SUDAH 2 tahun lebih Hans-Dieter Evers dan Daniel Regan
mengumumkan hasil penyelidikan mereka tentang kurangnya
partisipasi dokter Indonesia (dan Malaysia) dalam proses
modernisasi masyarakat. Dan sebuah pertemuan yang nampaknya agak
serius baru sekarang diselenggarakan -- minggu lalu -- dalam
menanggapi hasil penyelidikan tersebut. Tempat yang memberi
kesan lebih dekat kepada masyarakat sengaja dipilih: Taman
Ismail Marzuki. Harinya Minggu, 20 Juni malam, saat para dokter
yang merasa terlibat dalam persoalan tersebut sedang libur
menerima pasien. Bukan Ikatan Dokter Indonesia yang mengambil
prakarsa diskusi tadi --- melainkan majalah Media Aesculapius
yang diasuh anak-anak muda & Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran
UI, Jakarta. Sekitar 100 dokter dan non-dokter hadir dalam
diskusi malam itu, termasuk Letjen Ali Murtopo yang setelah
menjalani operasi empedu beberapa waktu yang lalu, kini nampak
punya hubungan yang luas dengan kalangan dokter.
Ahli ilmu kemasyarakatan Hans-Dieter Evers (Kepala Jurusan
Sosiologi pada Universitas Singapura), dan Daniel Regan, lewat
penelitian yang mereka lakukan di pulau Sumatera untuk Indonesia
dan daerah pantai barat semenanjung Malaya untuk daerah
Malaysia, berkesimpulan bahwa: "kaum ploresionil (dokter)
mempunyai kesempatan untuk melakukan -- dalam cara informil, di
luar saluran komunikasi resmi pemerintah dan kedinasan yang ada
- suatu 'fungsi perantara' yang penting dalam pengambilan
keputusan di tingkat nasional dan lokal serta usaha-usaha
modernisasi". Kenyataannya, menurut mereka, para dokter di
daerah memiliki kedudukan amat tinggi di mata masyarakat.
Hubungan para dokter dengan masyarakat luas yang terbina atas
dasar permintaan pelayanan kesehatan, sudah barang tentu bisa
dikembangkan ke arah pengenalan yang lebih baik mengenai
persoalan-persoalan kemasyarakatan. Itu satu fihak. Di lain
fihak para dokter yang bertugas di daerah punya hubungan
non-profesionil dengan para pejabat pemerintah, lewat
pertemuan-pertemuan tidak resmi seperti di lapangan golf dan
tenis. Sepantasnyalah para dokter memanfaatkan kedudukan mereka
ini dalam rangka modernisasi. Artinya menjadi jembatan antara
masyarakat dan pamong, yang dalam kenyataannya hubungan itu
masih dalam keadaan belum maju-majunya juga. Tetapi nyatanya
peranan yang sepantasnya bisa dimain kan dokter-dokter tersebut
tidak dilakukan. Atau kalaupun diiakukan sedikit sekali.
"Hanya dua dari 16 dokter umum, dan satu dokter spesialis, yang
berfikir bahwa mereka sedang melakukan atau mungkin dapat
memberikan -- sumbangan positif bagi pemhangunan kota dalam
segi-segi non-medis. Sembilan dokter umum di suatu kota
Malaysia, dan semua dokter kecuali dua dokter spesialis,
mendifinisikan sumbangsih mereka semata-mata menurut ukuran jasa
medis yang mereka berikan. Sebagai tambahan, lima di antara
dokter yang non-spesialis itu mengatakan bahwa mereka memang
samasekali tidak memberikan sumbangan apa-apa". Demikian
kesimpulan mereka setelah melakukan wawancara dengan dokter yang
mereka pilih.
Di bawah spanduk 'Partisipasi sosial dokter', diskusi di Teater
Arena TIM malam itu berjalan di luar inti persoalan yang
diketengahkan Evers dan Regan. Lagi pula pembicara utama Partomo
M. Alibazah, Prof. Kuntjaraningrat, dr Herman Susilo dan ir
Rochim Wiryomijoyo dari Universitas 11 Maret, Solo, tidak begitu
memperinci apa yang dimaksud 'partisipasi sosial' oleh kedua
ahli ilmu kemasyarakatan yang jadi menarik itu. Maka tidaklah
heran kalau seorang dokter maju ke podium dan berkata:
"Partisipasi sosial dokter adalah pada praktek sorenya",
ujarnya. Seperti seorang yang berusaha mengelakkan tamparan,
dengan keras dia menampik: "Mengapa partisipasi dokter saja yang
diminta sedang sarjana yang lain tidak". Padahal dalam hasil
survei Evers dan Regan yang disiarkan di majalah Prisma bulan
Pebruari 1974, kedua orang ahli tadi mengatakan bahwa dalam
kenyataannya memang dokterlah "sarjana" yang paling banyak
berhubungan dengan masyarakat. Karena itu mereka bisa memainkan
peranan.
Pimpinan Parpol
Dalam diskusi malam itu tak ada pembicara yang mau mengakui
bahwa peranan dokter memang rendah sekali dalam pembaruan
masyarakat. Malahan atas pertanyaan seorang dokter,
Kuntjaraningrat menganggap sampling yang diambil oleh kedua
ahli itu "tidak mewakili". Sedang Herman Susilo dengan santai
mengatakan bahwa dia "secara pribadi tidak merasa terkena oleh
penilaian Prof. Dieters tersebut". Karena katanya "sebagai
dokter yang sudah 16 tahun menjalankan praktek umum dan sudah 12
tahun selaku Kepala Dinas Kesehatan mengatur kira-kira 200
dokter DKK secara langsung, yang di samping berfungsi sebagai
pejabat kesehatan yang tertinggi di DKI, juga masih menjabat
sebagai pimpinan organisasi-organisasi swasta seperti PMI, dan
pimpinan Parpol....".
Maka terdapat kesan, bahwa yang dimaksud dengan partisipasi
sosial atau 'peranan perantara', malam itu tidak sepenuhnya
memiliki pengertian yang seragam di antara para pembicara.
Mungkin karena salah tanggap, atau mungkin juga tulisan Hans
Dieter Evers & Daniel Regan tak sempat disunak. Tetapi memang,
sebagaimana dikatakan dr Ben Mboi yang tak sempat mengemukakan
pendapatnya dalam diskusi yang singkat itu, "persoalan kita
sebenarnya jangan dulu sampai kepada soal partisipasi sebagai
perantara antara masyarakat dan penguasa. Partisipasi sosial
dalam pengertian pelayanan medis pun, ada dokter kita yang
melakukan praktek-praktek anti-sosial. Misalnya dengan
memperlakukan pasien sebagai hanya setumpuk angka dan tidak
pernah melihat pasien lengkap dengan keadaan sosialnya,
menuliskan resep tanpa mau tahu bagaimana kedudukan ekonomis si
pasien".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini