Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di Darat Bersama Angin Barat

Suka duka penghidupan nelayan, di saat-saat laut di kuras angin kencang sekitar bulan oktober-maret mereka hidup menderita. kud dan hnsi belum bermanfaat. (sd)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT hingga enam bulan dalam setahun, nelayan kita harus gigit jari di daratan. Sekitar bulan-bulan Oktober hingga Maret setiap tahun, lautan dikuras angin kencang yang dikenal dengan sebutan angin barat. Pada saat itu lautan sepi dari para penangkap ikan, terutama nelayan tradisional. Jika ada juga nelayan yang mengadu nasib pada musim itu, berarti dengan satu taruhan: nyawa. "Kalau sudah musim barat, nyawa seperti tergantung pada mesin. Kalau mogok, Tuhan sajalah yang tahu bagaimana sengsaranya," kata A. Latif seorang nelayan di Kijang, Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Kepulauan Riau. Lelaki usia 30 tahun ini mengaku sudah 17 kali hanyut diseret angin barat. Satu kali, 3 hari 3 malam ia tercabik-cabik gelombang tanpa bekal secuilpun. "Kalau lapar, terpaksa makan ikan mentah yang diiris-iris dan minum air asin," kisahnya. Akan tetapi sebegitu jauh, setiap kali setelah dikocar-kacir, ia masih sempat mencapai daratan kembali dengan selamat di hadapan keempat anaknya. Kadang dicari oleh teman nelayan sendiri. Sering pula kepergok kapal patroli Bea Cukai yang lantas menggandengnya ke darat. Tetap Kuli Cina Latif orang Melayu tulen. Ia memburu ikan sejak usia 9 tahun. Tak pernah kapok. "Habis kalau tidak ke laut ke mana lagi cari makan?" katanya. Ia bukan orang yang gampang menyerah. Pernah mencoba peruntungan sebagai buruh harian pada Unit Penambangan Bauksit Kijang. Kemudian ada penyusutan kerja dan ia tersisih. Tercampak lagi ke laut di antara 300 nelayan di kawasan ini. Kijang adalah salah satu pusat perikanan di Kepulauan Riau. Latif jadi penanggungjawab sebuah unit jaring hanyut, berikut sebuah motor pongpong (15 PK) milik seorang tauke. Penghasilannya sekitar Rp 100 ribu bersih, untuk satu bulan. Sebenarnya setiap satu tohor (20 hari ke laut), hasil tangkapannya kadangkala mencapai Rp 400 ribu, kotor. Angka tersebut mula-mula dipotong 10% untuk biaya perawatan kapal. Kemudian ongkos operasi, paling sedikit Rp 50 ribu. Sisanya dibagi dua dengan pemilik kapal dan jaring. Bagian Latif masih harus dipotonglagi untuk 2 pembantu yang bergaji Rp 1.500 per hari. Plus biaya memperbaiki jaring Rp 10 ribu untuk 10 hari. "Tapi itupun kalau ada nasib baik. Kalau tidak, tinggal utang melulu," kata Latif. Berhadapan dengan angin barat yang menggelepar sejak pertengahan Desember tahun lalu, Latif ternyata tak berdaya. Sepuluh kali ia mencoba menembus angin itu, tetapi hanya 2 kali berhasil. Gelombang seperti gunung menghadangnya. Sedang ikan sangat sulit ditangkap. Pendapatannya musim angin barat sekarang susut hanya Rp 150 ribu rata-rata. Jumlah itu terjilat ludas untuk ongkos operasi dan gaji pembantunya. "Untuk makan sehari-hari ya ngutang dulu. Utang dengan tauke sudah Rp 100 ribu lebih," keluhnya. Melawan musim barat memang berbahaya. Tetapi para nelayan tak mungkin istirahat. "Asal mesin bagus, jaring tak koyak, ya turun juga," kata Tuhar, seorang nelayan rekan Latif. Ratim, nelayan yang lain menambahkan kadang-kadang sudah 3 jam berlayar terpaksa kembali, karena cuaca benar-benar sulit! Anehnya, tauke tidak peduli apa yang terjadi di lapangan. Asal mesin berbunyi, mereka minta bagian, meskipun tak ada ikan dalam jaring. "Dari bahan bakar, mereka sudah menelan kami. Kami sadar, memang kami diperas, tapi mau bagaimana lagi," keluh Ratim. Ia sendiri sudah tiga kali ganti tauke. Semuanya sama, tak mau ambil pusing soal angin barat. Sebenarnya di Kepulauan Riau ada sebuah Koperasi Unit Desa (KUD) sejak 2 tahun lalu yang seyogyanya bisa menolong. Tapi malang, para nelayan tak pernah memetik manfaatnya. Menurut mereka KUD hanya usaha untuk cari komisi. Untuk menjadi anggotanya harus membayar uang muka Rp 2.000 dan iuran Rp 200 setiap bulan. Ternyata meski pun bukan anggota, setiap nelayan yang pulang dari laut dipotong oleh KUD 5% dari pendapatan ikannya. "Keringat kami disunat, tapi sebiji mata pancing atau segulung benang pun tak pernah dibantu," kata Ratim mengadu. Belakangan para nelayan mendengar kabar 6 gillnet (kapal penangkap ikan sistem jaring hanyut) dari Karya Mina diberikan kepada KUD dalam bentuk kredit. Tapi yang memperolehnya orang-orang yang tak pernah turun ke laut -- orang-orang yang cuma nongkrong di belakang meja KUD. Mereka yang mandi ombak, bergelimang dalam anyir ikan ditolak dengan alasan bukan anggota. Sekalipun sanggup mengangsur kreditnya. "Barangkali, kami ini sampai mati tetap akan jadi kuli Cina," komentar Latif dengan suara perih. Amansyah (54 tahun) seorang nelayan "perahu senja" di Titi Lama, Labuhan Deli, 21 km dari Medan, sudah 20 tahun menjaring udang. Kalau sedang musim angin barat ia tetap turun ke laut. Karena sasarannya udang yang bersarang dekat pantai, ia tidak perlu jauh ke tengah. Namun karena ombak besar seringkali hasilnya nihil. Untuk meneruskan asap dapurnya, terpaksa ia dengan istrinya menggali hasil ladang yang ada di belakang rumahnya di Paluh Halia, Labuhan Deli. Kadangkala Amansyah bersama rekan-rekannya sesama "nelayan senja" benar-benar tak berani mengambil risiko. Lalu ia mengalihkan sasaran pada biduan, sejenis siput untuk makanan bebek. Siput itu bersarang di muara Sungai Deli. Kalau dapat sekeranjang besar, akan dibeli oleh tauke-tauke Cina seharga Rp 150. Kalau rajin, Amansyah bisa mengisi penuh sampannya dalam sehari. "Perahu Senja" adalah sebutan buat sampan-sampan kecil yang berpangkal di bawah jembatan kereta api dekat Belawan. Hanya sekitar 30 buah perahu jumlahnya, rata-rata masih memakai dayung dan sedikit yang memakai mesin. Mereka hanya mencari udang. Biasanya mereka berangkat menjelang senja dan kembali esok siangnya lagi. Berbeda dengan perahu nelayan senja, para nelayan yang beroperasi di pantai barat Sumatera seperti di Meulaboh (Aceh), Pandan (dekat Sibolga) menghadapi hidup lebih keras. Bila musim barat bertiup, ombaic Samudra Indonesia di situ bisa melompat sebesar rumah dan gundukan bukit. Para nelayan tetap di atas perahu, menuju ke tengah dengan tabah. Karena tak ada pilihan lain. Tapi di pantai timur berhadapan dengan Selat Malaka, di Kabupaten Asahan, pada musim barat para nelayan tidak pergi ke laut. Mereka mencari kayu bakar sepanjang pantai yang bisa dijual di Kisaran atau Tanjung salai. Atau melompat ke darat dan menjadi tukang becak selama laut ganas. Buat nelayan pantai Cilacap, sejak November tahun lalu sudah terjadi paceklik yang mungkin baru berakhir Maret mendatang. Ombak Samudra Indonesia terus-terusan binal. Arus di bawah permukaan laut kuat, sementara suhu air di pantai cukup hangat. Ikan pun lebih suka jauh ke tengah mencari tempat yang lebih sejuk. Atau berlindung di balik batu karang yang berserak di sekitar perairan Cilacap, Nusakambangan. Akibatnya, nelayan tradisional yang mempergunakan sampan jukung dan payang sulit mendapat hasil. "Waktu musim panen kami bisa membeli piring, gelas, kain atau sedikit perhiasan. Waktu paceklik semuanya masuk pegadaian," kata Sutinem istri Tayasa, nelayan di pantai Cilacap yang berusia 45 tahun. Dua pekan lalu menggadaikan selusin piring dan selembar batik masing-masing bernilai Rp 2.000 dan Rp 700. Hanya cukup untuk makan 2 hari. "Yah, di musim paceklik tidak ada perabotan atau pakaian yang tersisa. Mudah-mudahan barang-barang itu bisa kami tebus pada musim panen," katanya lebih lanjut. Di musim paceklik peranan istri nelayan jadi berlipat. Seperti diceritakan oleh Sutinem, ia membantu memperbaiki jaring, juga mencoba jadi "bakul" ikan dengan modal Rp 500 untuk mendapat sedikit untung. Suaminya Tayasa hanya bisa bertahan di laut 6 jam setiap hari selama musim angin barat. Sisanya nganggur di darat. "Terus terang, badan jadi kesel, macam-macam pikiran timbul. Barangkali terlalu banyak nganggur di musim paceklik, nelayan Cilacap rata-rata punya anak lebih dari 3 orang," kata Tayasa. Ngemong Cucu Suatu ketika di pantai Logending, sebuah ombak kagetan dengan lebar lebih dari 200 meter melambungkan perahu Tayasa bersama dua rekannya. Biasanya kalau sudah ketanggor gulungan ombak kagetan, nyawa sulit dipertahankan. Kedua rekan Tayasa berusaha berenang ke darat yang jaraknya 300 meter. Tayasa sendiri berpegang erat pada badan jukung yang sudah terbalik. Pegangan terlepas dan Tayasa membentur perahu. Meski kesakitan, ia berusaha berpegang kembali. Akhirnya ia menang, terdampar di pantai dalam keadaan tak sadar diri. Sementara berita sudah tersiar bahwa ia ditewaskan gelombang. "Sebagai nelayan kecil, saya belum merasakan manfaat HNSI atau koperasi. Mereka lebih memperhatikan nelayan yang mempunyai modal," kata Tayasa. Bukan berarti KUD tak memberikan kesempatan kredit motor. Hanya kemampuan mereka yang tak ada. Untuk pindah jadi awak trawl, tak mungkin. Syarat usia, ketahanan tubuh tidak memungkinkan lagi. "Jadi di musim ini saya banyak nganggur atau ngemong cucu," katanya. "Biarlah selama 4 bulan ini kita hidup prihatin dan Tuhan akan memberi rezeki yang berlimpah pada musim panen." Madradi, pemilik perahu payang yang berawak antara 10 sampai 20 orang kelihatannya juga tak berdaya. Untuk menutupi kebutuhan hidup selama musim angin barat, Madradi bersedia menjadi pengapur rumah. "Kalau tak ada kerjaan saya menjadi alang-alang di tempat pelelangan ikan. Saya tak malu untuk minta ikan atau udang dari Cina Bagan. Kalau tak diberi, saya pukul, sebab rezeki mereka kan berlimpah dan itu termasuk bagian nelayan kecil," ujarnya terus terang. Alang-alang adalah istilah untuk peminta-minta ikan di kalangan nelayan Cilacap. Menjaring Air Pantas dicatat, rezeki seret buat nelayan kecil tidak mempengaruhi produksi ikan seluruhnya di pantai selatan Jawa Tengah ini. Selama November lalu tercatat 1.569.004 kg udang dan ikan dihasilkan pantai ini. Dan Desember lalu tercatat 1.083.227 kg. Semua dihasilkan pukat harimau. Karena di sini ada 89 kapal motor pukat harimau yang terus beroperasi dengan kekuatan 100 sampai 150 PK. Mereka mampu menantang badai. "Pada musim angin kencang ini laut sepi dari nelayan tradisional, tapi pukat harimau bebas beroperasi sampai ke pinggir," ungkap Tayasa dengan hati keruh. Sementara itu tersebutlah Ilan nelayan usia 42 tahun di Indramayu (Ja-Bar), tak peduli angin barat. Ia terus meloncatkan perahunya ke tengah laut. "Karena kalau hanya di pinggir sama saja dengan menjaring air," ungkapnya. Tetapi akhir bulan lalu, ketika ia berada di tengah laut bersama anaknya yang berusia 14 tahun, sekitar pukul 10 malam, mendadak perahunya dibalikkan angin. Diterangi oleh sepotong bulan, yang untung saja nongol, ia berjuang mati-matian memegangi anaknya. Tak terduga ia mampu menyelamatkan diri. "Seperti ada kekuatan gaib yang membantu," katanya. Tetapi dasar darah pelaut. Hanya tiga hari setelah peristiwa naas itu, Ilan sudah tampak lagi turun ke laut. Ia tahu setiap kali turun ke laut berarti bertaruh nyawa. "Ya, habis, ketimbang mati tidak makan. Kalau memang dasar mau mati, jangankan di tengah laut, di kasur juga bisa mati," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus