Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dok, Mengapa Tak Mengaku ?

Diskusi tentang partisipasi sosial dokter di teater arena tim. Diadakan majalah media aesculapius dan ikatan alumni fkui, jakarta. diikuti 100 dokter dan non-dokter termasuk letjen ali murtopo.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH 2 tahun lebih Hans-Dieter Evers dan Daniel Regan mengumumkan hasil penyelidikan mereka tentang kurangnya partisipasi dokter Indonesia (dan Malaysia) dalam proses modernisasi masyarakat. Dan sebuah pertemuan yang nampaknya agak serius baru sekarang diselenggarakan -- minggu lalu -- dalam menanggapi hasil penyelidikan tersebut. Tempat yang memberi kesan lebih dekat kepada masyarakat sengaja dipilih: Taman Ismail Marzuki. Harinya Minggu, 20 Juni malam, saat para dokter yang merasa terlibat dalam persoalan tersebut sedang libur menerima pasien. Bukan Ikatan Dokter Indonesia yang mengambil prakarsa diskusi tadi --- melainkan majalah Media Aesculapius yang diasuh anak-anak muda & Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Sekitar 100 dokter dan non-dokter hadir dalam diskusi malam itu, termasuk Letjen Ali Murtopo yang setelah menjalani operasi empedu beberapa waktu yang lalu, kini nampak punya hubungan yang luas dengan kalangan dokter. Ahli ilmu kemasyarakatan Hans-Dieter Evers (Kepala Jurusan Sosiologi pada Universitas Singapura), dan Daniel Regan, lewat penelitian yang mereka lakukan di pulau Sumatera untuk Indonesia dan daerah pantai barat semenanjung Malaya untuk daerah Malaysia, berkesimpulan bahwa: "kaum ploresionil (dokter) mempunyai kesempatan untuk melakukan -- dalam cara informil, di luar saluran komunikasi resmi pemerintah dan kedinasan yang ada - suatu 'fungsi perantara' yang penting dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional dan lokal serta usaha-usaha modernisasi". Kenyataannya, menurut mereka, para dokter di daerah memiliki kedudukan amat tinggi di mata masyarakat. Hubungan para dokter dengan masyarakat luas yang terbina atas dasar permintaan pelayanan kesehatan, sudah barang tentu bisa dikembangkan ke arah pengenalan yang lebih baik mengenai persoalan-persoalan kemasyarakatan. Itu satu fihak. Di lain fihak para dokter yang bertugas di daerah punya hubungan non-profesionil dengan para pejabat pemerintah, lewat pertemuan-pertemuan tidak resmi seperti di lapangan golf dan tenis. Sepantasnyalah para dokter memanfaatkan kedudukan mereka ini dalam rangka modernisasi. Artinya menjadi jembatan antara masyarakat dan pamong, yang dalam kenyataannya hubungan itu masih dalam keadaan belum maju-majunya juga. Tetapi nyatanya peranan yang sepantasnya bisa dimain kan dokter-dokter tersebut tidak dilakukan. Atau kalaupun diiakukan sedikit sekali. "Hanya dua dari 16 dokter umum, dan satu dokter spesialis, yang berfikir bahwa mereka sedang melakukan atau mungkin dapat memberikan -- sumbangan positif bagi pemhangunan kota dalam segi-segi non-medis. Sembilan dokter umum di suatu kota Malaysia, dan semua dokter kecuali dua dokter spesialis, mendifinisikan sumbangsih mereka semata-mata menurut ukuran jasa medis yang mereka berikan. Sebagai tambahan, lima di antara dokter yang non-spesialis itu mengatakan bahwa mereka memang samasekali tidak memberikan sumbangan apa-apa". Demikian kesimpulan mereka setelah melakukan wawancara dengan dokter yang mereka pilih. Di bawah spanduk 'Partisipasi sosial dokter', diskusi di Teater Arena TIM malam itu berjalan di luar inti persoalan yang diketengahkan Evers dan Regan. Lagi pula pembicara utama Partomo M. Alibazah, Prof. Kuntjaraningrat, dr Herman Susilo dan ir Rochim Wiryomijoyo dari Universitas 11 Maret, Solo, tidak begitu memperinci apa yang dimaksud 'partisipasi sosial' oleh kedua ahli ilmu kemasyarakatan yang jadi menarik itu. Maka tidaklah heran kalau seorang dokter maju ke podium dan berkata: "Partisipasi sosial dokter adalah pada praktek sorenya", ujarnya. Seperti seorang yang berusaha mengelakkan tamparan, dengan keras dia menampik: "Mengapa partisipasi dokter saja yang diminta sedang sarjana yang lain tidak". Padahal dalam hasil survei Evers dan Regan yang disiarkan di majalah Prisma bulan Pebruari 1974, kedua orang ahli tadi mengatakan bahwa dalam kenyataannya memang dokterlah "sarjana" yang paling banyak berhubungan dengan masyarakat. Karena itu mereka bisa memainkan peranan. Pimpinan Parpol Dalam diskusi malam itu tak ada pembicara yang mau mengakui bahwa peranan dokter memang rendah sekali dalam pembaruan masyarakat. Malahan atas pertanyaan seorang dokter, Kuntjaraningrat menganggap sampling yang diambil oleh kedua ahli itu "tidak mewakili". Sedang Herman Susilo dengan santai mengatakan bahwa dia "secara pribadi tidak merasa terkena oleh penilaian Prof. Dieters tersebut". Karena katanya "sebagai dokter yang sudah 16 tahun menjalankan praktek umum dan sudah 12 tahun selaku Kepala Dinas Kesehatan mengatur kira-kira 200 dokter DKK secara langsung, yang di samping berfungsi sebagai pejabat kesehatan yang tertinggi di DKI, juga masih menjabat sebagai pimpinan organisasi-organisasi swasta seperti PMI, dan pimpinan Parpol....". Maka terdapat kesan, bahwa yang dimaksud dengan partisipasi sosial atau 'peranan perantara', malam itu tidak sepenuhnya memiliki pengertian yang seragam di antara para pembicara. Mungkin karena salah tanggap, atau mungkin juga tulisan Hans Dieter Evers & Daniel Regan tak sempat disunak. Tetapi memang, sebagaimana dikatakan dr Ben Mboi yang tak sempat mengemukakan pendapatnya dalam diskusi yang singkat itu, "persoalan kita sebenarnya jangan dulu sampai kepada soal partisipasi sebagai perantara antara masyarakat dan penguasa. Partisipasi sosial dalam pengertian pelayanan medis pun, ada dokter kita yang melakukan praktek-praktek anti-sosial. Misalnya dengan memperlakukan pasien sebagai hanya setumpuk angka dan tidak pernah melihat pasien lengkap dengan keadaan sosialnya, menuliskan resep tanpa mau tahu bagaimana kedudukan ekonomis si pasien".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus