SEKARANG Pak Atung takut, ya? Bilang aja dari Joni", begitu
pesan telepon dari seberang sana. Lalu terdengar tangkai
teleponnya diletakkan.
Yang menyebut dirinya "Joni" tak mau menjelaskan identitasnya.
Ia malah membentak-bentak penerima telepon di rumah Laksamana
muda Atung Sudibya tanggal 7 Januari yang lalu.
Itulah sebagian gangguan yang ditujukan kepada keluarga sang
Laksamana setelah anaknya, IMS disidangkan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat awal bulan ini. IMS dituduh menembak Bambang Heru
sampai meninggal.
Gangguan lain yang dialami keluarga tersebut ada juga, misalnya
beberapa sepeda motor anak-anak muda mondar-mandir secara
demonstratif di depan rumah AS di Jalan Sumenep. Bagaimana
perasaan AS? "Saya hanya khawatir, mereka punya kawan banyak",
katanya kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO minggu lalu. Yang
dimaksud "mereka" tentu saja teman-teman korban, Bambang Heru.
Pada hari pertama bulan ini IMS diajukan Jaksa Anton Suyata SH
kepada majelis hakim yang diketuai TM Abdullah SH dengan anggota
Ny. Kustrini SH dan Hargadi SH. Terdakwa, yang 20 Januari lalu
berulangtahun ke-21, didampingi pembela Mr. Tjiam Djoe Kiam SH
dan drs. Soemadji. IMS mengakui menguasai senjata api secara
tidak sah. Namun ia menolak tuduhan "akibat kelalaiannya
menyebabkan kematian orang lain". Untuk menjawab tuduhan yang
disebut belakangan itu IMS memerlukan waktu agak lama.
Hitam Mengkilap
Sidang yang dihadiri pengunjung cukup banyak itu dimulai dengan
memeriksa IMS tentang awal mula penembakan di Jalan Pramuka.
Menurut IMS beberapa saat sebelum terjadi peristiwa itu, ia
dengan Iis dan Yus keluar dari Jalan Sumenep menuju rumah
kawannya, Uce. Di sekitar Tebet mobil Holden yang mereka
tumpangi hampir menyerempet dua pejalan kaki, antara lain
Bambang Heru. Pejalan kaki ini marah dan mendepak mobil dan IMS
pun marah. Kericuhan bisa diatasi saat itu.
Tapi ketika sampai di ujung Jalan Tambak, ke arah Jalan
Proklamasi, IMS dkk bertemu dengan jip Toyota. Dalam jip itu
terdapat beberapa pemuda termasuk Bambang Heru. Jip melintangi
Holden. Sejak itu terjadi kejar mengejar ke arah Jalan Pramuka.
Jip yang ada di belakang membunyikan sirene. Akhirnya Holden
terkejar juga. Bukan karena sirene, tapi lantaran terhalang
lampu merah di perempatan Jalan Pramuka. Para penumpang jip
turun dan sebagian memecahkan kaca Holden. Menurut penglihatan
orang-orang di Holden di antara penumpang jip ada yang berbaju
loreng dan ada pula yang membawa benda hitam mengkilap, seperti
pistol.
IMS yang duduk di sebelah kiri belakang menggunakan tangan
kirinya untuk mencegah agar pintu tidak dibuka dari luar.
Sementara itu tangan kanannya bersandar pada jok depan. Di
tangan kanan itu sudah ada pistol kaliber 22 ukuran 6,35
milimeter. Sudah dikokang. Senjata ini, kata IMS, dimaksud untuk
menakut-nakuti saja. Tanpa disadarinya pistol itu meletus dan
mengenai salah satu penumpang jip, yang ternyata Bambang Heru.
Para penumpang Holden berlarian dan orang-orang di jip
mengangkut Bambang ke Rumah Sakit Dr. Tjipto Mangunkusumo. Namun
malam itu juga Baunbang sudah tidak bisa bernafas lagi.
Pistol itu didapat IMS dalam tas ibu tirinya. Sedianya IMS akan
meminjam saputangan ayahnya yang ada di lemari. Seperti biasa
IMS sering pinjam dasi atau saputangan ayahnya. Sang bapak
memberikan kunci lemari. Ketika IMS mengambil saputangan,
terlihat olehnya pistol di dalam tas yang tidak terkunci. Itu
sekitar 2 Nopember tahun lalu, 2 minggu sebelum terjadi
peristiwa di perempatan Pramuka. Selama 2 minggu itu pistol
selalu disimpan IMS. Mengapa? Katanya takut kalau ada gangguan
di jalan.
"Memang selama itu, sekitar 2 minggu, saya tidak memeriksa
senjata saya itu", ujar Laksamana Muda AS kepada TEMPO. Tapi ia
kemudian berkata: "Saya punya super keyakinan bahwa ada sesuatu
yang memaksa anak saya berbuat begitu". Dalam sidang pengadilan
memang terungkap, bahwa para penumpang jip secara paksa menarik
pintu Holden beberapa kali dan memecahkan kaca jendela.
Untuk mendapat keterangan dari IMS terpaksa hakim ketua
berulang-ulang menyuruh IMS bicara keras-keras sebab suara anak
muda ini pelan, apalagi pada sidang pertama belum digunakan
pengeras suara. "Ya, memang begitu itu anak saya", kata AS.
Barangkali tanpa bermaksud melebih-lebihkan anaknya, AS
mengatakan, "saya tidak ada kesulitan mengurus anak saya itu".
Maksudnya IMS termasuk tidak banyak tingkah. Tak pernah masuk
"gang" yang dulu banyak ditemukan di Jakarta. Masa belajarnya di
SLTP, SLA maupun di Universitas sekarang berjalan normal saja.
Ia punya sedikit hobi bermain gitar.
Pundi Pecah
Belakangan ini IMS suka bermain ski air, seperti kakak dan
adik-adiknya. Dari ibu kandungnya, IMS punya seorang kakak dan 3
adik. Setelah berputera 5 orang, ibu IMS meninggal dunia 18
Nopember 66, hampir tepat 10 tahun ketika IMS terlibat keributan
maut di Pramuka.
"Bagai pundi pecah, perasaan saya", kata AS mengenang
pertemuannya dengan anaknya di Komdak Metro Jaya 17 Nopember
lalu. Siang itu IMS dengan merangkak-rangkak menghindar ditemui
orangtuanya. IMS sambil menangis juga minta jangan dianggap anak
lagi. Tapi berkat pengertian secukupnya IMS mau juga diajak
bicara dengan ayahnya.
AS juga sangat terharu karena usaha IMS yang ingin melepaskan
ayahnya dalam persoalan senjata. Di depan polisi dalam
pemeriksaan pendahuluan, IMS mengatakan bahwa pistol dibelinya
di Jalan Sabang dengan harga Rp 70 ribu. "Memang saya pernah
memberikan uang sebanyak itu, tapi untuk bayar uang kuliah",
kata AS. Si ayah kemudian menyadarkan IMS bahwa bila ia
berbohong malah jadi repot. Karena itulah IMS lalu buka kartu
bahwa pistol itu memang milik ayahnya.
Banyak Haji
Setelah itu IMS berada di tangan jaksa dan akan ditahan di
Lembaga Pemasyarakatan Khusus Cipinang. Waktu itu sudah di luar
jam kerja dan mobil kejaksaan tidak ada. Disepakati oleh jaksa
dan AS bahwa IMS dibawa dengan mobil AS saja. "Saya yang
mengantarkannya ke Cipinang. Bagaimana itu . . . saya
menyerahkan anak ke penjara", kata AS.
Tapi mungkin kedatangan AS ke Cipinang ada juga baiknya. Tidak
seperti biasa di mana tahanan baru diplonco ramai-ramai, IMS
malam dijenguk kawan-kawan sesama tahanan ketika ia sakit akibat
jatuh di kamar mandi. Tapi sikap teman-teman IMS di Cipinang
mungkin juga karena pembawaan IMS sendiri, yang menurut ayahnya
bisa bergaul dengan siapa saja.
Teman-teman dari Dewan Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia
mengira bahwa yang menembak adalah IMS lain. Di UKI ada 2 nama -
dengan kepanjangan yang sama - tapi tindak-tanduk keduanya jauh
berbeda. Maka banyak yang heran ketika tahu bahwa IMS-lah yang
tersangkut.
Setelah menyebut bahwa peristiwa yang menyangkut IMS
"benar-benar naas". AS mengatakan bahwa ia "kini tinggal
berdoa". Katanya lagi: dijatuhi hukuman, yaaa, mudah-mudahan
tidak seberat yang dituduhkan kepadanya".
Yang berdoa bukan hanya keluarga AS, tapi juga kenalan-kenalan
dari Bogor, Serang dan daerah-daerah lain. Malah banyak haji
yang sejak peristiwa itu selalu berdoa di Jalan Sumenep. Mereka
juga rajin menghadiri sidang dan duduk di barisan paling depan.
Sambutan itu datang secara spontan dari mereka yang pernah
ditolong AS dan ayah AS almarhum.
Risiko senjata jatuh ke tangan orang lain, termasuk anak sudah
dalam perhitungan AS. Katanya, ia selalu cermat dalam banyak
hal. Sayang ia pernah khilaf dan kecolongan. Senjatanya sempat
dipegang IMS. Dan kemudian senjata itu merenggut nyawa orang
lain. AS kini bernada pasrah. Selama dinon-aktifkan dari
jabatannya, AS lebih banyak mengurus kepentingan anaknya. "Lha,
wong anak" (habis anak sih), katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini