram. Di sini, sebelum kenikmatan melampaui titik optimal, mereka lekas mengerem diri. Efeknya jauh lebih membekas ketimbang bila mereka sampai berkepanjangan.
Dengan 13 lagu, di antaranya dengan judul-judul yang sama ganjilnya dengan nama band-nya (coba: Caligulove atau Spinning in Daffodils), inilah album yang seperti mengawinkan hard rock dengan alternatif; ini paket yang sarat groove, riff, dan melodi nan catchy. Dan bagusnya lagi: semua itu disajikan melalui permainan yang penuh chemistry, tanpa egoisme. Poin inilah, barangkali, yang menjadikan album ini terasa begitu hidup dan jauh dari kesan terlalu banyak polesan. Mereka bisa kompak, saling dukung, bahkan saling ”memanasi”, sehingga hasilnya bahkan untuk sesuatu yang sudah kuno bisa terdengar seperti gres.
Jadi abaikan nama.
Purwanto Setiadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo