Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Gangguan Jiwa Massal ala Garut

Jumlah penderita skizofrenia di Garut, Jawa Barat, tertinggi se-Indonesia. Namun kondisi mereka membaik setelah dilakukan pengobatan layak selama Mei-Juni ini.

8 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk bertelanjang dada, Jaja Kuswandi ramah mela­deni pertanyaan tim dokter dan psikiater yang memeriksanya. Pemuda 31 tahun ini tak juga merasa gerah meski ruang pemeriksaan di Puskesmas Kersamanah, Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu pe­ngap. Jawabannya ringkas, dan masuk akal. ”Saya baikbaik saja, Dokter. Tapi saya sering sakit kepala,” ujarnya ketika ditanyai soal kesehatannya.

Begitulah penampilan Jaja bila tidak sedang kumat. Padahal, kalau sedang kambuh, warga Kampung Calingcing, Desa Kersamanah, itu berlari atau melompat ke sanakemari, bergaya meninju langit, split, bahkan salto. Dia suka menirukan adegan film laga. ”Saya ini Power Ranger, biasa bertarung lawan Van Damme,” katanya.

Jika Jaja ”beraksi”, anakanak kecil di kampungnya datang berkerumun dan bertepuk tangan. ”Pokoknya cuma cari perhatian orang. Soalnya, kalau sendirian, tidak seperti itu, dia diam saja,” kata Anas, 38 tahun, warga sekampung Jaja.

Sudah sepuluh tahun Jaja berperilaku seperti itu. Dulunya, dia dikenal sebagai anak muda cerdas dan alim. Selepas lulus sekolah teknik menengah, ia bercitacita mendirikan bengkel. Karena tak bermodal, ia bekerja serabutan meski upahnya tak banyak.

Suatu ketika, Jaja diajak orang tuanya, M. Syamsudin dan Rohmah, ke Nusa Tenggara Timur. Entah kenapa, tibatiba Jaja kembali ke Garut dengan kakaknya, tanpa kedua orang tua mereka. Sejak itu, Jaja terlihat murung dan suka mengurung diri. Lamakelamaan, kata Anas, perilakunya menjadi anehaneh. Di tempat umum, ia suka mencari perhatian. Jika sendiri, ia suka diam dan mengurung diri.

Tim dokter dari Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, yang memeriksanya, mendiagnosis Jaja terkena skizofrenia atau gangguan jiwa kronis tipe hebefrenik—seperti anak kecil, suka merengekrengek. Gejalanya antara lain berperilaku tidak logis, suka tertawatawa atau menangis, mudah tersinggung dan marah, juga berhalusinasi. ”Tandatandanya jelas, dan bisa diterapi untuk sembuh,” ujar Kepala Bagian Psikiatri Rumah Sakit Hasan Sadikin dokter Teddy Hidayat.

Jaja sebenarnya lebih beruntung ketimbang kawan sekampungnya, Maman atau tiga kakakadik Dede, 40 tahun, Deden Juhana (33), dan Ujang Mulyana (25). Tiga anak Oman, warga Kampung Calingcing, itu menderita skizofrenia. Penyebabnya dari masalah ekonomi hingga cinta.

Dari ketiganya, kondisi Deden yang terberat. Karena suka mengamuk dan menyakiti diri sendiri atau orang sekitar, Deden harus dikerangkeng keluarganya di ruangan pengap. ”Makan, tidur, dan buang air besar pun di sana. Ia juga tak mau memakai baju,” kata Iyus Jamaludin, petugas Puskesmas Sukamerang, Kecamatan Kersamanah.

Maman, 40 tahun, warga Kampung Pesanggrahan, Desa Kersamanah, juga parah. Hampir separuh usianya dia habiskan di kerangkeng. Boleh jadi, karena itu, Maman sekarang nyaris lumpuh. ”Enggak tahu kenapa tibatiba sakit seperti ini,” kata ibunya, Isah, 60 tahun, dalam bahasa Sunda.

Isah menduga Maman sakit karena kecewa. Dua puluh tahun lalu, anak lelakinya itu pernah ikut usaha dagang dengan pamannya di Garut. Tapi usaha­nya kurang berhasil. Maman pun berubah. Ia menjadi pendiam, dan pemarah. Meski beberapa kali diobati, termasuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa Cisarua, Cimahi, dia kambuh lagi.

Dulu, Isah sering membawa obat gratis dari puskesmas. Jika minum obat, Maman membaik. Namun ongkos ke puskesmas yang kini mencapai Rp 20 ribu sekali jalan membuat Isah tak sanggup lagi. ”Setiap kali ke puskesmas, kami selalu berutang,” kata Isah.

Jaja, Maman, dan Deden adalah tiga dari 80an orang warga di lima desa di Kecamatan Kersamanah yang sudah lama menderita skizofrenia. ”Gila massal” itu membuat tim dokter dari Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Dinas Kesehatan Garut turun ke seluruh pelosok desa mulai awal Mei lalu. Mereka mendata, melakukan pendekatan, memeriksa, dan mendiagnosis, sekaligus memberikan pengobatan.

Tim itu banyak menemukan warga penderita skizofrenia kronis alias sudah menahun. Mereka tak mampu berobat karena miskin. ”Tak sedikit yang diisolasi atau dikerangkeng karena dianggap membahayakan warga,” kata Camat Kersamanah Akhmad Sopari.

Menurut dokter Teddy Hidayat, skizofrenia adalah salah satu bentuk gangguan jiwa berat. Penyebabnya biasanya faktor keturunan, kejiwaan, dan sosial. Ketiganya bisa muncul bersamaan atau sebagian. Penderita dengan skala ringan masih bersikap realistis. Tandatandanya antara lain sering menyendiri, mudah curiga, marahmarah, dan ketakutan berlebihan. Adapun yang berat biasanya menjadi tidak rea­listis, seperti mengalami halusinasi dan waham, bahkan sering mengamuk.

Kasus gila massal yang terjadi di Kecamatan Kersamanah, menurut ­Teddy, tidak luar biasa. ”Itu semua karena tidak ditangani dengan peng­obatan baik,” kata Teddy, ketua tim dokter Hasan Sadikin untuk Kersamanah. Buktinya, saat tim dokter dan psikiater melakukan pengobatan intensif sejak Mei hingga Juni ini, banyak penderita yang kondisinya membaik.

Yang membuat warga tak mampu mendapat akses ke pengobatan adalah kemiskinan. Meski Kersamanah terletak di kawasan lereng gunung yang subur, berada di jalur lintasan utama BandungTasikmalaya, sekaligus lalu lintas selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah menuju Jakarta, lima desa di kecamatan itu tetap miskin. Banyak warga menganggur. Kemiskinan juga meng­akibatkan tingkat stres makin tinggi.

Penyebab lain timbulnya sakit jiwa, menurut Teddy, adalah perkawinan sedarah—meski tidak terlalu besar dan berpengaruh. Dinas Kesehatan Garut mencatat setidaknya lima orang memiliki riwayat perkawinan dalam satu keluarga dan 12 orang punya riwayat gangguan jiwa dalam keluarga.

Jumlah penderita skizofrenia di Kersamanah memang tergolong tinggi, di atas standar nasional. Menurut survei Departemen Kesehatan 2007, jumlah penderita skizofrenia pada usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat adalah yang tertinggi di Indonesia, sehingga pena­nganannya sudah tidak bisa bersifat ­individu.

Tim dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin mengusulkan pembentukan desa siaga sehat jiwa, dengan konsep pela­yanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Sehingga penderita gangguan jiwa dalam satu kawasan bisa dirawat mandiri oleh keluarga. Hanya yang benarbenar perlulah yang dirawat berjenjang di puskesmas atau rumah sakit jiwa dalam jangka pendek. Tapi pasokan obat dijamin pemerintah.

Sejauh ini, pola jemput bola pera­watan penderita jiwa seperti itu sukses dipakai di tujuh kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam pascatsunami. Dokter dan perawat puskesmas dilatih menangani penderita gangguan jiwa. Penduduk desa direkrut menjadi kader dan mengidentifikasi penderita. Yang sudah sembuh diberi modal usaha agar produktif. Dengan melibatkan komunitas, keluarga yang memiliki saudara yang terkena skizofrenia tidak perlu malu, tak perlu memasungnya, karena tetangga siap membantu.

Widiarsi Agustina, Sigit Zulmunir (Garut), Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus