Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Requiem

Monumen joseph vissaronovich dzhugashvili alias stalin ditumbangkan, juga kainin dan molotov. kaki molotov dijadikan mainan "petak umpet" dan hidung stalin dipakai sasaran ludah orang.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Requiem
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
"Di bawah tapak kaki mereka, pegawai negeri terburu-buru menuju ke kemenetriannya, penonton menyaksikan opera, dan orang beriman menyelinap ke tempat ibadat," tulis seorang penyair. Namun, setelah 70 tahun bungkam, rakyat di Uni Soviet tak lagi takut. Monumen para diktaktor ditumbangkan, dijadikan mainan anak-anak, dan diludahi. SEPERTI musim, ideologi dan pahlawan bisa berganti. Di seberang taman Gorky Park, di tepi Sungai Moskow yang tenang airnya, ada sebuah kebun berukuran 10 x 10 meter. Di sinilah terminal terakhir monumen-monumen para tiran. Ada Joseph Vissaronovich Dzhugashvili, alias Stalin. Ada sobat setianya: Kalinin dan Molotov. Yang terakhir ini pencipta bom botol dari vodka dan bensin. Ia juga menghasilkan perjanjian "Molotov-Ribbentrop" yang berakibat jutaan orang Yahudi Polandia dimusnahkan, dan Perang Dunia II dimulai. Stalin sendiri, kendati sempat dididik menjadi pendeta, tak segan menghabiskan nyawa rekannya saat ia Sekretaris Jenderal Partai Komunis dan Pemimpin Tertinggi Uni Soviet. Tahun 1930-an, puluhan juta mati di ujung bedil atau di kamp konsentrasi Siberia. Sebagian besar buah tangan polisi rahasia Soviet yang didirikan Felix Dzerzhinsky. Anak bangsawan Polandia itu mati dua kali: pertama ketika pembuluh darahnya pecah saat berdebat di Komite Sentral, pada 1926. Kedua kalinya setelah kudeta bulan Agustus, saat rakyat mendongkel patungnya dari depan kantor KGB di Moskow. Namun, ingatan manusia pendek umurnya. Bagi bocah-bocah, patung-patung itu lebih mengasyikkan daripada ayunan atau perosotan di Gorky Park. Kaki Molotov yang berukuran raksasa jadi tempat main "petak umpet" dan hidung Stalin dipakai sebagai sasaran ludah orang. "Bangsa yang tidak bisa menghargai sejarahnya bukan bangsa yang besar," seorang Babouchka, nenek Rusia, menggerutu. Tak ada yang peduli. Wisma Pusat Seniman, pemilik kebun, tak sudi lagi menerima monumen diktator. Dua belas dari dua puluh patung dicuri, konon oleh keluarga tokoh-tokoh tersebut. Untuk menjaganya dibutuhkan polisi yang digaji 15 rubel (setengah dolar AS), per jam. Namun, Wali Kota Moskow tak punya duit. Lalu seorang penyair menulis, "Inflasi dan pembengkakan jiwa mewartakan berakhirnya riwayat 'pahlawan' yang hidup hanya untuk kekuasaan, kemenangan, dan kebesaran diri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus