Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Aborsi, dengan dan tanpa umur

M. kafrawi, bekas purek universitas airlangga mempertahankan disertasinya yang bertema sekitar kuhp dan program kb, yang cenderung membahas kasus aborsi.

3 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK pertama kalinya, sebuah disertasi doktor menyinggung masalah pengguguran kandungan menurut hukum Islam - dan menampakkan variasi pendapat yang layaknya jarang dilihat. M. Kafrawi, S.H., bekas pembantu rektor Universitas Airlangga, Surabaya, dan bekas dekan fakultas hukumnya, pertengahan Oktober lalu mempertahankan disertasinya yang bertema sekitar KUHP dan program keluarga berencana. Bukan sengaja membahas fiqih Islam, disertasi itu berpusat pada pasal-pasal tertentu KUHP yang, dalam teori, menghambat pelaksanaan KB. Dalam kehendak untuk lebih melancarkan program KB, begitulah terkesan, sang promovendus berusaha melihat beberapa kemungkinan kemudahan di lingkungan-lingkungan hukum yang lain. Dan di situlah fiqih Islam dicantumkan. Kemungkinan kemudahan itu, dalam hal hukum Islam, memang ada. Setidak-tidaknya dalam kasus aborsi yang dilakukan demi menyelamatkan nyawa ibu. Di sini semua ulama sepakat tentang kebolehannya. Lebih dari itu, dan ini tidak terdapat dalam ajaran agama apa pun, dalam Islam memang ada persoalan sekitar umur jabang bayi di dalam perut. Tidak dimuat dalam disertasi itu adalah hadis Nabi yang menyatakan, jabang bayi dimasuki roh setelah melewati masa yang kalau dihitung-hitung, berjumlah hampir genap empat bulan. (Sekadar bandingan: Prof. Hermien Hadiati Koeswadji, S.H., dalam bukunya yang juga dikutip Kafrawi, menyebut angka 22 minggu Dr. H. Marsidi Judono menyebut 20 minggu). Dalam jangka waktu itulah, terutama, pendapat berbagai kalangan hukum Islam menarik diikuti. Mayoritas mazhab Hanafi, demikian dinukilkan, membolehkan aborsi jenis itu hanya sebagian kecil menganggapnya makruh, alias "tak disukai agama tapi tak dilarang". Mazhab Syafii, "beberapa ulamanya" menganggapnya boleh, dan "beberapa yang lain' memakruhkan. Mazhab Maliki, sebagian secara mutlak mengharamkannya, dan sebagian memandangnya "makruh ketat". Mazhab Zaidi (kelompok kecil terutama di Yaman, yang kadang-kadang dihubungkan dengan kalangan keturunan Arab golongan Alawi di Indonesia), "paling bebas mengizinkan aborsi." Bahkan Kafrawi menulis, para sahabat utama Nabi, seperti Ali dan Umar, membolehkan aborsi jenis itu. Sebaliknya adalah aborsi setelah empat bulan umur bayi, yang dinyatakan diharamkan oleh kesepakatan ulama. Semua pendapat itu dikutip Kafrawi dari satu buku A.R. Omran, seorang guru besar di Universitas Carolina Utara, AS. Bila masalah ini dicek kepada para ahli hukum Islam di Indonesia, maka Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L., ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, misalnya, memang menyatakan hal yang kurang lebih sama. Ibrahim Hosen mengungkapkan, mayoritas (jumhur) ulama menyetujui penggunguran di bawah masa empat - bulan itu - kecuali Imam Ghazali. Tentunya Ibrahim hanya menyebut Ghazali wakil "minoritas" - karena ada Imam Hanbali, yang juga menghamramkannya secara mutlak. Dan aneh juga bahwa pendapat mazhab Hanbali - salah satu dari empat besar - tak dicantumkan dalam pemaparan Kafrawi. Alasan Ghazali tergolong unik. Ia mengiaskan aborsi jenis yang dimaksud itu dengan tindakan ini: mengambil telur burung oleh jemaah haji di Mekkah. Bila seorang jemaah mengambil telur burung di Tanah Haram, kemudian memecahkannya, ia kena dam alias denda ritual. Itu karena si "pembunuh" telur sama dengan pembunuh burung (atau binatang apa pun), yang juga dikenai dam. Demikian pula, tentunya membunuh "telur" manusia adalah haram, seperti membunuh manusia pun haram. "Kami setuju dengan Imam Ghazali," kata Ibrahim Hosen. Dan dia tak sendirian. K.H. Syukri Ghozali, almarhum, juga mengharamkan aborsi jenis itu - mengambil alasan antara lain dari kitab l'anatuth Thalibin. Dan dalam simposium IDI (Ikatan Dokter Indonesia) cabang Jakarta, 1964, tokoh yang kemudian menjadi ketua umum MUI itu menegaskan keharaman pengguguran itu terhitung "sejak pembuahan". Malahan Almarhum mengutipkan bentuk hukuman tertentu bagi yang melakukan aborsi. Yakni denda, yang dipungut pemerintah. Jumlahnya tak main-main: sekitar harga 15 ekor sapi besar. Masih ditambah dua buah kifarat, tebusan dosa kepada Tuhan. Setiap kifarat adalah pembebasan dua budak Muslim (dulu) atau puasa dua bulan (jadi empat bulan) terus-menerus. MUI sendiri, lewat keputusan munasnya pada 1983, menyatakan pengguguran segala umur - sebagai "pembunuhan terselubung," dan karenanya haram - kecuali demi nyawa si ibu. Demikian juga MU DKI Jakarta dalam fatwanya, 1981 - yang mengambil, sebagai salah satu alasannya, ayat Quran 17:31: "Janganlah membunuh anak-anak kamu karena takut kemelaratan." Sebuah musyawarah ulama terbatas tentang KB, pada 1972, juga mengharamkannya. Tiga dari tujuh ulama yang mengadakan musyawarah itu adalah K.H. M. Bisri Sjansuri, Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, dan K.H. M. Syukri Ghozali. MENARIK, memang, sementara mayoritas ulama klasik cenderung membolehkan aborsi di bawah empat bulan, boleh dikatakan semua ulama Indonesia memilih pendapat yang mengharamkannya. Dan, berbeda dari kemauan Kafrawi, yang - demi mengatasi masalah kependudukan yang dianggap gawat - menginginkan pasal-pasal KUHP "warisan kolonial" yang secara teoretis menghambat pelaksanaan KB itu diubah, dari kalangan ulama terdengar beberapa imbauan yang lain. Dan ini bisa dipahami sebagai berhubungan dengan ekses-ekses pelaksanaan KB. Munas MUI 1983 itu, misalnya, mengharapkan agar program KB dilaksanakan secara "lebih insani" - misalnya tanpa paksaan, dan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan penderitaan si ibu. Lebih dari itu, bukankah aborsi - bagaimanapun - lebih dikenal sebagai kebiasaan kaum "pergaulan bebas", hal yang tentunya tidak menjadi masalah dari pihak pelaksana KB? Ciri "bergaul bebas" itu, di zaman para imam dulu, agaknya memang belum dikenal sebagai bahan pertimbangan hukum. Begitulah, "Hukum berputar menurut motif ('illat)-nya, baik adanya maupun tidak adanya," demikian satu kaidah ilmu fiqih. Memang, persoalannya bisa tergantung pada dari segi mana orang memandang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus