DESAIN tekstil bisa membingungkan. Dipandang indah, dipakai norak. Dari jauh seorang wanita bisa tertarik pada warna dasar ungu satu blok tekstil yang dipajang di etalase. Begitu mendekat, ia makin terpesona dengan motif bunga melati kecil-kecil dengan daun hijau. Setelah merasa cocok dengan bahannya, dan harga disepakati, jadilah wanita itu membeli sekian meter tekstil itu untuk gaun malam. Tapi akhirnya nyonya tadi uring-uringan. Desain dengan dasar ungu itu ternyata tak cocok untuk tubuhnya yang tergolong gemuk dan berkulit agak hitam. Serupa itulah kesulitan menilai desain tekstil, apalagi yang masih berupa rencana pada kertas, misalnya Anda menonton Pameran Hasil Lomba Desain Tekstil, pekan lalu, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Agak sulit menentukan bagaimana karya dua dimensi itu bisa disebut bagus, bila pemakaian sebenarnya pada benda tiga dimensi: untuk pakaian, tirai, taplak meja, seprai tempat tidur. "Desain yang memuaskan itu," kata Sukarno, 53, direktur Kerajinan 8 Umum, Ditjen Industri Kecil "bila telah dipakai konsumen tampak bagus." Tak berarti tak ada kriteria tentang bagus dan jeleknya sebuah desain tekstil. Dalam lomba yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Himpunan Wanita Karya ini, misalnya, 10 juri yang diketuai Sukarno hanya menominasikan 43 dari 103 desain peserta lomba. Dan yang masuk pilihan itu pun oleh Prayudi, perancang mode yang ikut menjadi juri, dianggap kurang kreatif. "Tak ada yang mengejutkan hingga kita bisa bilang, wah, ini baru," katanya. Dalam ruang pameran, 30an desain yang dipamerkan didomimasi oleh gambar yang mengubah motif-motif ragam hias. Dan itu meliputi ketiga golongan desain yang dilombakan tekstil untuk busana, untuk interior, dan untuk perlengkapan rumah tangga. Misalnya, desain pemenang II untuk tekstil interior, jelasjelas meniru motif batik tejokusuman. Motif yang menggambarkan burung garuda mengembangkan sayap. Dan, Soetarwanto Hadi, desainer dari Jakarta yang membuatnya memang memberi judul desainnya "Teja Kusuma". Lalu, beberapa lagi mengubah gambar sulur-suluran, yang dibuat sedemikian rupa hingga kebatik-batikan. Misalnya desain pemenang II dan III untuk tekstil busana. Repotnya, modifikasi bentuk-bentuk hias itu sekali pandang memberi kesan desain kodian. Corak serupa, juga warna-warna yang mirip, tak sulit dilihat di bursa tekstil Pasar Tanah Abang dan Pasar Pagi di Jakarta, atau di Pasar Klewer, Solo, misalnya. Tapi, mungkin, ini semua bukan salah para desainer. Sudah jadi kebiasaan pabrik-pabrik tekstil untuk membuat desain-desainnya berdasarkan pasar. "Di sini ada karyawan yang bertugas meriset pasar, untuk mengetahui desaindesain tekstil yang laku," tutur Muhammad Adil Harun, 43, kepala Bagian Promosi PT Industri Sandang I, Jakarta. "Kami juga melihat desain tekstil di pasar Singapura yang mungkin akan masuk ke Indonesia. Berdasarkan hasil riset itulah kami membuat desain." Pada prinsipnya, semua pabrik tekstil membuat desain dengan cara sepertl itu. Agaknya, seorang desainer tekstil begitu terikat pada "permintaan pasar". Kreativitas, apalagi orisinalitas, seolah dibuat buntu. Ini dibenarkan Fuad El Nuri, 28, desainer lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta. "Tapi itu wajar," kata Fuad, yang sejak 1978 bekerja di pabrik tekstil PT Texmaco Jaya, lakarta. "Biasanya. Iama kelamaan seorang desainer yang baik bisa menyesuaikan diri, bisa berorientasi pada selera konsumen dalam mencipta," kata desainer yang kini jadi andalan Texmaco itu. Bahkan pihak Texmaco, yang per bulan memasarkan 1,5 juta yard tekstil, punya daftar selera konsumen untuk tiap pasar. "Di Medan konsumen tak suka warna merah. Di Jakarta motif garis-garis tipis dengan warna kalem masih laris," kata Sumedi, manajer desain Texmaco. "Di Surabaya motif yang realistis, misalnya gambar bunga atau wayang, masih disukai," tambah Fuad. Berapa jauh desain menentukan laku tidaknya tekstil? "Seorang pembeli pertama-tama akan tertarik pada warna dan motif tekstil, sebelum terkesan oleh bahannya," kata Sumedi, yang memimpin 20 pendesain itu, yang per bulan memasarkan 150-an desain baru. Sedangkan PT Industri Sandang I, yang hanya memiliki empat pendesain, memasarkan desain baru tiga bulan sekali. Tapi pabrik tekstil bukan satu-satunya tempat bagi para desainer tekstil bisa menunjukkan kreativitasnya. Sebenarnya, desain-desain eksklusif justru muncul dari usaha-usaha kecil, misalnya yang hanya mencetak 1.000 yard per desain. Dan biasanya pula, barangnya dijual dalam bentuk jadi: kemeja gaun, tilam bantal, tirai jendela dalam ukuran tertentu. Pasar desain eksklusif ini tentu bukan di bursa-bursa tekstil, melainkan di butik-butik. Harga yang eksklusif, tentu saja, bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan tekstil keluaran pabrik - meski bahan tekstil ltu persls serupa. Di sinilah biasanya para desainer yang tak bersedia diperintah pasar bekerja. Misalnya, Prayudi, 35, lulusan Akademi Mode di Jerman itu. Dalam pameran ini sebenarnya tak sepenuhnya terasa suasana desain pasar. Beberapa desain, menurut Prayudi, cukup bermutu. Misalnya, desain pemenang I dan II untuk tekstil perlengkapan rumah tangga. Yang pertama, desain dengan dasar biru tua, dihias dengan bunga (mungkin melati) putih berserak teratur. Lalu pada sederet bunga ditambahkan daun-daun berwarna kuning tua sedikit kehijau-hijauan. Lahir kesan puitis. Yang kedua, bergambar kucing - mirip lukisan kanak-kanak: lucu dan simpatik. Tapi kembali pada fungsi tekstil, sebenarnya baik buruknya sebuah desain juga ditentukan olch pemakainya: bagaimana memilih desain yang cocok dengan tubuh, dengan ruangan, dengan bcntuk meja yang hendak didandani dengan tekstil. Dilihat dan segi pemakai, boleh jadi desain justru menduduki nomor dua: yang eksklusif, pun yang kodian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini