Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Campak serbu bengkulu

Wabah campak menyerang desa apur, kec. padang ulak tading, bengkulu. menelan korban jiwa 60 orang. setelah dilakukan pemeriksaan ternyata scabies, yang disebabkan sejenis virus morbili.

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABAN malam tahlilan terdengar di Desa Apur. Ritus ini dilakukan karena sudah berturut-turut 20 penduduk meninggal dunia diserang wabah campak di Kecamatan Padang Ulak Tanding, Rejanglebong, Bengkulu. Rambatannya di satu kecamatan saja beberapa minggu terakhir ini mengerikan. Wabah itu merayapi 20 dari 43 desa di kecamatan tadi. Seperti dicatat wartawan TEMPO yang mengunjungi desa-desa tersebut selama tiga hari, wabah campak di beberapa kecamatan di Bengkulu total sudah menelan korban 60 jiwa. "Setiap hari kami menggali kuburan, seperti tak mau putus-putusnya," ujar Aman Syari, Sekretaris Desa Apur. Wabah ini muncul September lalu. Namun, Bupati Rejanglebong, Marwan D.S., baru mengetahuinya pada 21 November. Padahal, jarak kecamatan-kecamatan yang terserang wabah dengan Curup, ibu kota kabupaten, hanya 60 km. Tak ayal, Marwan terperangah ketika ia dikabari bahwa wabah campak menyerang beberapa kecamatannya. Hari itu juga ia menelegram Camat Padang Ulak Tanding agar melaporkan serangan penyakit menular itu. Ia juga memerintahkan Kepala Dinas Kesehatan Rejanglebong, dr. Syahrul Muhammad, supaya membentuk tim medis untuk mengatasi keadaan. Esoknya tim itu segera turun. Setelah pemeriksaan darah pada 100 penderita, Syahrul menyimpulkan, penyakit yang lagi menjalar adalah scabies. Penyebabnya, sejenis virus morbili. Gejalanya pada penderita dimulai dengan demam, dan matanya merah. Bintik-bintik merah muncul di sekujur tubuh beberapa saat kemudian. Bedanya dengan penderita morbili, setelah scabies sembuh, tubuh penderita masih diserang rasa gatal mirip eksem. Lingkungan Desa Apur yang kotor merupakan salah satu faktor penyebab ledakan wabah tersebut. Suplai air melalui sebuah sungai kecil di desa itu menurun debitnya sejak dua tahun lalu karena dijadikan sumber air Perusahaan Air Minum (PAM) Rejanglebong. Dulu dalamnya mencapai dua meter, kini ketinggian air sungai cuma sebatas betis. Penduduk menggunakan sungai ini untuk segala hal. "Mulai mandi, mengambil air minum, mencuci pakaian, sampai buang hajat," ujar Syahrul. Penyakit gampang muncul, karena perkampungan itu juga penuh dengan genangan air. Mulanya, September lalu, campak melanda Desa Talang Karet, Tak Toi, Taha Tinggi, dan Taha Padang. Korban jiwa jatuh 17 orang di keempat desa ini. Puncaknya pada Oktober silam, setelah merambat ke 20 desa, sehingga korban naik menjadi 60 jiwa. Sedangkan penderitanya mencapai 1.500 orang. "Sebagian besar balita," kata Basyaruddin, Kepala Desa Taha Padang. Kepala Puskesmas Padang Ulak Tanding, dr. Heroe Soebroto, ikut kalang-kabut menghadapi serbuan penyakit itu. Soalnya, penduduk yang terserang lebih suka berobat ke dukun daripada ke dokter. "Walau dikunjungi, mereka menolak pertolongan kami," kata alumnus FK Unair 1988 itu. Padahal, yang cepat ke puskesmas umumnya memang selamat. Menurut drg. Riska S.L., yang bertugas di puskesmas Desa Curup, serangan terhadap balita kebanyakan karena bayi-bayi itu belum diimunisasi. Maklum, kebanyakan penduduk menetap di kebun-kebun kopi di perbukitan. "Bagaimana mau memberi imunisasi pada mereka kalau orangtuanya lebih percaya dukun," kata Riska. Pekan-pekan ini tim medis memang sibuk melakukan penyuntikan masal. "Saya berdoa agar bencana itu segera berakhir," kata Bupati Marwan kepada Marlis dari TEMPO. Ia cemas karena wabah campak mulai menyeberang ke Kecamatan Ulu Musi dan Lahat di Sumatera Selatan. Di dua kecamatan tersebut memang belum ada yang jatuh korban jiwa. Bupati Lahat, Kafrawi Rahim, bertindak tanggap. Ia punya pengalaman ketika Ulu Musi diserbu wabah malaria pada Oktober silam. Bersihar Lubis (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus