Arswendo Atmowiloto
UNTUK pertama kalinya dalam hidup Tommy Soeharto, barangkali baru sekali ini pada suatu pagi ia tahu nyaris hidup tanpa identitas. Kartu tanda penduduk, bahkan yang palsu sekalipun, juga kartu kredit, atau tanda identitas yang lain, harus dititipkan. Identitas yang dimiliki yang dicatatkan di pintu selnya hanyalah nama, dan alias kalau punya, agama, serta pasal-pasal yang dituduhkan, serta tanggal masuk. Nanti kalau sudah ada keputusan hukum, yang berubah hanyalah tanggal, bulan, dan tahun ia bebas. Atau mungkin tertulis sh, alias seumur hidup. Atau mt, atau hukuman mati. Ini realitas baru yang dikenakan padanya. Inilah seragam yang saat dikenakan justru menelanjangi diri. Inilah pemenjaraan yang justru membebaskan diri dari predikat, jabatan, atau apa pun yang selama ini seolah menjadi bagian dari pribadinya.
Ada yang berubah, terutama pandangan orang lain kepada kita. Ada yang akan menggelari Tommysaurus, semacam reptil raksasa jenis "tommy", mungkin juga ada yang masih mau mengakui, My Tom. Ada yang tak berubah. Langit malam hari kadang masih berwarna biru—walau kita tak bisa melihat atau menikmati.
Dunia luar terus berputar. Alam tak berhenti hanya karena seorang Tommy masuk tahanan atau patah hati.
UNTUK tidak kehilangan arah, anggap saja kini berada di etape tertentu dari sebuah lomba kehidupan yang harus diselesaikan. Untuk dimenangkan, atau paling tidak tak menjadi lebih buruk dari sekadar selip atau menabrak pohon dan penonton. Etape ini terdiri dari tiga tikungan.
Tikungan pertama, masa-masa menjelang persidangan. Isinya cuma ditanyai melulu, dengan pertanyaan yang sama: nama, tanggal lahir, agama, alamat, dalam keadaan sehat atau tidak, yang selalu diulang. Ditanyai lagi, diinformasikan lagi saksi bilang lain, tertuduh lain menyentuh apa dan sejenisnya. Masa yang membosankan, dan bahkan ketika menatap ke dalam kaca—atau jika tak ada kaca bisa menatap air kolam di kamar mandi—sulit mengenali diri sendiri. Rasa bosan ini makin terasakan ketika harus menemui kunjungan bahkan dari Tutut-Titiek-Tata sekalipun. Lupakan itu sejenak, sampaikan bahwa bukan tak mau dikunjungi, tapi ini saat untuk bersendiri dulu. Inisiatif darimu, bukan orang yang terdekat sekalipun. Bukan tidak mau, tapi memang kondisi berbeda. Makanya lupakan keinginan sungkem segala macam. Bukan tak hormat kepada orang tua tercinta, tapi hanya akan menambah kecewa jika tak bisa. Tikungan pertama ini berbeda, sehingga sungkeman pun bisa dilakukan dengan lingkungan yang ada. Juga kalau mau merayakan Tahun Baru, atau bahkan mungkin Valentine's Day. Atau hari apa ulang tahun siapa. Hari-hari yang dirayakan berbeda: bangun, mandi, olah raga bersama, atau nanti setiap Senin mengikuti upacara bendera.
Tikungan kedua adalah masa-masa persidangan. Masa yang sulit karena tersenyum pun bisa diartikan terlalu tenang. Atau bahkan tidak tersenyum dianggap tersenyum.
Kalaupun pasang wajah nonsenyum, dianggap angkuh. Suasana serba salah, yang makin membuat lelah. Tapi biar sajalah, mau dipotreti dari segala arah, tak perlu marah. Ini memang tikungan sedang diadili, dijadikan obyek, bukan subyek. Dalam kasus "perkara yang menarik perhatian masyarakat", jangan terlalu berharap jual- beli jasa. Apalagi tawaran hukuman minimal, janji jaksa-pengacara-atau hakim atau polisi sekalipun. Tikungan kedua ini mempunyai istilah sempurna, semua itu hanya "angin surga". Tak perlu percaya biarpun setengahnya saja.
Tikungan ketiga, masa yang lebih panjang namun membuat lebih tenang. Taruh kata sudah ada putusan hukum yang pasti, tinggal menghitung hari. Yang paling buruk pun bisa dijatuhkan. Mt, atau juga sh, atau 20 tahun. Atau dijumlahkan. Betapapun semua itu menyesakkan dada—bernapas yang biasanya bisa terjadi dengan sendirinya menjadi sulit dan bikin sakit—untuk sementara kita melihat garis finish dalam perjalanan ini.
DARI etape ke etape, teman terbaik, co-pilot tepercaya, navigator sejati, boleh jadi disebut harapan. Harapan bukanlah kalkulasi perhitungan akal sehat semata. Bukan seperti harapan selama ini bahwa tanggal satu nanti gajian. Itu sudah dengan sendirinya. Harapan yang ini adalah bahwa tiba-tiba ada bonus, yang tak masuk dalam kalkulasi.
Harapan adalah rasa percaya yang terbina dari satu situasi ke situasi berikutnya, bahwa sesuatu yang elok menjadi kenyataan, di luar perhitungan biasa. Justru ketika segala kekuasaan dan kekuatan manusia—apakah bersama para dukun yang memberi azimat, apakah uang tanpa nomor seri, ataukah kedekatan dengan penguasa—ternyata tak mempan, ketika itulah harapan mewujud dan terasakan. Terasakan dalam iman. Ajaran keagamaan, atau lebih dalam lagi nilai-nilai tradisi kejawen yang diterima sejak kecil, menemukan perwujudannya. Pun kalau dulu terlupakan. Guncangan yang besar pada akhirnya menggoyang akar iman percaya, apa pun hasilnya.
Harapan menjadi perisai yang dikenakan tanpa terlihat, baju hangat melawan dingin dan sepi, setitik cahaya di ujung terowongan. Harapan tetap ada, walau segalanya tampak seperti putus asa. Pakde bisa menjadi contoh, betapa segala sesuatunya menjadi mungkin berkat harapan. Menjalani hukuman seumur hidup plus tujuh belas tahun atas dua kasus pembunuhan, sekarang bisa bermain dengan cucunya di alam kebebasan. Pakde bukan satu-satunya, bukan yang pertama atau terakhir. Banyak contoh dari kasus kriminal, politik, atau campuran keduanya.
Harapan tak pernah mati, karena harapan ada dalam nadi, ada dalam tarikan napas, ada dalam doa, ada dalam hati. Tinggal Tommy mau menyadari atau terus mengandalkan kuasa manusiawi.
PADA titik ini, Tommy bebas sepenuhnya menentukan ke mana arah mobil balap kehidupannya. Ia bisa tampil apa adanya, secara tulus menceritakan semua lelakon, semua peristiwa yang dialami. Ia yang tengah menjadi lakon, tokoh utama, menjabarkan apa saja yang bisa diceritakan. Kekecewaan, kepengkhianatan, kecurangan, yang menyangkut sejumlah nama, sejumlah peristiwa, dalam sejumlah waktu, ditumpahkan semua untuk tak lagi memberati batin. Segala sesuatu yang diketahui, yang ditanyakan, yang harus dijelaskan ulang, sampai tetes terakhir. Bukan untuk kepahlawanan, bukan sekadar menghapus atau memindahkan dosa dan kesalahan, melainkan yang utama dan terutama, menjadi jujur, polos, tulus. Berserah bukan dalam menyerah, melainkan pasrah.
Bahwa klarifikasinya, nyanyiannya, menyebabkan banyak orang terseret, itu adalah konsekuensi logis yang menyertai tindakannya sebelum dan selama ini. Kalau jalan ini yang ditempuh, sekurangnya Tommy memindahkan seluruh beban batin untuk dibagi. Kutukan tidak berada di pundaknya sendiri. Tidak berarti lepas dari beban, melainkan memberi kesempatan subyek lain menjadi obyek. Apakah itu bernama hukum yang harus ditegakkan atau pemberantasan KKN malah mundur, apakah... apa saja yang selama ini menjadi pergunjingan. Bola itu tidak berada di tangannya sendirian, melainkan dilemparkan ke tengah lapangan, dan biarlah massa penonton menyoraki, bertepuk tangan, atau kecewa.
Kalau jalan ini ditempuh, bukan tidak mungkin Tommy masih bisa mengembangkan senyum yang tulus dan diterima dengan mulus. Kalkulasi yang paling menyedihkan pun bukan tak ada perhitungannya. Taruh kata dari semua kasus yang dituduhkan, bisa dibuktikan dan harus menjalani hukuman mt. Banyak kasus hukuman mt menjadi sh, dan dari sh menjadi maksimal 20 tahun. Dengan pengurangan remisi segala macam, paling jauh hanya menjalani kurungan sekitar 11 tahun. Artinya, harapan untuk hadir kembali masih lebih panjang, juga lebih indah, dan dengan bekal kearifan yang selama ini dijalani.
Ia juga bisa menempuh jalan seperti selama ia memilih buron. Karena merasa diperlakukan tidak adil—asal tahu saja, semua orang yang ditahan merasa diperlakukan tidak adil—ia memilih jalan kuasa manusiawi. Dengan semua kekuatan, kekayaan, kuasa yang ada padanya. Hanya, jalan ini ternyata makin menjauhkan dari jalur reli yang ditetapkan. Ketika pertama buron, tak disadari bahwa ternyata rangkaian ini menjebaknya dalam situasi terkait dengan kasus pembunuhan, penyimpanan senjata, peledakan, secara langsung atau tidak. Semua bisa terjadi karena kuasa manusiawi yang dimilikinya. Dan ternyata kurang pas. Ibarat pereli hebat yang hanya karena selip atau menyenggol pohon, tetap ngotot terus menerjang... karena percaya mobilnya bagus dan bisa mengatasi. Kemudian terbukti yang ditabrak berikutnya adalah penonton.
Pilihan ada pada Tommy. Untuk sekadar "menghitung hari", "menghitung pengunjung", atau "menenggelamkan dendam". Atau juga mempergunakan waktu untuk mengucap dan mengungkap syukur.
Bersyukur kecil-kecilan karena kini tak usah menjawab sms atau tagihan pertanggungjawaban dari para kekasihnya. Tidak juga perlu banyak berdusta dengan janji-janji baru. Bersyukur karena mampu mengandalkan Sang Pencipta, dan bukan kuasa manusiawi yang berupa uang, kemenyan, atau peluru. Bersyukur karena kini bisa mengetahui siapa sahabat yang sesungguhnya, siapa yang hanya ikut tertawa di saat lampu terang dan bau minyak wangi. Bersyukur bahwa ternyata keluarga adalah kekuatan sejati yang doanya menyertai, dan masih bisa dikenang sambil meneteskan air mata.
Karena sesungguhnyalah penjara bukan akhir dari segalanya. Karena sesungguhnya masih banyak etape, masih banyak lomba, masih banyak waktu untuk melihat perkembangan anak, menantu, cucu yang lucu. Masih ada waktu untuk menjadi Tommysaurus atau My Tom.
Selalu ada waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini