SEBUAH gedung berlantai delapan akan dibangun di lingkungan RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Jakarta, untuk Unit Gawat Darurat, yang berfungsi menolong pasien gawat yang harus ditangani secara darurat. Gedung yang bernilai Rp 2,3 milyar itu adalah bantuan pemerintah Jepang. Dua pekan lalu bantuan itU resmi diberikan. dan awal Desember mendatang pembangunannya akan dimulai. Desain dan seluruh bagian bangunan akan dikerjakan arsitek dan kontraktor Jepang. Tapi konsep UGD (Unit Gawat Darurat) yang diajukan pihak RSCM, ternyata, tak segera dimengerti pihak Jepang. Misalnya, di UGD kok ada bagian kebidanan dan kandungan. "Bukankah kehamilan dan kelahiran sudah bisa direncanakan - bukan kasus darurat?" ujar sebuah sumber di RSCM mengungkapkan pernyataan pihak Jepang. Bisa saja UGD di Jepang dan UGD di Indonesia berbeda, karena memang tak ada konsep UGD yan berlaku universal. Namun, konsep UGD di Indonesia sampai kini masih banyak mengundang perdebatan. Dalam membangun UGD di rumah-rumah sakit pemerintah, Departemen Kesehatan memang menyerahkan sepenuhnya pada rumah sakit yang bersangkutan. Dan tidak semua rumah sakitpemerintah mendapat jatah membangun UGD. Kepala Direktorat Rumah Sakit Departemen Kesehatan, Dokter Bambang S.T., menyebutkan bahwa pemberian jatah sangat tergantung pada kemampuan rumah sakit. Dari sekitar 200 rumah sakit pemerintah hanya 90 yang mendapat kesempatan membangun UGD. "Sebab, membuat UGD itu biayanya mahal," ujar Bambang. Kendati begitu, tak tertutup kemungkinan rumah sakit pemerintah membangun UGD, misalnya, dengan memanfaatkan anggaran pemenntah daerah. Maka, tidak aneh bila terdapat bermacam-macam corak, bentuk, konsep, dan struktur organisasi UGD. Dengan dibangunnya UGD di RSCM, menurut Bambang, ada kemungkinan membuat standardisasi. "Sistem yang digunakan di situ akan dipakai di rumah sakit lainnya," katanya. UGD di RSCM, yang kini sudah berjalan, dibagi menjadi dua bagian: medikal bedah dan medikal nonbedah. Penanggung jawabnya adalah bagian penyakit dalam dan bagian bedah. Sedangkan bagian-bagian lain (misalnya bagian saraf, telinga-hidung-tenggorokan, dan mata) sebagai konsulen. Dalam kasus-kasus khusus, pasien gawat dikirim ke bagian-bagian konsulen itu. Tapi, "Kenyataannya, hampir setiap bagian mempunyai UGD sendiri," ujar Dokter Pudji Rahardjo, seorang ahli penyakit dalam senior. "Banyaknya pintu UGD itulah yang memungkinkan terjadinya oper-mengoper pasien," kata Pudji lagi. Banyak pasien gawat yang keburu meninggal dalam praktek "ping-pong" ini. Pasien gawat, menurut Pudji, sering kali salah masuk pintu, sehingga terjadi oper-mengoper. Misalnya, pasien yang mengalami sakit dada hebat umumnya datang ke UGD jantung. Padahal, ia seharusnya ke bagian penyakit dalam. Di mana pun UGD buka 24 jam, dan, terutama, menerima korban kecelakaan lalu lintas. Karena itu, Dokter Sugana, direktur Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin di Bandung, menyebutkan bahwa UGD di lingkungan rumah sakitnya terutama memberikan perawatan pertama. Ia menyebutnya sebagai "poliklinik jaga", dan semua dokter bergantian piket. Untuk itu, ujar Sugana, perlu peralatan lengkap dan bangsal sementara, guna menampung pasien gawat yang sudah mendapat perawatan darurat. Sugana tidak terlampau mementingkan konsep. "Saya pikir, bagian itu biasa saja, tidak ada istimewanya. Sama dengan poliklinik biasa, cuma buka 24 jam," katanya. Di Rumah Sakit Soetomo, Surabaya agak berbeda. Di sini UGD terasa lebih ditata. Secara medis teknis, ia berada di bawah bagian bedah. "Saya yang minta begitu," ujar Dokter Abdussjukur, kepala Bagian UGD. Alasannya, di bagian itu terdapat peralatan yang dibutuhkan untuk penanganan darurat. UGD RS Soetomo terdiri atas dua bagian: bedah dan medis. Dan dibagi lagi jadi enam seksi berdasarkan kasus-kasus gawat darurat. Bagian ini dijaga 34 ahli bedah. Dalam tugas sehari-hari, 10 dokter piket bergantian selama 24 jam, sedangkan 24 lainnya setiap waktu bisa dihubungi lewat radio. Mengapa bagian bedah yang ditekankan? Abdussjukur menyebutkan bahwa pasien gawat umumnya adalah pasien bedah, dan sebagian besar akibat kecelakaan lalu lintas - hampir 7.500 dalam delapan bulan terakhir. Di luar kasus ini, pasien gawat dikirim ke bagian-bagian lain di lingkungan rumah sakit, yang senantiasa ada dokter piket 24 jam. UGD RS Soetomo, yang dibangun pada 1981, dibantu dua UGD kecil di dua rumah sakit swasta. Unit-unit pembantu ini setiap waktu bisa dihubungi dengan radio, dan setiap saat dokter di UGD "pusat" bisa lari ke UGD pembantu bila terdapat kasus berat. Walau begitu UGD RS Soetomo masih terbirit-birit melayani pasien. Setiap malam sekitar 20 pasien menjalani operasi dan, karena kurangnya tenaga, para dokter harus berhari-hari tinggal di rumah sakit. Di samping itu, Abdussjukur mengeluh karena 80% pasien yang datang di UGD sebenarnya bukan pasien gawat. "Cuma kena pecahan kaca saja lari ke sini," katanya. Keluhan yang sama datang dari UGD RSU Pirngadi di Medan. Seorang dokter yang tak mau disebutkan namanya mengungkapkan bahwa masalah utamanya karena tak ada dana. Karena itu, sekitar 15% pasien gawat tidak tertolong akibat kurangnya peralatan, obat, tenaga medis, dan tenaga paramedis. Padahal UGD rumah sakit ini setiap hari harus melayani sekitar 100 pasien gawat - yang kadang-kadang datang dari luar Medan. Dalam struktur organisasi, UGD RSU Pirngadi - boleh jadi aneh - berada di bawah bagian anastesi (pembiusan untuk operasi). "Tapi, sampai saat ini, saya tidak tahu bagaimana status sebenarnya," ujar dokter yang bekerja di Bagian Bedah RSU Pirngadi itu. KEKURANGAN dana sering kali memang menjadi pangkal masalah. Dan kacaunya status sering kali melengkapi ketakberdayaan. Hal ini muncul pula di RS Sardjito, Yogyakarta. UGD di sini menumpang di poliklinik bedah. Akibatnya, penggunaan kamar operasi harus bergantian. "Kalau ada kebutuhan serentak yang membutuhkan penanganan darurat, kacau semuanya," ujar Dokter Sungsang Rohadi, kepala Bagian UGD. Menanggapi masalah UGD, Dokter Kartono Mohamad, dari majalah kedokteran Medika, menyebutkan bahwa perlu ada konsep yang jelas. Dokter yang pernah bertugas di TNI-AL itu mengungkapkan, UGD mula-mula dicetuskan oleh satuan kesehatan marinir Amerika Serikat. Kemudian berkembang ke rumah-rumah sakit karena dianggap efektif. Menurut Kartono, UGD seharusnya cuma menangani pertolongan darurat, dan harus dibedakan dari gerbang rumah sakit, yang cuma menyeleksi pasien untuk UGD atau langsung ke bagian-bagian. Kata Kartono, yang pernah mengamati secara khusus UGD di AS, 1971, UGD dijaga oleh dokter umum yang mengkhususkan diri pada perawatan darurat, dan dilatih seperti pasukan komando.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini