Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyamanan selama hampir tiga bulan bekerja dari rumah membuat Noviana Geby, 35 tahun, risau. Meski kerepotan bekerja sambil mengurus rumah tangga, Novi, begitu ia disapa, justru menikmati waktu kebersamaannya dengan keluarga selama hampir 24 jam. Nah, kini Novi sudah harus kembali bekerja di kantor. Pekerjaan rumah dan aktivitas bersama ketiga anaknya tak bisa lagi berada dalam pantauan penuh.
“Biasanya, ketika bekerja dari rumah, saya bisa sambil momong anak. Mulai hari ini, saya harus meninggalkan anak-anak lagi untuk bekerja. Meski sedih, saya sadar ini sudah risiko menjadi seorang ibu pekerja juga,” ujar Novi kepada Tempo, kemarin.
Beruntung, Novi dibantu asisten rumah tangga, yang saat Lebaran tidak bisa mudik karena ada kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Namun ada hal lain yang menghantui pikirannya sekarang, yakni ia khawatir akan membawa penyakit ke rumah. “Wabah Covid-19 ini masih tersebar di Jakarta. Sedangkan warga mulai lalai sama imbauan pemerintah. Jadi, potensi penularan juga semakin besar. Salah satunya masih banyak warga yang tidak pakai masker,” kata Novi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novi tak sendiri. Erlina Mulat Susanti, 27 tahun, juga harus merelakan kembali anaknya yang berusia 7 bulan dititipkan di penitipan anak atau daycare. Selama tiga bulan terakhir bekerja dari rumah, Erlina terbiasa belajar membagi waktu bersama sang bayi. Tak jarang ia mesti mencuri waktu agar bisa bekerja dengan tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erlina sempat senang ketika sudah bisa bekerja di kantor karena tidak harus repot membagi waktu bersama anak. Namun ternyata itu tak mudah. “Ketika kembali menitipkan anak ke daycare, tiba-tiba jadi sedih. Apalagi ketika melihat mata anak sendiri. Jadi, rasanya campur aduk, harus membiasakan diri lagi,” tutur Erlina.
Ada banyak ibu yang tadinya bekerja dari rumah, kini kembali harus bekerja di kantor. Ada berbagai rasa campur aduk. Anaknya pun ikut sedih. “Selama tiga bulan ini, anakku full sama ibunya. Bahkan semenit pun tak terpisahkan. Baru kali ini berat meninggalkan anak (usia 4 tahun) untuk kembali bekerja ke kantor lagi,” kata Amanda Kurnia Lestari, 30 tahun, yang baru kembali bekerja di kantor pada pekan mendatang.
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, mengatakan kebingungan orang tua menghadapi situasi yang berbeda merupakan hal lazim. Segala bentuk perubahan, ujar Nina, tidak akan mudah di awal, termasuk ketika seorang ibu kembali bekerja di kantor setelah lama bekerja dari rumah. Belum lagi mereka yang telanjur memutuskan tidak menggunakan asisten rumah tangga selama bekerja dari rumah.
“Sehingga ini menimbulkan kebingungan lagi mengatur strategi agar tetap bekerja, namun anak tetap aman di rumah,” ujar Nina.
Salah satu hal yang mesti dipersiapkan oleh seorang ibu adalah kembali membentuk sistem pendukung atau support system untuk berkegiatan di luar rumah. Misalnya, kata Nina, ibu bisa kembali menggunakan asisten rumah tangga atau menitipkan anak kepada orang yang dipercaya. Untuk anak yang sudah masuk usia sekolah, Nina mengatakan ibu bisa berkonsultasi dengan guru di sekolah guna menyusun strategi bersama.
“Kabar baiknya, sebentar lagi sudah memasuki periode libur panjang anak sekolah. Kesempatan ini bisa digunakan ibu untuk persiapan anak belajar di rumah, misalnya fasilitas, mental, dan lainnya,” kata Nina.
Setelah itu, ibu harus sudah mulai berkomunikasi dengan anak-anaknya bahwa dalam waktu dekat orang tuanya akan kembali bekerja di kantor. Perubahan yang akan terjadi harus disampaikan beberapa hari sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan mental, baik anak maupun ibu, sehingga ada transisi. Untuk setiap usia tertentu, akan ada kesulitan berbeda.
Menurut Nina, pada fase awal, anak akan kesulitan menerima realitas bahwa ibunya harus kembali bekerja. Mungkin anak memberikan reaksi seperti rewel, marah, atau mengamuk, khususnya bagi anak yang belum masuk usia sekolah. Untuk anak di bawah 5 tahun, Nina mengatakan bisa memberi tahunya dengan menunjukkan kalender, kapan masuk dan kapan libur, sehingga anak bisa memprediksi dan mempersiapkan diri saat orang tuanya bekerja di luar.
“Yang paling penting, orang tua harus membiasakan diri untuk berperilaku hidup bersih dan sehat agar ibu tidak membawa penyakit ke rumah setelah bekerja,” ujar Nina.
Adapun psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, mengatakan, ketika ada perubahan tatanan normal baru (new normal), yang pertama kali harus dilakukan oleh semua anggota keluarga adalah menerima keadaan. Ketika sudah menerima, mereka harus beradaptasi dengan perubahan. Kemudian, hal itu harus didukung oleh pelaksanaannya atau implementasi sesuai dengan yang telah disepakati.
Menurut Vera, hal tersebut bisa berjalan dengan baik apabila suatu keluarga memegang lima prinsip, yaitu rasa syukur agar bisa membawa suasana ke dalam atmosfer positif. Kemudian, berfokus pada hal yang sedang terjadi ketimbang yang belum terjadi. Lalu, orang tua bisa mengendalikan situasi, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik.
“Terakhir, orang tua bisa membimbing untuk menyusun ekspektasi sesuai dengan kemampuan. Setelah berjalan dengan baik, jangan lupa istirahat sejenak.”
Larissa Huda
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo