Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada masanya Yohana susah makan, susah tidur. "Kalau sudah capek banget, mau makan saja susah. Pinginnya tidur, tapi juga tak bisa," kata dokter umum berusia 31 tahun itu kepada Tempo, Rabu, 14 September 2022. Di mengidentifikasi kondisi itu sebagai burnout.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebabnya, Yohana melanjutkan, adalah jam kerja dokter dan perawat di rumah sakit. Shift pertama merupakan waktu yang paling sibuk. "Ketika badan lagi enggak sehat tapi rumah sakit kekurangan tenaga kesehatan, mau enggak mau masuk," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burnout adalah sindrom yang ditimbulkan dari stres kronis akibat pekerjaan. Penderita merasakan kekurangan tenaga dan keletihan, baik fisik maupun mental. Mereka juga dirundung perasaan negatif terhadap pekerjaan, serta merasa tak dihargai. Akibatnya, tugas terbengkalai dan produktivitas anjlok. Istilah ini muncul pada 1970-an, tapi baru diadopsi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019. WHO tidak menganggap ini sebagai status kesehatan, melainkan fenomena pekerjaan.
"Pandemi Covid-19 membuat banyak tenaga medis kena burnout," kata Karen Walker-Bone, pakar kesehatan dari Monash University di 360 Info, situs ilmiah terbuka yang dikelola Monash University, Melbourne. Sebelum wabah mendunia pada 2020, diperkirakan 11-33 persen pekerja kesehatan terserang burnout. Angka itu melonjak pada masa pandemi. Walker-Bone mengutip penelitian di Australia yang mendapati lebih dari 70 persen pekerja di garis depan layanan kesehatan mengalami burnout.
Petugas kesehatan berpakaian APD setelah pelaksanaan rapid dan swab test di zona merah Covid-19 di Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 2022. TEMPO/Prima Mulia
Di 360 Info, Alex Waddle, peneliti sistem kesehatan dari Monash University, menyatakan petugas di ruang instalasi gawat darurat lebih rentan mengalami burnout. Ancamannya tetap tinggi meski badai Covid-19 telah berlalu. Penyebabnya macam-macam, dari penambahan tugas, pasien dengan penyakit akut yang menular, hingga sumber daya yang tak memadai.
Internet menyediakan banyak cara penanggulangan burnout. Namun, Waddle melanjutkan, hanya ada sedikit metode yang secara ilmiah terbukti bisa menanggulangi burnout bagi pekerja medis. Pertama, berfokus pada individu. Misalnya ikut kelas manajemen. Kedua, berfokus pada perusahaan atau tempat kerja. Misalnya menaati pembatasan jam kerja, pengaturan kerja yang lebih fleksibel, dan membangun suasana kerja yang positif.
Sejumlah riset mendapat kombinasi fokus antara individu dan perusahaan yang membuahkan hasil paling positif bagi pekerja medis. Penerapan kombinasi intervensi berbasis fisik, seperti berolahraga dan penenangan pikiran, tidak memiliki efek signifikan untuk penurunan burnout. Namun berbeda jika dikombinasikan dengan dukungan dari lingkungan kerja, misalnya berupa perbaikan komunikasi, kerja sama antar-keahlian, serta semangat kerja tim. Adapun perusahaan diharapkan merangkul tenaga kerja serta mendengarkan keluhan mereka dan merancang penanganan perihal burnout sesuai dengan kebutuhan staf.
Menurut Walker-Bone, penempatan jumlah tenaga sesuai dengan kebutuhan kerja merupakan cara jitu menghilangkan burnout. Penambahan karyawan secara otomatis mengurangi beban pegawai lama.
Namun burnout bukan semata soal jumlah pekerja. Harus ada sistem yang memungkinkan atasan mengetahui beban kerja para karyawan. Jika pekerja bisa menyampaikan aspirasi dengan bebas, punya keleluasaan dalam bekerja, serta punya kegiatan di luar jam kantor, ancaman burn out-nya kecil.
REZA MAULANA | DAFFA SIDQI (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo