Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Hak Untuk Mati

Pengobatan terhadap pasien-pasien yang sekarat diperdebatkan. Euthanasia, dapat secara aktif atau pasif, mulai banyak mendapat dukungan di negara maju, termasuk pengadilannya.

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pasien di sebuah rumah sakit swasta kelas utama di Jakarta, pertengahan tahun 1976, meninggal dunia setelah dirawat 9 bulan. Selama dalam perawatan boleh dikatakan dia tak sadarkan diri Sanak-keluarga sekuat-kuatnya menanggung ongkos perawatan yang tidak sedikit. Rupanya mereka percaya bahwa ikhtiar para dokter tentu akan berhasil. Meskipun kemudian para dokter ternyata tak bisa menolong, dan penyakitnya tak berhasil ditemukan sampai si pasien menghembuskan nafas penghabisan. Belum seorang pun di antara dokter-dokter kita nampaknya yang berminat untuk membicarakan apakah penderitaan berkepanjangan serupa itu perlu diakhiri atau tidak. Tapi untuk mati sekarang ini jadi bahan pembicaraan yang hangat di antara para dokter luar negeri. Di bawah ini sebuah bahan dari International Herald Tribune, 26 Januari, tentang masalah tersebut:  Seorang dokter Afrika Selatan dengan keyakinan penuh telah mengakhiri penderitaan ayahnya yang terserang kanker dengan injeksi obat bius.  Di Denmark seorang dokter menolak untuk memadamkan mesin alat penolong bagi seorang pasien yang otaknya sudah tak bekerja, karena dia tidak menyetujui sikap mengakhiri hidup seseorang karena alasan kemanusiaan.  Seorang kepala rumahsakit di Zurich membiarkan 9 orang pasien yang sudah sekarat, mati perlahan-lahan dengan mengurangi kalori dalam makanan yang dimasukkan ke dalam tubuhnya lewat slang ke pembuluh darah. Ketiga peristiwa tadi menunjukkan perbedaan pandangan para dokter dalam menghadapi persoalan hak untuk mati bagi pasien yang gawat. Seorang ahli dari Irlandia menggambarkan pengobatan terhadap pasien-pasien sekarat sebagai satu daerah yang samar-samar dalam kode etik kedokteran. Masyarakat di negara-negara maju di Eropa menyokong hak untuk mati tadi. Negara seperti Denmark dan Swedia misalnya sedang didesak masyarakat untuk mensahkan hak untuk mati. Tekanan-tekanan itu datang dari organisasi yang menyebutkan dirinya "Wasiat Hidupku" di Denmark. Di Swedia organisasi serupa menyebutkan diri "Hak Akan Kematian Kami". Orang Kementerian Kehakiman Swedia mengatakan: Orang-orang sudah memikirkan masalah hak untuk mati ini. Mereka takut kalau satu ketika mereka akan mati dengan menyedihkan di rumahsakit". Ribuan orang di negara itu telah menyampaikan permintaan untuk mati tanpa penderitaan kalau mereka suatu ketika sakit kronis dan tak mampu berbicara lagi. Sementara itu di Kopenhagen sekitar 2000 orang yang bergabung dalam organisasi "Wasiat Hidupku" telah membubuhkan tandatangan yang meminta hak untuk mati kepada Kementerian Kehakiman. Dan dari hari ke sehari jumlah itu terus bertambah. Dalam sebuah pemilihan pendapat yang dilaksanakan baru-baru ini di negeri Belanda ternyata 61%, dari suara yang masuk menyetujui disahkannya euthanasia (mengakhiri hidup seseorang dengan alasan kemanusiaan) Di Australia 71% dan di Perancis 92%. Jederal Franco Di antara mereka yang menyetujui masih juga tersisa persoalan. Misalnya: Apakah euthanasia yang hisa digunakan? Yang aktif (seperti injeksi mematikan) atau yang pasif seperti menghentikan sistim-sistim pertolongan? Kapan hidup berakhir dan siapa yang menentukan. Prof Karl Hoermann dosen untuk moral agama Katolik di Universitas Wina mengemukakan pendapatnya: "Kami menolak euthanasia aktif dalam menghabisi riwayat seseorang dengan injeksi membunuh yang dilakukan oleh seorang dokter". Dalam kenyataannya euthanasia aktif sangat sedikit yang dilaporkan. Yang umum adalah cara mengakhiri hidup seseorang dengan menghentikan mesin-mesin penolong. Tuntutan terhadap hak untuk mati mungkin sudah setua sejarah pengobatan ketika orang menemukan penderita yang tak tersembuhkan. Tetapi peristiwa Karen Ann Quinlan di New Jersy, Amerika Serikat, agaknya merupakan permulaan penting. 15 April 1975 gadis berusia 21 itu tergeletak tak sadarkan diri di rumahsakit. Dia menderita kerusakan otak yang kemungkinan sebagai akibat dari minum pil penenang yang tercampur dengan alkohol. Tujuh bulan dia sekarat. Tak bisa buka mulut untuk bicara. Bernafas tak bisa, karena itu dia mendapat alat pernafasan buatan. Tak tahan melihat penderitaan anak pungutnya, Joseph Quinland, meminta supaya para dokter mematikan alat pernafasan dan mesin-mesin pembantu lamnya. "Saya ingin dia hidup kembali secara alami, seperti kemauan Tuhan", kata bapak anak itu. Tetapi para dokter tak sampai hati melakukannya. Mereka menolak. Lantas Joseph Quinland berangkat ke pengadilan. Ia minta hakim supaya meluluskan permintaannya. Hakim akhirnya memberikan hak itu kepadanya sesudah melalui persidangan yang hangat dan ramai. Alat pernafasan dan mesin-mesin pembantu hidup Karen lantas dihentikan. Keajaiban kedua terjadi lagi pada dirinya. Begitu semua alat-alat itu dimatikan dia bukannya menemukan ajal. Dia kini malahan bisa bernafas tanpa bantuan apa pun. Langkah-langkah dokter di Inggeris tampaknya lebih "maju". "Di sini para dokter akan segera menghentikan bantuan pernafasan begitu ada persetujuan dari keluarga pasien. Tak perlu memperpanjang umur orang melewati batas", kata seorang dokter yang juga bekerja di bidang pertahanan. "Anda tidak membunuh seseorang. Anda hanya menghentikan hubungan antara alat-alat pembantu dengan sang pasien", kata yang lain pula. Jenderal Besar Fransisco Franco ari Spanyol barangkali adalah contoh paling bagus dari euthanasia di Eropa, Penderitaan Franco selama 5 minggu pada tahun 1975 akhirnya menggoncangkan tuntutan masyarakat ketika ke-30 lebih dokternya memutuskan untuk mematikan mesin yang memperpanjang hidupnya. Mereka mencabut mesin itu katanya, karena dengan alat itu Franco bukannya tertolong, malahan menambah berat penderitaannya. Franco meninggal keesokan harinya. Tapi siapakah yang menentukan keputusan tindakan itu? Boerje Langton, Kepala Dewan Hukum Nasional di Swedia, mengatakan: "Dokter akan meneruskan pengobatan sejauh masih ada harapan. Kalau segalanya sudah dikerjakan dan pengobatan berikut ternyata tak berguna, dialah yang akan menentukan apakah pengobatan tetap diteruskan atau dihentikan. Dokterlah yang menentukan, bukan siapa-siapa". Lain lagi pandangan Francis Zacharias, Ketua Ikatan Dokter Denmark. "Ikatan dokter percaya bahwa manusia haruslah diizinkan untuk menentukan nasibnya sendiri tentang berapa lama dia terus menanggungkan bantuan pengobatan", katanya. Dicampur Madu Sementara itu di Belgia para dokter dituntun oleh kode etik yang ketat. Di situ disebutkan, kalau seorang pasien sudah tak sadarkan diri, dan pengobatan tak memberikan harapan lagi, dengan persetujuan sanak-famili mereka boleh menghentikan mesin-mesin penolong. Tetapi secara pribadi dokter-dokter di Belgia mengaku bahwa mereka melanggar kode etik tersebut. Kata seorang: "Keputusan tersebut sangat teknis. Saya memang sudah dilatih untuk masalah itu". Ia mengaku bahwa dia tidak meminta nasihat dari famili si pasien. Katanya: "Sanak famili punya problem rupa-rupa yang harus dipecahkan. Dan tidaklah baik untuk membebani mereka dengan persoalan tekhnis lagi di mana mereka tidak pernah dilatih untuk menjawabnya". Tentang soal kapankah tindakan euthanasia itu dikerjakan, Dr Anntti Isatalo, Kepala Dewan Kesehatan Nasional Finlandia, beranggapan bahwa "pengobatan harus dihentikan kalau seseorang sudah berada dalam keadaan di mana aktifitas otak sudah berhenti". Di Inggeris pun "mati otak" itu jadi patokan untuk menjalankan euthanasia. Malangnya, para dokter di Eropa yang memberikan hak mati kepada para pasiennya tak luput juga dari tuntutan salah obat dan pembunuhan. Masih mujur bahwa di negara-negara tadi peristiwa salah obat amat sedikit kalau dibandingkan dengan Amerika Serikat. Dan dalam tuntutan membunuh, meja hijau nampaknya memberikan simpati kepada para dokter. Seperti peristiwa di Zurich yang diceritakan terdahulu: kepala rumahsakit tersebut tak sempat diadili. Dia hanya dipecat dan tak lama kemudian direhabilitir. Begitu juga dengan kejadian di Liege, Belgia, tahun 1962. Seorang ibu berusia 25 tahun membunuh anak cacadnya dengan memberikan obat bius yang dikocok dengan madu. Anak itu cacad, karena ketika dia dikandung ibunya meminum Thalidomide. Dokter yang menuliskan resep Thalidomide, suaminya, ibunya dan kakaknya yang juga terlibat dalam tuduhan pembunuhan ternyata dibebaskan oleh 12 hakim yang memeriksa perkara tersebut. Kemudian di tahun 1973 di Leeuwarden, Belanda, seorang dokter wanita Geertruida van Boven dituduh telah membunuh karena memberikan morpin dosis tinggi atas permintaan ibunya sendiri. Pengadilan hanya menjatuhkan hukuman satu bulan penjara dalam masa percobaan 1 tahun. Juga dokter di Afrika Selatan yang memberikan injeksi obat bius dosis tinggi kepada ayahnya yang menderita kanker yang dituntut karena membunuh, atas permintaan Mahkamah Agung dibebaskan selama padilan masih berlangsung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus