Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis kedokteran jiwa Santi Yulianti mengungkapkan banyaknya kunjungan yang dilakukan generasi Z ke psikiater menjadi bukti masyarakat sudah lebih memahami dan peduli pada kesehatan mental.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Generasi Z saat ini melihat dunia hanya dalam genggaman tangan saja. Dulu kita harus pergi ke London untuk melihat London di Inggris. Tapi sekarang mereka bisa mengaksesnya hanya melalui genggaman. Begitu juga dengan banyaknya informasi sehingga kepedulian tentang kesehatan mental lebih bagus,” jelas Santi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menuturkan banyaknya kunjungan gen Z atau masyarakat yang lahir antara 1997 hingga 2012 tidak bisa dijadikan patokan untuk mengukur lemah tidaknya mental masyarakat saat ini karena belum ada data yang mengkaji hal tersebut. Namun, kunjungan yang banyak ditemui pada gen Z tersebut menunjukkan masyarakat sudah paham ketika butuh bantuan untuk menyelesaikan perasaan rumit dalam diri, mereka mencari tenaga kesehatan seperti psikiater atau psikolog.
“Generasi Z tidak malu dan tidak takut datang ke psikolog. Ini hal penting sebenarnya, jadi jangan serta merta mengasumsikan generasi Z banyak mengakses, sama dengan orang yang lemah secara penampilan fisik, ketahanan dalam pekerjaan zaman dulu lebih kuat. Itu harus kita evaluasi,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini juga membuktikan akses terhadap informasi yang berkaitan dengan isu kesehatan mental sudah diakses banyak orang sehingga pemahaman terkait gejala atau bentuk penanganannya bisa diketahui secara luas oleh masyarakat. Hal ini berbeda dari masyarakat pada masa lalu yang masih terkena stigma kesehatan mental dikaitkan dengan guna-guna atau paranormal, yang akhirnya berdampak pada terlambatnya penanganan ketika datang ke pihak medis.
Perasaan bukan patokan
Santi menjelaskan kesehatan mental itu tidak bisa dilihat hanya sekadar melalui perasaan sedih berlarut-larut atau tindakan ekspresif yang menggebu-gebu seperti marah atau mengamuk. Dalam kesempatan itu ia menekankan fungsi sosial merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kesehatan mental. Oleh karena itu, diagnosis tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Perubahan perilaku, misalnya terlalu sedih sampai tidak bisa bekerja, hingga stres yang tak kunjung reda sehingga kondisi fisik terganggu dan semakin parah, perlu dikonsultasikan lebih lanjut bersama dokter yang membidangi kejiwaan.
“Mental itu letaknya ada di otak, itu diikuti oleh perasaan, pikiran, dan perilaku. Jadi, kalau bicara mental, ketiga hal tadi harus diperhatikan dan itu bagian dari mental yang perlu kita evaluasi lebih lanjut,” tandasnya.
Pilihan Editor: 5 Dampak Buruk Media Sosial bagi Kesehatan Mental