Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus penganiayaan yang dialami oleh selebgram sekaligus mantan atlet anggar, Cut Intan Nabila, oleh suaminya baru-baru ini menambah daftar panjang kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia. Melihat hal itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pun angkat bicara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan memandang kasus KDRT terjadi karena cara pandang laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan dengan kuatnya perspektif patriarki dalam budaya Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"KDRT bukan persoalan ekonomi, bukan persoalan kelas, tetapi persoalan cara pandang laki-laki terhadap perempuan. Perspektif patriarki yang masih sangat kuat dalam budaya Indonesia," kata Anggota Komnas Perempuan, Imam Nahei, saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024, seperti dikutip dari Antara.
Imam menyebut bahwa budaya patriarki meletakkan perempuan sebagai obyek nasehat, obyek moralitas, obyek seksualitas, sehingga membuat perempuan rentan menjadi korban kekerasan ketika dinilai oleh laki-laki tidak sejalan dengan perspektif laki-laki itu.
"KDRT yang menimpa IN semakin meneguhkan fakta bahwa KDRT bisa terjadi pada siapa saja dan dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang-orang yang berpendidikan atau ekonomi menengah," ujar Imam Nahei menyinggung kasus yang terungkap setelah mantan atlet Anggar Intan Nabila mengunggahnya di media sosial Instagram pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Dalam penanganan kasus ini, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bogor juga telah berkoordinasi dengan Kepala Unit PPA Kepolisian Resor (Polres) Bogor terkait penjangkauan dan proses visum korban dan anaknya. Selain itu, Dinas PPPA Kabupaten Bogor juga saat ini tengah melakukan pendampingan di Polres Bogor.
Dikutip dari laman resmi Komnas Perempuan, sebenarnya Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sejak 16 tahun lalu dan telah diimplementasikan dalam pencegahan dan penanganan perempuan korban kekerasan.
Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan bahwa UU ini merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kendati demikian, Komnas Perempuan pada 2020 mencatat bahwa KDRT atau Ranah Personal masih menempati pada urutan pertama dengan jumlah 75,4 persen dibandingkan dengan ranah lainnya. Adapun bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang tertinggi adalah kekerasan fisik berjumlah 4.783 kasus.
Apa Saja Hak Korban KDRT?
Tingginya angka kasus KDRT di Indonesia hingga saat ini masih terus menghantui masyarakat, terutama para perempuan. Untuk itu, perlu diketahui bahwa Pasal 10 UU PKDRT menyebutkan korban KDRT memiliki hak-haknya sebagai korban, di antaranya:
- Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
- Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; - Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- Pelayanan bimbingan rohani.
ANTARA | KOMNAS PEREMPUAN
Pilihan Editor: Media Sosial Bantu Korban KDRT Lebih Terbuka