Achmad Ali *)
*) Guru besar ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar
DENGAN sangat cerdas, Philippe Nonet & Philip Selznick (dalam bukunya, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, 2001) membedakan tiga tipe hukum: yang represif, yang otonom, dan yang responsif. Tipe hukum yang otonom adalah yang senantiasa menonjolkan prosedural dan mengabaikan substansi persoalan hukumnya serta rasa keadilan masyarakat. Jenis hukum ini jauh dari pertimbangan moral dan sangat legalistik.
Tipe seperti itulah yang mungkin dimaksudkan oleh Albert W. Alschuler (2000) sebagai "law without values" atau yang secara lebih kasar diistilahkan oleh Ronald Irving (2001) sebagai "the law is an ass". Celakanya, dunia penegakan hukum di Indonesia saat ini di-belenggu oleh pemikiran tipe hukum yang otonom tadi. Ide untuk menutup kasus pidana mantan presiden Soeharto mengacu pada aturan-aturan prosedural belaka. Itu pun dengan menggunakan kacamata yang teramat sempit-normatif. Padahal siapa pun yang pernah belajar teori hukum dengan baik di tingkat pascasarjana pasti tahu bahwa pendekatan ilmu hukum bukan semata-mata pendekatan normatif, melainkan juga harus berimbang dengan pendekatan yang sosiologis dan filosofis. Cara berpikir yang sempit legalistik adalah produk dari sistem pendidikan hukum "gaya lama", saat ilmu hukum hanya dianggap sebagai "media profesi" dan bukan sebagai "pranata manusia" secara utuh. Hukum yang menjadi obyek kajian fakultas hukum "gaya lama" itu adalah sekadar "lawyer's law", "law for the lawyers", atau "law for the legal professionals".
Memang benar bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita tidak mengenal "pengadilan in absentia", tapi itu bukan berarti sakitnya Soeharto sudah menutup jalan bagi kasus pidananya untuk disidangkan. Dibutuhkan kreativitas, keberanian, dan "langkah terobosan", baik dari pihak kejaksaan selaku penyidik dan penuntut umum maupun dari pihak pengadilan. Misalnya mengapa majelis hakim tidak berinisiatif mendatangi kamar tidur di kediaman Soeharto dan membuka persidangan pertama di kamar tersebut dengan menyatakan, "Sidang dibuka dan terbuka untuk umum!" Di dalam berita acara dicantumkan kehadiran terdakwa Soeharto dalam persidangan pertama itu, sehingga tidak dapat lagi dikatakan bahwa yang berlangsung adalah proses peradilan in absentia. Sidang-sidang selanjutnya bisa di kantor pengadilan seperti biasanya. Bukankah pemeo hukum mengatakan equum et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum)?
Agar tidak "melanggar HAM", pengadilan tidak perlu memaksa Soeharto yang sedang sakit untuk menghadiri persidangan. Ia bisa diwakili oleh penasihat hukum. Keterangan yang dibutuhkan dari terdakwa bisa diambil dari hasil penyidikan. Sebab, dalam perkara pidana, keterangan terdakwa bukanlah alat bukti yang utama. Ini berbeda dengan perkara perdata: pengakuan tergugat mempunyai kekuatan hukum yang memutuskan/menentukan. Alat bukti yang paling utama (urutan pertama dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP) adalah keterangan kesaksian. Kalau kita mendalami hukum pembuktian, kita mengetahui bahwa keterangan terdakwa tidak di bawah sumpah, berbeda dengan keterangan kesaksian. Dari segi ini saja sudah jelas kekuatan kesaksian dibandingkan dengan keterangan terdakwa. Apalagi dalam Pasal 183 KUHAP diatur bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, cukup kesalahannya terbukti dengan minimal "dua alat bukti yang sah." Jadi, tidak mutlak alat bukti itu adalah keterangan atau pengakuan terdakwa. Tentu saja ini dengan dukungan "ke-yakinan hakim" sesuai dengan asas beyond reasonable doubt.
Alasan bahwa "orang sakit ingatan" tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dapat diterapkan dalam kasus Soeharto. Sebab, ketika Soeharto melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadap dirinya, ia masih dalam keadaan sehat walafiat.
Untuk kasus ini, bisa digunakan juga salah satu jenis metode penemuan hukum oleh hakim yang dinamai interpretasi sistematis: hakim tidak terpaku pada satu pasal undang-undang belaka, tapi harus dicarikan hubungan antara ketentuan yang satu dan ketentuan lainnya, terutama dengan aturan yang lebih tinggi. Dalam kasus dakwaan korupsi terhadap Soeharto ini, hakim dapat mengacu pada ketetapan MPR tentang pemberantasan KKN yang kedudukannya lebih tinggi daripada KUHAP. Majelis hakim juga dapat mengacu pada Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa "Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat." Tidak cukup sampai di situ, lebih lanjut dipertegas dalam penjelasan pasal tersebut, "….Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat."
Jika akhirnya kasus Soeharto jadi "ditutup", percayalah bahwa kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement akan semakin memburuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini