PINTAR tidak berarti sehat. Ini terbukti dari hasil penelitian
terhadap kelompok murid-murid pandai yang menjadi mahasiswa
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) tahun ajaran 1983-1984.
Sebanyak 26,4% dari yang diteliti (174 orang yang terdiri dari
87 wanita dan 87 pria) cenderung menderita gangguan jiwa
psikopatia. Sementara 8,6% lagi cenderung menderita
psikoneurosa.
Penelitian dengan menyebarkan daftar pertanyaan itu menunjukkan
bahwa dari 26,4% (46 orang) yang cenderung kena penyakit jiwa
psikopatia terdiri dari 27 pria dan 19 wanita. Dari kelompok IPS
yang tertinggi, 36 orang, sedangkan dari IPA 10. Dari 8,6% yang
cenderung menderita psikoneurosa terdapat 3 pria dan 12 wanita.
Mereka terdiri dari 3 orang kelompok IPA dan 12 IPS.
Tujuan penelitian ini, seperti yang diuraikan Samsulhady yang
mengetuai tim peneliti, adalah untuk melihat apakah murid-murid
yang berprestasi di sekolah menengah atas juga cemerlang di
perguruan tinggi.
Mahasiswa-mahasiswa baru yang terlibat dalam penelitian itu
merupakan hasil panduan bakat yang masuk ke UNS tanpa mengikuti
tes masuk. Mereka menempati kelompok 10% murid terpandai di
sekolah menengah atas di daerah Surakarta.
Hasil penelitian yang sempat menjadi bahan pembicaraan dalam
diskusi panel Kesehatan Jiwa Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 6 Agustus lalu, tidak hanya
berhenti sampai pada angka-angka itu. Selama 3 tahun, prestasi
mahasiswa-mahasiswa tadi akan diamati terus-menerus. Sebagai
bahan pembanding diambil mahasiswa yang masuk UNS melalui tes
masuk.
"Kalau ternyata selama tiga tahun mendatang prestasi mahasiswa
yang punya kecenderungan terganggu jiwanya lebih baik dari
mahasiswa yang masuk lewat tes biasa, berarti penelitian kami
ini gagal," ujar Sjamsulhady, kepala bagian Psikiatri Fakultas
Kedokteran UNS. Dengan begitu pula, menurut dia, proyek panduan
bakat yang mulai dilancarkan pemerintah 8 tahun yang lampau,
"silakan untuk diteruskan."
Tetapi sebaliknya kalau gangguan jiwa betul-betul mengganggu
prestasi belajar, Sjamsulhady bakal menganjurkan perlunya
pemeriksaan psikiatri dalam proyek panduan bakat. "Sebab orang
yang pandai punya kecenderungan menderita gangguan psikoneurosa
dan psikopatia," katanya.
Hipotese dokter yang mengepalai Unit Kesehatan Jiwa RSUP
Mangkubumen, Solo, ini juga memandang perlu adanya College of
Psychiatry, semacam lembaga untuk mengatasi masalah-masalah
gangguan jiwa di kalangan mahasiswa. Sampai sekarang lembaga
seperti itu belum pernah ada di sini. Padahal peranannya
penting, menurut Sjamsulhady. Misalnya untuk menangani mahasiswa
yang mengalami kesulitan belajar, suka murung dan putus asa.
Gangguan jiwa, menurut sang dokter, gampang terjadi di perguruan
tinggi. Karena di situ mahasiswa menemukan banyak problem.
Selain harus lebih giat belajar, mereka juga harus berhadapan
dengan problem lingkungan yang sama sekali baru. Seperti
pemondokan dan harus pandai-pandai bergaul dengan teman sekuliah
yang berlainan suku dan adat-istiadat. "Sering bolos kuliah
tanpa sebab, murung, kadang punya keinginan bunuh diri dan
mengamuk, merupakan tanda-tanda kena gangguan jiwa," ulas
Sjamsulhady pula.
Dia memandang dengan mata kritis sistem pendidikan perguruan
tinggi sekarang ini. "Kita hanya memperhatikan proses ilmu tanpa
memperhatikan faktor kejiwaan," katanya. Gangguan jiwa yang
diderita seorang mahasiswa bisa mengakibatkan mereka menjadi
seorang koruptor. "Atau pemimpin gali," katanya. Karena beberapa
jenis penyakit jiwa memang bisa mendorong orang berbuat
tindakan-tindakan asosial. Terutama yang menderita psikopatia.
Penyakit ini diperkirakan sebagai akibat konflik emosional yang
tak terpecahkan pada waktu anak-anak dan menimbulkan suatu
penyimpangan psikologis. Penderitanya memiliki sikap suka
bermusuhan, merasa berdosa, dendam, dan frustrasi.
Sedangkan psikoneurosa yang lebih banyak menyerang wanita
ketimbang pria itu, merupakan penyakit gangguan emosional.
Gejalanya berupa kecemasan, ketakutan pada sesuatu yang tidak
dapat diterima akal sehat. Dan berkepribadian ganda. Jumlah
penderita jenis penyakit jiwa yang satu ini sekitar 10% dari
seluruh penduduk.
"Dalam taraf tertentu penderita psikoneurosa dapat bekerja dan
belajar dengan baik. Bahkan lebih tekun dari orang normal.
Tetapi sebagian besar dari penderita cenderung bekerja atau
belajar secara tidak efektif dan kurang efisien," kata
Sjamsulhady.
R. Soejono Prawirohardjo yang mengepalai bagian Kedokteran Jiwa
FK UGM menggendangi hasil dari Solo itu sebagai "peringatan,
bahwa distribusi penyakit jiwa tidak mengenal kelompok pandai
atau kelompok tidak pandai. Sama saja," cetusnya.
Tetapi Soejono tidak memberikan harga mati kepada semua
penderita gangguan jiwa. Psikoneurosa, menurut dia, bisa saja
terjadi karena konflik emosional yang terjadi pada seseorang
yang ditelantarkan ibunya. Ketika dewasa orang ini kemudian kena
pukulan yang sama beratnya, misalnya ditinggalkan istri. Dia
bisa menderita gangguan jiwa berat. "Tetapi tidak semua orang
yang ditinggal ibunya menjadi penderita psikoneurosa. Tergantung
status mentalnya," katanya.
Ia memberi contoh, 8 dari presiden Amerika Serikat tidak
berbapak. "Menurut perhitungan normal, mereka seharusnya menjadi
orang-orang nakal. Tapi nyatanya jadi presiden."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini