MUHIDIN Suhenda, 20, sakit mata. Datang ke RSU Syamsudin, Sukabumi, Juni lalu, matanya langsung dioperasi. Ia tak sempat pulang memberitakan pembedahan itu karena, menurut dokter, keadaannya sudah gawat, matanya sudah bernanah. Lima hari kemudian baru Muhidin pulang, dan kedua orangtuanya terkejut setengah mati: mata sang anak bolong. Merasa tak senang, upaya operasi mata atas Muhidin itu berbuntut panjang. Orangtua Muhidin, Letda (Purnawirawan) Mamun menuntut dokter yang mengoperasi anaknya, dr. G. Muhamad Husaeni. Besarnya tuntutan Rp 20 juta bila mata Muhidin bisa kembali seperti sediakala, atau Rp 30 juta bila tak bisa. Selasa 23 September lalu Pengadilan Negeri Sukabumi menyidangkan perkara perdata ini. Sidang berlangsung hanya tiga menit karena Mamun sebagai penggugat tidak hadir. Sidang kemudian dibuka kembali Rabu, 1 Oktober pekan lalu, tapi kembali berlangsung beberapa menit saja. "Apa Saudara penggugat masih tetap pada tuntutan semula atau mau berdamai?" tanya ketua Majelis Hakim. "Terserah kepada tergugat," ujar Mamun datar. Pihak tergugat, yang diwakili Pengacara M. Muslich, S.H., menyatakan kalau jalan damai merupakan ikhtiar terbaik, pihak tergugat setuju saja. Ketua Majelis kemudian memberi waktu dua minggu untuk mencari upaya damai. "Dalam sidang yang akan datang kami harus sudah diberi tahu hasil perdamaian itu," ujar ketua. Di luar persidangan, Mamun mengatakan pada Hasan Syukur dari TEMPO, apa pun ikhtiar damai, ia tak akan membatalkan tuntutannya. "Bagi saya, apa pun namanya, dokter itu harus memberi ganti rugi Rp 30 juta," katanya. Secara emosional ia malah berniat memidanakan dokter yang mengoperasi anaknya. Upaya menolong anaknya tanpa izinnya, menurut Mamun, tindakan kriminal. Menurut Ketua Majelis Hakim Mulkan Lutfi, mungkin saja Mamun mengubah tuntutan perdatanya menjadi pidana. "Tapi dari segi mana dia mau menggugat secara pidana?" ujar Lutfi bertanya-tanya. Bagi Mamun, dokter telah teledor tidak meminta izinnya ketika memutuskan melakukan pembedahan. Tapi dalam tuntutannya, ia menyebutkan pula sakit mata anaknya bersifat ringan-ringan saja ketika berangkat berobat. Karena itu, ia dan istrinya kaget ketika Muhidin pulang. "Istri saya hampir pingsan waktu mengetahui bola mata kiri anaknya sudah tidak ada," ujar Mamun. Ketika berangkat ke RSU Syamsudin untuk berobat, Muhidin, menurut Mamun, hanya ditemani kawannya, Iyep. Iyep memang pulang ke rumah Mamun di Kampung Harempoy, Desa Subangjaya, Sukabumi, dan menjelaskan bahwa Muhidin harus dirawat. Mamun, katanya, menyusul ke rumah sakit, tapi disuruh menunggu, dan rupanya tak sampai tahu anaknya menjalani operasi. Dokter yang melakukan operasi, dr. Muhamad Husaeni, menyangkal keras telah melakukan kecerobohan tidak meminta izin orangtua. Menurut dokter mata yang sudah bertugas selama 10 tahun itu, izin orangtua diperlukan bila seseorang berada di bawah umur. Atau bila pasien berada dalam keadaan tidak sadar. Husaeni berpendapat, Muhidin sudah dewasa dan berhak memberikan izin operasi bagi dirinya sendiri. Dan izin itu memang diberikan Muhidin. Dokter mata lulusan Universitas Padjadjaran itu memperlihatkan surat izin berwarna jingga. Di sana memang tercantum tanda tangan Muhidin. Namun, belum jelas berapa usia Muhidin pada catatan pengobatan. Dalam keterangannya pada TEMPO, Husaeni memperkirakan usia Muhidin sudah di atas 20 tahun. Lepas dari soal perizinan, Husaeni menjelaskan pembedahan yang dilakukannya bersifat gawat darurat, artinya pertolongan harus segera dilakukan mencegah keadaan yang lebih fatal. Muhidin, katanya, menderita endoftalmi, yaitu radang mata yang menimbulkan ulkus atau borok. Akibatnya, muncul gumpalan nanah pada bola mata. Bila tidak segera ditolong, infeksi akan merambat ke mata sebelahnya, dengan begitu Muhidin malah terancam kebutaan total. "Dan yang lebih berbahaya, infeksi itu bisa memmbulkan peradangan selaput otak," ujar Husaeni. Dalam hal ini nyawa Muhidin yang terancam. Endoftalmi sendiri memang kasus jarang. Pada catatan Husaeni, penderitanya sekitar 10 di antara 1.000 orang. Awal kasusnya sering kali sederhana: tepercik lumpur, tergores ranting, atau akibat mencuci mata dengan air kotor. Pada tingkat dini endoftalmi bisa ditolong. Kekeruhan kornea mata bisa diatasi dengan transplantasi. Namun, bila seluruh jaringan bola mata sudah terkena, akibatnya fatal dan berbahaya. Upaya penyembuhan praktis tak ada, transplantasi pun percuma saja. Satu-satunya cara untuk menolong adalah melakukan pengangkatan total. Endoftalmi yang menyerang Muhidin, menurut dokter mata RSU Syamsudin itu, sudah berlangsung lama. Menurut data pengobatan, Muhidin pernah berobat ke RSU Syamsudin di tahu 1984. Ketika itu sudah diketahui pemuda yang lulus SLA tahun 1984 itu menderita endoftalmi. Waktu itu masih tingkat dini, walau korneanya sudah terkena dan jarak penglihatannya cuma tinggal tiga meter. Tapi ketika masih dalam perawatan, pemuda itu tak kembali kerumah sakit. Juni lalu ia kembali dan seluruh bola matanya sudah penuh nanah. "Sebelah matanya tidak berfungsi lagi, dan demi keselamatannya tak ada pilihan lain kecuali bola matanya harus dibuang," tutur dr. Husaeni. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Sukabumi, dr. Sumedi, menguatkan pendapat rekannya. Menurut Sumedi, dalam kasus gawat darurat izin operasi tidak selalu diperlukan. "Kami memang jadi serba salah menghadapi pasien demikian, operasi memang memerlukan izin, tapi bila izin bertele-tele, dan pasien meninggal kami juga yang dipersalahkan," katanya. Namun, Sumedi mengutarakan sudah mengirimkan berkas kasus ini ke IDI Pusat. Ketua Umum IDI Pusat dr. Kartono Mohamad ketika dihubungi mengakui sudah mengetahui kasus operasi mata di Sukabumi itu. "Dari sisi medis atau secara kedokteran, menurut saya, sudah betul, nggak ada kesalahan," ujarnya. Dan soal prosedur izin, menurut Kartono, bila Muhidin sudah dewasa, pada dasarnya tidak lagi diperlukan izin dari orangtuanya. Dalam kasus gawat darurat, Kartono berpendapat memang ada dilema. "Ini terjadi bukan cuma di Indonesia, di luar negeri lebih banyak," katanya. Dokter sering kali sadar bisa menghadapi tuntutan, tapi kalau taruhannya nyawa, "tak mungkin membiarkan pasien," kata Ketua IDI itu lagi. Akhirnya, keluh Kartono, pasien selamat tapi imbalannya tuntutan. Sementara itu, seorang ahli hukum yang tak mau disebutkan namanya mengutarakan, dalam hukum, batas usia dewasa memang tidak seragam. Ketentuan dalam hukum pidana dan perdata berbeda. Namun, dalam kasus operasi mata di Sukabumi, ahli hukum itu berpendapat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sebaiknya dipegang. Bila Muhidin memang berusia 20 tahun, ia bisa dikategorikan belum dewasa. "Menurut KUH Perdata pasal 330, seseorang dianggap dewasa pada usia 21 tahun," kata ahli itu. Di bawah usia itu, orangtua bisa membatalkan semua tindakan hukum yang dilakukan anaknya. "Memberi persetujuan operasi adalah tindakan hukum," ujar ahli hukum. Bila yang dimasalahkan izin operasi, nanti di persidangan akan terbukti yang mana yang benar. Sebab, penggugat, dalam hal ini Mamun, juga punya kewajiban membuktikan anaknya memang benar-benar 20 tahun. "Persidangan 'kan belum mulai karena Ketua Majelis benar, dalam perkara perdata, biasanya terlebih dahulu disarankan jalan damai," kata ahli itu. Jis., Laporan Hasan Syukur (Bandung) & Gatot Triyanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini