EMPAT hingga enam bulan dalam setahun, nelayan kita harus gigit
jari di daratan. Sekitar bulan-bulan Oktober hingga Maret setiap
tahun, lautan dikuras angin kencang yang dikenal dengan sebutan
angin barat. Pada saat itu lautan sepi dari para penangkap ikan,
terutama nelayan tradisional. Jika ada juga nelayan yang mengadu
nasib pada musim itu, berarti dengan satu taruhan: nyawa.
"Kalau sudah musim barat, nyawa seperti tergantung pada mesin.
Kalau mogok, Tuhan sajalah yang tahu bagaimana sengsaranya,"
kata A. Latif seorang nelayan di Kijang, Kecamatan Bintan Timur,
Kabupaten Kepulauan Riau. Lelaki usia 30 tahun ini mengaku sudah
17 kali hanyut diseret angin barat.
Satu kali, 3 hari 3 malam ia tercabik-cabik gelombang tanpa
bekal secuilpun. "Kalau lapar, terpaksa makan ikan mentah yang
diiris-iris dan minum air asin," kisahnya. Akan tetapi sebegitu
jauh, setiap kali setelah dikocar-kacir, ia masih sempat
mencapai daratan kembali dengan selamat di hadapan keempat
anaknya. Kadang dicari oleh teman nelayan sendiri. Sering pula
kepergok kapal patroli Bea Cukai yang lantas menggandengnya ke
darat.
Tetap Kuli Cina
Latif orang Melayu tulen. Ia memburu ikan sejak usia 9 tahun.
Tak pernah kapok. "Habis kalau tidak ke laut ke mana lagi cari
makan?" katanya. Ia bukan orang yang gampang menyerah. Pernah
mencoba peruntungan sebagai buruh harian pada Unit Penambangan
Bauksit Kijang. Kemudian ada penyusutan kerja dan ia tersisih.
Tercampak lagi ke laut di antara 300 nelayan di kawasan ini.
Kijang adalah salah satu pusat perikanan di Kepulauan Riau.
Latif jadi penanggungjawab sebuah unit jaring hanyut, berikut
sebuah motor pongpong (15 PK) milik seorang tauke.
Penghasilannya sekitar Rp 100 ribu bersih, untuk satu bulan.
Sebenarnya setiap satu tohor (20 hari ke laut), hasil
tangkapannya kadangkala mencapai Rp 400 ribu, kotor. Angka
tersebut mula-mula dipotong 10% untuk biaya perawatan kapal.
Kemudian ongkos operasi, paling sedikit Rp 50 ribu. Sisanya
dibagi dua dengan pemilik kapal dan jaring. Bagian Latif masih
harus dipotonglagi untuk 2 pembantu yang bergaji Rp 1.500 per
hari. Plus biaya memperbaiki jaring Rp 10 ribu untuk 10 hari.
"Tapi itupun kalau ada nasib baik. Kalau tidak, tinggal utang
melulu," kata Latif.
Berhadapan dengan angin barat yang menggelepar sejak pertengahan
Desember tahun lalu, Latif ternyata tak berdaya. Sepuluh kali ia
mencoba menembus angin itu, tetapi hanya 2 kali berhasil.
Gelombang seperti gunung menghadangnya. Sedang ikan sangat sulit
ditangkap. Pendapatannya musim angin barat sekarang susut hanya
Rp 150 ribu rata-rata. Jumlah itu terjilat ludas untuk ongkos
operasi dan gaji pembantunya. "Untuk makan sehari-hari ya
ngutang dulu. Utang dengan tauke sudah Rp 100 ribu lebih,"
keluhnya.
Melawan musim barat memang berbahaya. Tetapi para nelayan tak
mungkin istirahat. "Asal mesin bagus, jaring tak koyak, ya turun
juga," kata Tuhar, seorang nelayan rekan Latif. Ratim, nelayan
yang lain menambahkan kadang-kadang sudah 3 jam berlayar
terpaksa kembali, karena cuaca benar-benar sulit! Anehnya, tauke
tidak peduli apa yang terjadi di lapangan. Asal mesin berbunyi,
mereka minta bagian, meskipun tak ada ikan dalam jaring. "Dari
bahan bakar, mereka sudah menelan kami. Kami sadar, memang kami
diperas, tapi mau bagaimana lagi," keluh Ratim. Ia sendiri sudah
tiga kali ganti tauke. Semuanya sama, tak mau ambil pusing soal
angin barat.
Sebenarnya di Kepulauan Riau ada sebuah Koperasi Unit Desa (KUD)
sejak 2 tahun lalu yang seyogyanya bisa menolong. Tapi malang,
para nelayan tak pernah memetik manfaatnya. Menurut mereka KUD
hanya usaha untuk cari komisi. Untuk menjadi anggotanya harus
membayar uang muka Rp 2.000 dan iuran Rp 200 setiap bulan.
Ternyata meski pun bukan anggota, setiap nelayan yang pulang
dari laut dipotong oleh KUD 5% dari pendapatan ikannya.
"Keringat kami disunat, tapi sebiji mata pancing atau segulung
benang pun tak pernah dibantu," kata Ratim mengadu.
Belakangan para nelayan mendengar kabar 6 gillnet (kapal
penangkap ikan sistem jaring hanyut) dari Karya Mina diberikan
kepada KUD dalam bentuk kredit. Tapi yang memperolehnya
orang-orang yang tak pernah turun ke laut -- orang-orang yang
cuma nongkrong di belakang meja KUD. Mereka yang mandi ombak,
bergelimang dalam anyir ikan ditolak dengan alasan bukan
anggota. Sekalipun sanggup mengangsur kreditnya. "Barangkali,
kami ini sampai mati tetap akan jadi kuli Cina," komentar Latif
dengan suara perih.
Amansyah (54 tahun) seorang nelayan "perahu senja" di Titi Lama,
Labuhan Deli, 21 km dari Medan, sudah 20 tahun menjaring udang.
Kalau sedang musim angin barat ia tetap turun ke laut. Karena
sasarannya udang yang bersarang dekat pantai, ia tidak perlu
jauh ke tengah. Namun karena ombak besar seringkali hasilnya
nihil. Untuk meneruskan asap dapurnya, terpaksa ia dengan
istrinya menggali hasil ladang yang ada di belakang rumahnya di
Paluh Halia, Labuhan Deli.
Kadangkala Amansyah bersama rekan-rekannya sesama "nelayan
senja" benar-benar tak berani mengambil risiko. Lalu ia
mengalihkan sasaran pada biduan, sejenis siput untuk makanan
bebek. Siput itu bersarang di muara Sungai Deli. Kalau dapat
sekeranjang besar, akan dibeli oleh tauke-tauke Cina seharga Rp
150. Kalau rajin, Amansyah bisa mengisi penuh sampannya dalam
sehari.
"Perahu Senja" adalah sebutan buat sampan-sampan kecil yang
berpangkal di bawah jembatan kereta api dekat Belawan. Hanya
sekitar 30 buah perahu jumlahnya, rata-rata masih memakai dayung
dan sedikit yang memakai mesin. Mereka hanya mencari udang.
Biasanya mereka berangkat menjelang senja dan kembali esok
siangnya lagi.
Berbeda dengan perahu nelayan senja, para nelayan yang
beroperasi di pantai barat Sumatera seperti di Meulaboh (Aceh),
Pandan (dekat Sibolga) menghadapi hidup lebih keras. Bila musim
barat bertiup, ombaic Samudra Indonesia di situ bisa melompat
sebesar rumah dan gundukan bukit. Para nelayan tetap di atas
perahu, menuju ke tengah dengan tabah. Karena tak ada pilihan
lain. Tapi di pantai timur berhadapan dengan Selat Malaka, di
Kabupaten Asahan, pada musim barat para nelayan tidak pergi ke
laut. Mereka mencari kayu bakar sepanjang pantai yang bisa
dijual di Kisaran atau Tanjung salai. Atau melompat ke darat dan
menjadi tukang becak selama laut ganas.
Buat nelayan pantai Cilacap, sejak November tahun lalu sudah
terjadi paceklik yang mungkin baru berakhir Maret mendatang.
Ombak Samudra Indonesia terus-terusan binal. Arus di bawah
permukaan laut kuat, sementara suhu air di pantai cukup hangat.
Ikan pun lebih suka jauh ke tengah mencari tempat yang lebih
sejuk. Atau berlindung di balik batu karang yang berserak di
sekitar perairan Cilacap, Nusakambangan. Akibatnya, nelayan
tradisional yang mempergunakan sampan jukung dan payang sulit
mendapat hasil.
"Waktu musim panen kami bisa membeli piring, gelas, kain atau
sedikit perhiasan. Waktu paceklik semuanya masuk pegadaian,"
kata Sutinem istri Tayasa, nelayan di pantai Cilacap yang
berusia 45 tahun. Dua pekan lalu menggadaikan selusin piring dan
selembar batik masing-masing bernilai Rp 2.000 dan Rp 700.
Hanya cukup untuk makan 2 hari. "Yah, di musim paceklik tidak
ada perabotan atau pakaian yang tersisa. Mudah-mudahan
barang-barang itu bisa kami tebus pada musim panen," katanya
lebih lanjut.
Di musim paceklik peranan istri nelayan jadi berlipat. Seperti
diceritakan oleh Sutinem, ia membantu memperbaiki jaring, juga
mencoba jadi "bakul" ikan dengan modal Rp 500 untuk mendapat
sedikit untung. Suaminya Tayasa hanya bisa bertahan di laut 6
jam setiap hari selama musim angin barat. Sisanya nganggur di
darat. "Terus terang, badan jadi kesel, macam-macam pikiran
timbul. Barangkali terlalu banyak nganggur di musim paceklik,
nelayan Cilacap rata-rata punya anak lebih dari 3 orang," kata
Tayasa.
Ngemong Cucu
Suatu ketika di pantai Logending, sebuah ombak kagetan dengan
lebar lebih dari 200 meter melambungkan perahu Tayasa bersama
dua rekannya. Biasanya kalau sudah ketanggor gulungan ombak
kagetan, nyawa sulit dipertahankan. Kedua rekan Tayasa berusaha
berenang ke darat yang jaraknya 300 meter. Tayasa sendiri
berpegang erat pada badan jukung yang sudah terbalik. Pegangan
terlepas dan Tayasa membentur perahu. Meski kesakitan, ia
berusaha berpegang kembali. Akhirnya ia menang, terdampar di
pantai dalam keadaan tak sadar diri. Sementara berita sudah
tersiar bahwa ia ditewaskan gelombang.
"Sebagai nelayan kecil, saya belum merasakan manfaat HNSI atau
koperasi. Mereka lebih memperhatikan nelayan yang mempunyai
modal," kata Tayasa. Bukan berarti KUD tak memberikan kesempatan
kredit motor. Hanya kemampuan mereka yang tak ada. Untuk pindah
jadi awak trawl, tak mungkin. Syarat usia, ketahanan tubuh tidak
memungkinkan lagi. "Jadi di musim ini saya banyak nganggur atau
ngemong cucu," katanya. "Biarlah selama 4 bulan ini kita hidup
prihatin dan Tuhan akan memberi rezeki yang berlimpah pada musim
panen."
Madradi, pemilik perahu payang yang berawak antara 10 sampai 20
orang kelihatannya juga tak berdaya. Untuk menutupi kebutuhan
hidup selama musim angin barat, Madradi bersedia menjadi
pengapur rumah. "Kalau tak ada kerjaan saya menjadi alang-alang
di tempat pelelangan ikan. Saya tak malu untuk minta ikan atau
udang dari Cina Bagan. Kalau tak diberi, saya pukul, sebab
rezeki mereka kan berlimpah dan itu termasuk bagian nelayan
kecil," ujarnya terus terang. Alang-alang adalah istilah untuk
peminta-minta ikan di kalangan nelayan Cilacap.
Menjaring Air
Pantas dicatat, rezeki seret buat nelayan kecil tidak
mempengaruhi produksi ikan seluruhnya di pantai selatan Jawa
Tengah ini. Selama November lalu tercatat 1.569.004 kg udang dan
ikan dihasilkan pantai ini. Dan Desember lalu tercatat 1.083.227
kg. Semua dihasilkan pukat harimau. Karena di sini ada 89 kapal
motor pukat harimau yang terus beroperasi dengan kekuatan 100
sampai 150 PK. Mereka mampu menantang badai. "Pada musim angin
kencang ini laut sepi dari nelayan tradisional, tapi pukat
harimau bebas beroperasi sampai ke pinggir," ungkap Tayasa
dengan hati keruh.
Sementara itu tersebutlah Ilan nelayan usia 42 tahun di
Indramayu (Ja-Bar), tak peduli angin barat. Ia terus meloncatkan
perahunya ke tengah laut. "Karena kalau hanya di pinggir sama
saja dengan menjaring air," ungkapnya. Tetapi akhir bulan lalu,
ketika ia berada di tengah laut bersama anaknya yang berusia 14
tahun, sekitar pukul 10 malam, mendadak perahunya dibalikkan
angin. Diterangi oleh sepotong bulan, yang untung saja nongol,
ia berjuang mati-matian memegangi anaknya. Tak terduga ia mampu
menyelamatkan diri. "Seperti ada kekuatan gaib yang membantu,"
katanya.
Tetapi dasar darah pelaut. Hanya tiga hari setelah peristiwa
naas itu, Ilan sudah tampak lagi turun ke laut. Ia tahu setiap
kali turun ke laut berarti bertaruh nyawa. "Ya, habis, ketimbang
mati tidak makan. Kalau memang dasar mau mati, jangankan di
tengah laut, di kasur juga bisa mati," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini