Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Disparitas Semakin Lebar

Buku populer karya Thomas Piketty ini mengulas kesenjangan ekonomi dengan cara unik dan memikat.

19 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Capital in the Twenty-First Century
Penulis: Thomas PikettyPenerjemah bahasa Prancis ke Inggris: Arthur Goldhammer
Penerbit: He Belknap Press of Harvard University Press
Edisi: I, Maret 2014 (edisi Inggris)
Tebal buku: 696 halaman (termasuk catatan)

MEWARISI kekayaan atau menikah dengan orang kaya adalah satu-satunya jalan untuk hidup enak—itulah potret sosial yang digambarkan Jane Austen dalam novel-novelnya. Di tangan ekonom Prancis, Thomas Piketty, Sense and Sensibility, Mansfield Park, ataupun Persuasion lebih dari sekadar karya sastra, tapi juga pelukisan kondisi sosiologis, ekonomis, dan psikologis masyarakat masa itu yang layak dikutip untuk menjelaskan sebuah tema besar dalam ekonomi-politik: ketimpangan pendapatan.

Piketty khawatir suasana itu berulang sekarang tatkala kekayaan terkonsentrasi pada sedikit orang. Ia cemas Eropa dan Amerika tengah menuju situasi seperti abad ke-19 ketika banyak orang yang sangat makmur mewarisi kekayaan yang berlimpah (masa "kapitalisme patrimonial"). Ini kecemasan yang layak mengingat si amat kaya raya (very top incomes, kelompok "1 persen") semakin jauh meninggalkan warga masyarakat lain.

Isu kesenjangan pendapatan mendapat perhatian kembali di negara-negara Barat menyusul munculnya gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat dan gerakan We are the 99 Percent di Eropa Barat. Dua buku terbit pada saat gerakan ini ramai dibicarakan: Inequality and Instability karya James Galbraith (2012) dan The Price­ of Inequality karya Nobelis Joseph Stiglitz (2013).

Sambutan publik, sejauh ini, terhadap kedua karya ekonom tersebut tidak semeriah ketika Capital terbit (dalam bahasa Inggris). Berbicara mengenai isu yang sama, karya Piketty ini dalam sekejap menyita perhatian ekonom, pembuat kebijakan, pelaku pasar, ataupun think-­thankers. Ketika orang masih mencari penjelasan yang memuaskan apa dinamika besar yang menggerakkan akumulasi dan distribusi kapital, Piketty menawarkan jawaban yang lebih mendasar.

Isu sentral karya Piketty ini adalah ketimpangan pendapatan yang disebabkan oleh konsentrasi kapital pada sedikit orang. Konsentrasi kapital yang kian meningkat di tangan sedikit orang, kata Piketty, telah mendorong pemiliknya memperlakukan kapital sebagai sumber daya langka dan karena itu bernilai sangat tinggi. Kaum pemilik modal (kapitalis) menuntut pengembalian yang tinggi.

Secara evolutif, rate of return on capital (r) lebih tinggi secara signifikan daripada rate of growth of income and output (g). Ketika hal itu terjadi, kapital akan mereproduksi diri lebih cepat daripada peningkatan output dan upah. Pemilik kapital semakin kaya dibanding mereka yang mengandalkan tenaga. Ketimpangan pun semakin lebar dan inilah, kata Piketty, kontradiksi inti kapitalisme yang bersifat logis dan fundamental.

Pandangan ini membantah keyakinan bahwa kesenjangan merupakan distorsi yang akan dipulihkan oleh mekanisme pasar. Piketty membantah pandangan bahwa pasar yang terbebas dari efek distorsi dan intervensi pemerintah akan "mendistribusikan buah kemajuan ekonomi" kepada semua orang. Tesis Piketty tentang kelemahan inheren kapitalisme ini menyengat banyak pihak dan ia dituding sebagai Karl Marx baru—tudingan yang salah tempat karena Piketty berbicara ihwal distribusi kekayaan dan ketimpangan pendapatan, sedangkan Marx berbicara tentang faktor produksi dan pertentangan kelas.

Sebaliknya, kata Piketty, meningkatnya ketimpangan mencerminkan bahwa pasar bekerja seperti yang seharusnya. "Semakin sempurna pasar kapital, semakin tinggi ’tingkat return on capital’ dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi rasio ini, semakin besar ketimpangannya," ucap Piketty. Tidak ada mekanisme natural yang dapat merintangi kecenderungan itu, kecuali krisis seperti perang, depresi ekonomi, atau intervensi politik. Piketty menawarkan jalan keluar yang memancing perdebatan dan membikin gerah sebagian orang: pengenaan pajak progresif terhadap kapital.

Piketty menyusun tesisnya berdasarkan laporan dari lapangan. Capital bertumpu pada riset 15 tahun (1998-2013) yang dilakukan Piketty bersama sejawatnya, ekonom Prancis, Emmanuel Saez, serta Anthony Atkinson dari Oxford dan London School of Economics—pionir studi ketimpangan di era modern. Dukungan Tony terutama pada karya awal Piketty tentang orang-orang berpenghasilan sangat tinggi di Prancis (2001). Sedangkan Saez berkontribusi pada studi tentang pertumbuhan pendapatan populasi satu persen di Amerika sejak 1970-an hingga 1980-an.

Gagasan Piketty memiliki kedalaman historis berkat himpunan data sepanjang dua abad yang mencakup lebih dari 20 negara. Potret sosial yang ditangkap Jane Austen, Henry James, dan Honoré de Balzac memperkaya pemahaman Piketty tentang situasi sosiologis dan psikologis pada era mereka. Piketty memandang ekonomi sebagai subdisiplin ilmu-ilmu sosial, berdampingan dengan sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik—inilah yang membedakannya dari ekonom umumnya.

Pendekatan tersebut menjadikan Capital mendalam secara historis, berakar pada riset yang kuat, dan dengan rujukan yang luas. Nobelis Paul Krugman memuji karya Piketty ini sebagai karya yang menawarkan jalan bagi a unified field theory of inequality yang mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan antara kapital dan tenaga kerja, serta distribusi kekayaan dan pendapatan di antara individu-individu ke dalam kerangka tunggal.

Di atas berbagai unsur itulah kekuatan Capital bertumpu, dan Piketty melihat bahwa ketimpangan pendapatan telah berlangsung pada sebagian besar sejarah manusia dan di abad ke-21 situasinya menjadi kian kompleks. Piketty mengingatkan bahwa ketimpangan di Amerika dan wilayah ekonomi maju lain kian memburuk sejak 1970-an dan tengah menapaki jalan menuju derajat ketimpangan yang cenderung menyebabkan disrupsi sosial.

Bagi Indonesia, karya ini penting dan relevan untuk memahami kecenderungan meningkatnya kesenjangan pendapatan di sini—serupa dengan negara maju yang dibahas Piketty. Di tengah puji-puji dunia atas pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan masuknya Indonesia ke daftar 10 besar ekonomi dunia, terdapat fakta lain yang sangat tidak boleh diabaikan: indeks Gini Indonesia terus meningkat dari 0,30 pada 2000 menjadi 0,413 pada 2013—angka tertinggi dalam sejarah Indonesia merdeka.

Peningkatan indeks Gini tersebut menandakan bahwa kekayaan kelompok atas meningkat jauh lebih cepat dibandingkan dengan kekayaan masyarakat kelas bawah. Pada 2005, kelas terbawah (40 persen dari total populasi) menerima manfaat dari pertumbuhan ekonomi sebesar 21 persen dari produk domestik bruto, tapi pada 2013 menurun menjadi 16,9 persen. Untuk kelas atas (20 persen dari populasi), pada 2005 menerima 40 persen dan meningkat menjadi 49 persen pada 2013. Peringatan Piketty niscaya berlaku pula di sini: ketimpangan pendapatan yang kian meningkat cenderung mengarah destabilisasi.

Dian Basuki, Pemerhati Buku

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus