Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sawerigading dan tiga desa Pinisi

Punggawa, sawi, sambolu, para pelaut aru, tana beru & tanjung bira sebagai pelestari pinisi, dikontrak saweri gading untuk membuat perahu layar mesin. dalam mengubah ritme irama hidup pelestari pinisi.

11 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI, selain pinisi itu telah dengan gemilang mencapai Vancouver, kenyataan bahwa perahu tersebut masih dibuat dengan sosok tujuh layar dan dua tiang, serta diusahakan untuk mempertahankan keanggunannya, yang merupakan penampilan budaya penting buat dicatat. Hingga sepuluh tahun lampau, para punggawa, sawi, sombalu dan para pelaut di Ara, Tana Beru, dan Tanjung Bira mengira bahwa sosok itu adalah sosok yang sudah mencapai puncak kesempurnaan. Betapa tidak! Dengan keanggunan dan perimbangan yang pas, dengan dukungan kayu bitti dan kayu bayam, yang mereka dapat lewat ritual khusyuk di tengah belantara, perahu pinisi itu selama berabad telah melaksanakan misinya dengan berjaya. Sebagai kapal perang Kerajaan Gowa, sebagai pengangkut para pasompe, migran, Bugis ke Sumatera dan Semenanjung Melayu, dan sudah tentu pula sebagai perahu pengangkut barang dagangan antarpulau. Maka, para tukang ahli pembikin kapal dari Desa Ara, para pemilik kapal dan galangan di Tana Beru, dan para pelaut di Tanjung Bira, mungkin percaya bahwa mereka yang tinggal di ketiga desa itu (seperti dikatakan oleh mitos) memang telah dipesan dan dikontrak oleh pahlawan budaya Sulawesi Selatan, Sawerigading, untuk menjadi pelestari perahu pinisi tersebut. Dan, bukan desa-desa lain di Sulawesi Selatan, yang mendapat mandat keramat itu. Sampai pada suatu masa, ketika para pedagang yang berkepala dingin dan tidak kenal mitos Sawerigading itu dengan kurang ajarnya berteriak: pinisi tidak memenuhi syarat lagi! Para pedagang yang memuat dan memunggah dagangan itu berhitung dengan cipoa mereka, dan melihat keuntungan mereka semakin tipis saja. Itu karena jalannya perahu pinisi tidak dapat diperhitungkan dengan tepat, kedatangannya di pelabuhan tujuan selalu terlambat. Angin barat, angin timur, jalan zig-zag terlalu menguasai laju sang pinisi. Maka, dengan sebal para pedagang itu memutuskan: membikin pinisi sendiri plus mesin! Parapunggauwa dan sawi di Desa Ara pada terheran-heran, kemudian juga sempat bersungut-sungut, mendapat pesanan pinisi gaya baru, yang kemudian disebut P(erahu) L(ayar) M(esin) itu. Sosoknya jadi kurang cantik, pantatnya jadi kebesaran, karena mesin yang sekian PK itu. Kayu bitti dan kayu bayam semakin tidak terpakai. Cukup kayu besi dan kayu ulin. Apa boleh buat, pesanan membuat PLM itu berdatangan terus dan semakin sedikit saja orang memesan pinisi gaya tradisi. Ternyata juga para sombalu tradisi kemudian ikut-ikutan memesan PLM ke Ara dan Tana Beru. Habis, kata mereka, kalau tidak ikut bisa-bisa tidak ada orang mau memunggah barang ke pinisi kami. Maka, anak-anak yang dibonceng ayah mereka pada pukul lima pagi di pantai Losari, di Kota Ujungpandang, tidak dapat lagi melihat perahu pinisi beriringan berangkat: anggun, gagah, dan para kelasinya yang mengibarkan layar tampak remang-remang kena sisa cahaya bulan. Di pelabuhan Makassar, di pelabuhan Sunda Kelapa, sekarang bersandar PLM-PLM. * * * Mungkin Sawerigading telah mengubah mandatnya. Diberikannya hak kepada tangan para pedagang untuk ikut menggebrak kemapanan perahu pinisi. Maka, begitu perluasan mandat turun, guncanglah keserasian yang mapan dari ketiga desa penerima mandat itu. Para sombalu dan bantilang tidaklah mesti berada di Tana Beru. Para tukang dari Ara semakin mobil dipesan untuk mengerjakan PLM, di mana dan kapan saja. Dan, Tanjung Bira, desa para pelaut pinisi, tidak mengenal lagi masa angin timur sebagai masa lengang, karena pelautnya sedang berlayar, dan masa angin Barat yang ramai karena para pelaut pada berdatangan pulang untuk bercuti di desa. PLM telah mengubah ritme, irama hidup ketiga pasangan "mistis", pelestari pinisi itu. Warga ketiga desa, yang telah ditunjuk Sawerigading untuk menjadi trio yang mapan dalam melestarikan pinisi, kini telah menjadi spesialis-spesialis yang bergerak ke mana-mana. Phinisi Nusantara, yang sekarang bersandar di dermaga Expo Vancouver, adalah suatu PLM. Sebagian besar awak kapalnya mungkin para pelaut dari Tanjung Bira, para tukang pembikinnya adalah punggawa dan sawi dari Desa Ara, meskipun sombalu-nya bukan Daeng dari Tana Beru melainkan pemerintah RI. Tidak dilaporkan apakah para punggawa dan sawi itu masih bersungut waktu mendapat pesanan membuat suatu PLM, yang tidak seanggun pinisi klasik, atau awak kapalnya merasa kurang sreg menjalankan pinisi bermesin. Kenyataannya PLM itu toh diusahakan mendapatkan sosok yang keanggunannya mendekati pinisi klasik: tiangnya dua, dan layarnya tetap berjumlah tujuh. Kenyataan yang lain: kayu itu bukan lagi bitti yang sakral melainkan ulin yang lebih kuat, mesin yang dipasang besar dengan ditambah alat komunikasi yang sangat canggih. Bersungut atau tidak, sreg atau kurang sreg, Pinisi Nusantara telah dengan selamat dilayarkan menyeberangi Samudra Pasifik yang mahaluas. Pinisi telah diterima menjadi warga armada pengarung samudra besar. Barangkali peristiwa ini adalah contoh soal pelaksanaan pengembangan teknologi tradisi menuju teknologi maju yang berkesinambungan. Suatu pengembangan teknologi maju yang mungkin tidak tergesa-gesa dan sangat mementingkan penguasaan dan keyakinan akan idiom budaya sendiri. Suatu strategi yang tidak kesusu meloncat membeli (bukan menguasai) teknologi tinggi melainkan memantapkan dulu akar penguasaan teknologi yang dikembangkan bersama budaya sendiri. Baru kemudian diharapkan terjadi suatu terobosan kreatif. Meskipun tidak tampak spektakuler, toh peralihan dari pinisi lama ke pinisi mesin dapat juga dikatakan sebagai suatu mula terobosan. Barangkali itu pula yang selalu dimaui Sawerigading dari atas sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus