Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pancasila di sekitar gereja

Pada sidang raya dewan gereja-gereja di indonesia yang diadakan di ambon, di perdebatkan masalah asas tunggal pancasila. apakah dgi termasuk ormas yang terkena asas tunggal atau terpisah dari politik. (ag)

3 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH saatnya, agaknya, umat Kristen untuk pertama kalinya menghadapi masalah yang sudah sejak lama dihadapi kalangan Islam. Yakni: bagaimana merumuskan secara lebih persis (atau lebih sesuai dengan tuntutan yang ada) hubungan antara agama mereka dan Pancasila. Perbincangan sekitar masalah asas tunggal, yang diamanatkan oleh TAP MPR untuk dijadikan dasar bagi semua ormas (organisasi masyarakat) di Sidang Raya DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia), yang usai Kamis pekan ini di Ambon, menunjukkan hal itu. Masalahnya: apakah gereja memang sebuah ormas yang layak terkena asas tunggal itu. Dan apakah DGI juga ormas yang dimaksudkan. Sudah cukup lama masalah ini diraba-raba di sana. "Saat ini gereja-gereja kita sudah mulai merasakan pentimgnya peningkatan, pengembangan, pemikiran teologis mengenai hubungan antara gereja dan negara," demikian dalam bahasa P.D. Latuihamallo ketua DGI 1980--1984. Dan sekarang, "Tugas itu sudah tidak dapat ditunda lagi," katanya kepada James R. Lapian dari TEMPO, yang terbang dari Jakarta untuk menyaksikan sidang sepuluh hari itu. Gereja, dalam pengertian umat Kristen, memang bukan sekadar rumah ibadat seperti masjid. Mereka sendiri menyebutnya "tubuh Kristus" - dan ini berarti tidak kurang dari agama itu sendiri. Berhimpunnyaa para jemaah, dan pelayanan pendeta, dalam satu penjelmaan yang disebut persekutuan, karena itu tidak dianggap menunjuk pada "organisasi". Itulah sebabnya, paling tidak dalam teori, gereja sebenarnya tak pernah aktif dalam kegiatan sosial dalam pengertian yang lazim itu. Semua aktivitas kemasyarakatan selalu hanya dilakukan pribadi-pribadi para jemaah sendlrl, biasanya dengan membentuk perkumpulan lain yang memang menisbatkan diri pada nama gereja. Bahkan sering dikatakan, betapa para pendeta Protestan itu hampir tak pernah hirau dengan kejadian sekitar, lewat kotbah mereka. Mereka hanya berusaha, bersama jemaah, membuktikan hadirnya persekutuan itu, alias gereja itu, dan menampakkan "tubuh agama" itu meski di masa-masa akhir hal ini acap disesalkan. Gereja pun dengan sendirinya terpisah dari akuvitas politlk warganya - di negeri mana pun. Dengan Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dulu, misalnya. Keterpisahan "total" antara agama dan negara justru paling tampak di sini. Dan meski gereja dalam prakteknya toh diorganisasikan, organisasi itu dianggap semacam "alat penolong" saja. Intinya, ya, yang tadi itu. Dan itulah, memang, beda pengertian "agama" pada umat Kristen dengan pada kaum Muslimin - yang agamanya akan tetap hidup andal pun tak ada masjid, dan yang ajarannya sama sekali tidak membedakan dunia di dalam dan di luar gedung ibadat. Tetapi, bila begitulah gereja, begitu pulakah Dewan Gereja-Gereja di Indonesia? Ada, memang keinginan untuk menganggap DGI sebagai "gereja", walaupun nyata-nyata organisasi wujudnya. T.B. Simatupang, jenderal purnawirawan yang menjadi tokoh DGI itu, termasuk yang menganggap DGI sebagai bukan ormas. Ia menyebutnya "lembaga gerejawi" - karena ia "persekutuan" dari gereja-gereja, bukan? Namun, di balik rumusan yang tak selalu mudah dipahami orang awam itu, umat Kristen agaknya juga bertopang pada peraturan - sejak zaman Belanda. Alkisah, di tahun 1835, raja Belanda mengeluarkan undang-undang yang hanya mengesahkan sebuah gereja berikut kerkbestuur (pengurus gereja-nya - di Hindia Belanda. Gereja itu ialah Gereja Masehi Protestan. Tapi memasuki abad ke-19 terjadilah perpisahan gereja-gereja di Negeri Belanda, yang berpengaruh pula ke sini. Masalahnya, pecahan-pecahan gereja itu - yang disebut gereformeerd tidak mendapat pengakuan. Lewat peraturan yang ada, Staatsblad tahun 1870 nomor 64, gereja gereformeerd hanya dianggap sebagai perkumpulan biasa yang mendapatkan perlindungan hukum. Alias "ormas". Status ormas itu akhirnya diubah juga setelah diprotes berkali-kali. Muncul kemudian peraturan "revisi" - Staatsblad tahun 1927 nomor 156, 532. Dengan itu secara resmi gereja Protestan dan pecahan lainnya di Indonesia disebut sebagai "bukan organisasi biasa". Nah, itulah yang dimaksud dengan gereja, lembaga gerejawi. Tapi itu riwayat masa lalu. Dalam kenyataan kini, sebenarnya banyak pula kalangan umat Kristen yang menghendaki perubahan dan kemajuan - beringsut dari pengakuan formal masa penjajahan itu. Tim perumus Seksi Tata Dasar (anggaran dasar) pada Sidang Raya ini, misalnya, mengakui pula hal ini: DGI bukanlah gereja. Mengapa? Sebab, ia tak dapat melaksanakan pentahbisan gereja dan sakramen. Dan karena bukan gereja, ia memiliki pula warna organisasi. Karena itu, selain menerima Yesus Kristus sebagai satu-satunya dasar dalam seluruh kehidupan, juga mestinya bisa menerima asas Pancasila bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Perdebatan muncul juga - walaupun secara tegas Pendeta Rajagukguk, anggota Komisi Keesaan dan Pembaharuan Gereja, menyebutkan bahwa 80% anggota DGI sebenarnya menerima asas Pancasila dimasukkan ke Dokumen Tata Dasar. Masalahnya kini: di mana asas Pancasila itu akan diletakkan? T.B. Simatupang menginginkan Pancasila tidak masuk ke Bab II (Dasar dan Tujuan) ia cenderung menempatkannya pada Bab III (Usaha-Usaha). Namun, akhirnya disepakati bahwa justru pada Bab II-lah Pancasila harus dicantumkan. Tepatnya di pasal 4 yang sebelumnya berisi kalimat ini: "Tujuan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia adalah perwujudan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia." Isi pasal 4 ini kemudian menjadi pasal 5. Acara sidang raya sendiri sudah disusun jauh sebelumnya - pada Sidang BPL (Badan Pekerja Lengkap) yang beranggotakan wakil-wakil 45 gereja, 1981. Ketetapan yang lebih dikenal sebagai Buku Biru itu berjudul: "Mempersiapkan Pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia dalam Sidang Raya X DGI 1984, Ambon". Rancangan itu memang mengarah pada penyatuan gereja-gereja Kristen, dari berbagai aliran - cita-cita yang sudah diikrarkan tahun 1950, ketika Dewan Gereja-Gereja di Indonesia dibentuk. Lima dokumen disiapkan mengenai keesaan itu, dan kelima-limanya pada sidang kali ini diterima hampir secara aklamasi. Ini menakjubkan. Meski bisa diduga masih akan timbul banyak masalah dalam pelaksanaannya, berbagai problem, seperti penyeragaman liturgi, nyanyian gerejawi, renungan Alkitab, dan katekesasi pasal-pasal pengakuan iman Kristen - sebenarnya merupakan ajang besar perbedaan pendapat yang "mentradisi" di kalangan gereja-gereja Kristen. Tuntutan persoalan dan suasana paling mutakhlr, asas tunggal bagi DGI, barangkali saja memang menambah kecepatan tercapainya kesepakatan dalam masalah keesaan itu - untuk bisa diselesaikan dan segera diganti problem yang tidak kurang gawat. Dan sebagai cap keesaan itu, dalam sidang ini - yang tak dihadiri baik Presiden maupun Wapres, bahkan Menko Kesra, (tetapi hadir Menteri Agama, selain Pangab dan Menteri Penerangan) - muncul nama Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) menggantikan DGI. Dengan ini diumumkan, DGI sudah tiada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus