Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nun di Alexandria, Azzam membentangkan sebuah bayangan, sebuah imaji jika Eliana, gadis jelita di hadapannya itu, mengenakan jilbab. Azzam (Kholidi Asadil Alam), seorang santri yang tengah menempuh pendidikan di Universitas AlAzhar, mempunyai sebuah konsep tentang wanita mulia. Maka berkelebatlah bayangan itu: Eliana (Alice Sofie Norin) dengan jilbab. Hanya dalam anganangan. Hanya bayangan Azzam. Tapi Eliana jadi lebih menarik di dalam bayangan itu. Detik berikutnya, Azzam bangun. Ia mengejapngejapkan matanya. Kembali ke realita. Eliana, anak duta besar yang bisa berbagai bahasa asing itu, merepet soal menu katering.
Dalam bahasa sang novelis, Habiburrahman El Shirazy menulis bagian ini dengan bahasa katakata, mengandaikan sang Eliana mengenakan jilbab. Sutradara Chaerul Umam kemudian menerjemahkan dengan visual Azzam yang lugu, yang sangat polos; begitu polosnya hingga dia menolak tawaran french kiss (itu lo, ciuman yang berkepanjangan). Si Eliana cantik, anak dubes itu, sakit hati dan mempertanyakan kenapa dia menolak. Dan Azzam memberikan kuliah panjanglebar kenapa sebuah french kiss untuk dia akan menjadi musibah.
Inilah adeganadegan pembuka film Ketika Cinta Bertasbih I, sebuah film yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy, yang menandakan kembalinya sutradara Chaerul Umam ke layar lebar (setelah lama sibuk dengan sinetron). Ketika berita tentang pembuatan film ini diumumkan oleh SinemArt Pictures, yang terbayang oleh para penikmat film: sebuah reuni dengan karya Chaerul Umam yang pernah menangani film seperti Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Keluarga Markum, dan Bintang Kejora; karena itulah film Chaerul Umam yang melekat di benak penonton. Tapi bagi penikmat novel Habiburrahman El Shirazy, mereka tampaknya mengharapkan sebuah film yang disebut sebagai ”peneduh hati” atau ”siraman rohani”.
Itulah sebabnya, jika Anda menyaksikan film ini dengan harapan Chaerul Umam akan menunjukkan sebuah karya yang mbeling, yang menunjukkan sisi Mamang—demikian panggilan akrabnya—yang bandel dan jenaka, Anda salah alamat. Inilah karya kolaborasi Habiburrahman (yang oleh produser Leo Sutanto disebut sebagai konseptor film ini) dan sutradara Chaerul Umam. Artinya: dalam film ini, Mamang akan memperlihatkan sisi religi yang menurut dia sebetulnya sudah hidup bersama sisi satunya lagi: Mamang dari Bengkel Teater dan Mamang yang pernah berkolaborasi dengan penulis skenario terkemuka Asrul Sani.
Itu pula, kita akan menemukan film yang senyap dari gurauan. Mungkin sesekali, atau dua kali. Selebihnya, Mamang berkonsentrasi mengikuti kemauan Habiburrahman yang ia sebut ”supervisor”. Itu pula yang menyebabkan penonton harus memasukkan diri ke paradigma Habiburrahman, pada sebuah kehidupan santri yang ideal di mata novelisnya. Artinya, kehidupan santri di mata Habiburrahman sangat berbeda dengan kehidupan santri rekaan sutradara Nurman Hakim dalam Tiga Doa Tiga Cinta (seorang sutradara yang juga punya latar belakang santri). Santri yang baik diwakili oleh Azzam. Mirip tokoh Fachri dalam novel Ayatayat Cinta, Azzam pemuda separuh malaikat yang jadi dambaan gadis muslim: taat beribadah, santun bertutur, dan tekun berusaha. Untuk bisa bertahan dengan beasiswa sekaligus membiayai sekolah adikadiknya di Solo, Azzam, sang mahasiswa Universitas AlAzhar, Kairo, Mesir itu menyambung hidupnya membuat tempe dan bakso di komunitas Indonesia di Mesir.
Paradigma santri yang harus kita pahami dari Habiburrahman adalah: Azzam yang belum pernah melihat Anna (Oki Setiana Dewi), gadis muslimah mahasiswa S2 Al Azhar yang cerdas itu, bisa saja melamar (istilahnya: khitbah) sang calon. Tetapi Anna adalah gadis cerdas dan cantik—pelamarnya saja sampai tujuh orang!—yang tak sembarangan menerima lelaki yang tak mengena di hati. Ketika Furqan (Andi Arsyil Rahman), teman Azzam yang kaya raya dan perlente datang melamar, Anna tidak tunduk begitu saja. Dengan tegas Anna menyatakan, syarat di depan orang tua dan rombongan calon suami: ia bersedia menikah dengan Furqan, tapi dia tak ingin dimadu. Terjadilah diskusi panjang, sampai Anna mengeluarkan kitab untuk mendukung argumennya.
Ini adegan yang sebetulnya menarik, dan lagilagi harus dipahami bahwa ini memang bukan sesuatu yang terjadi di dunia nonsantri (ketika acara lamarmelamar selalu diasumsikan: para calon pengantin pasti akan bersetia dengan satu orang saja).
Selanjutnya, plot cerita berkisar pada Azzam kita yang merana karena tak mungkin menggapai Anna yang sudah ada di teritori Furqan. Sementara penonton sudah diberi tahu bahwa Furqan punya problem pribadi yang melibatkan sindikat Israel dan HIV (astaga!).
Bisa jadi Mamang, kini 66 tahun, makin berkonsentrasi dan tak ingin bergurau dalam membuat film religi. Kita mesti ingat, selain filmfilm dahsyat yang disebut tadi, Mamang juga pernah melahirkan film AlKautsar (1977), Titian Rambut Dibelah Tujuh (1982), dan Nada dan Dakwah (1991).
Tetapi film religi Chaerul Umam pada masa lalu, seperti Titian Rambut Dibelah Tujuh, adalah sebuah film religi yang subtil. Kalaupun terselip dakwah, terasa sebagai sesuatu yang tidak verbal sembari tetap menjaga plot yang sedap.
Dalam film Ketika Cinta Bertasbih, yang biayanya sak hohah ini (katanya, sampai Rp 40 miliar untuk dua film sekaligus), kita bukan hanya kehilangan Chaerul Umam karena kejenakaannya sudah dikubur dalamdalam, tetapi juga karena jalan cerita Habiburrahman tentu saja berbeda keranjang dengan cerita karya Asrul Sani. Chaerul Umam dan penulis skenario Imam Tantowi dan juga produser memutuskan untuk bersetia habishabisan pada jalan cerita novel. Maka, risikonya ada persoalan logika; ada persoalan stereotipe.
Penjahat dalam film ini adalah seorang perempuan antah berantah yang menyebarkan fotofoto palsu Furqan. Si perempuan ini, katanya, ternyata anggota sindikat Israel. Belum cukup fitnah terhadap si Furqan ini, dia tertular HIV pula. Ini semua ”hukuman” karena dia gemar hidup boros.
Di bagian ini, penonton mulai gelenggeleng kepala sembari mulai bertanya, kita sedang nonton film atau sinetron.
Dari separuh film yang syutingnyanya diambil di Kairo dan Alexandria, gambar yang diambil tidak tampak memanfaatkan lanskap mewah kedua kota tua peradaban itu. Tentu ada adegan mengesankan yang diambil justru di tepi pantai Kompleks El Muntazah, yang dulu milik keluarga Raja Abbas II, penguasa Mesir. Lalu, melalui syut yang diambil dari udara, kita melihat taksi yang dikendarai Azzam melalui piramida. Tetapi itu semua masih dalam rangka untuk memperlihatkan: ini syuting di Mesir beneran. Artinya, tangan Rudi Kurwet, sang director of photography, yang dikenal piawai dalam urusan gambar serial drama televisi, kurang terasa memukau.
Bisa jadi, fokus Mamang terletak pada pengadeganan. Ingat, dia harus menangani sejumlah pemain baru yang diambil dari hasil audisi di televisi. Di tangan Mamang—nah ini dia terlihat ”darah” Chaerul Umam—anakanak baru ini terlihat cukup meyakinkan, terutama pemeran Azzam, yang tampak betul seperti pemuda lugu dari sebuah desa di Solo yang mempertahankan kepolosannya di mana pun berada.
Akting para pemain baru yang lain termasuk biasa saja; tidak meledak, tidak pula buruk. Karena itu, sungguh mencerahkan ketika Deddy Mizwar, Didi Petet, Niniek L. Karim, Slamet Rahardjo Djarot, dan El Manik muncul di layar. Apa boleh buat, setelah piramida dan langit Kairo yang bagus itu, kita tetap menuntut akting yang asyik. Dan apa boleh buat pula, memang paling enak nonton para pemain yang sudah berpengalaman (kecuali bibit baru yang ditemukan itu memang sebuah berlian yang perlu diasah)
Jadi, ke mana gerangan Chaerul Umam? Apa ruang geraknya menyempit karena ”supervisi” tadi? Chaerul Umam mengaku, justru dia yang memaksa sang novelis terlibat menjadi pemain dan memberikan supervisi. Lagi pula, menurut dia, tak ada yang perlu diubah dari ceritanya. Ia kagum pada novel yang dianggapnya sebagai dakwah halus itu. Ia menerjemahkan novel ke bentuk visual dengan spirit yang sama.
Tapi, jangan lupa, Mamang pernah mengungkapkan kekaguman yang tinggi pada Asrul Sani, budayawan penulis skenario dan supervisor film Titian Serambut Dibelah Tujuh, skenario terbaik Festival Film Indonesia ketika itu. Pada saat menyutradarai film ini, Chaerul Umam bertanya mengapa Asrul tidak berkata apaapa. Asrul menjawab, tugas supervisi itu seperti di rumah, kalau ditanya, baru menjawab. ”Kalau tidak ditanya, ya berarti belum ada tugasnya,” demikian jawab Chaerul Umam, seperti dikutip Ekky Imanjaya dalam buku A to Z about Indonesian film.
Kurie Suditomo, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo