SEBUAH istilah yang amat populer pada tahun-tahun
post-Gestapu PKI ialah "mengamankan" atau "diamankan". Arti
resmi perkataan itu sulit diketahui dengan persis. Salah satu
sebabnya, karena penjelasan mengenai arti tersebut tidak
terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta.
(Cetakan terbaru, baru terbit 1976, jadi kata "diamankan" harus
diperiksa pada terbitan lama).
Yang mengherankan ialah bahwa siapapun yang diduga atau merasa
akan "diamankan" segera merasa diri tidak aman. Perkataan itu
seperti mengalamatkan sebuah ancaman rahasia yang mengerikan.
Sejak tahun lalu - 1976 - menjadi santerlah istilah
"pembocoran". Arti yang dapat disimpulkan dari konteks pemakaian
kata itu ialah hilangnya sebagian dana di tengah jalan. Dana
tersebut sampai ke alamatnya dalam jumlah yang sudah (jauh)
lebih kecil dari jumlah seharusnya. Kurang jelas juga apa
tepatnya perbedaan pembocoran dan korupsi.
Minggu-minggu ini diperkenalkan kemasyarakat istilah
"pemantapan" yang sebenarnya berarti tindakan-tindakan kampanye
Pemilu, yang diadakan sebelum tanggal resmi dimulainya kampanye,
yakni 24 Pebruari 1977. Aturan permainan ternyata takdigubris
dan sebagai akibatnya tentu saja timbul kebingungan dan
kekacauan. Dengan mengadakan "pemantapan" keadaan sosial-politis
malah menjadi kisruh dan tidak mantap.
***
Berhalus-halus dalam bahasa kiranya bukan monopoli kebudayaan
bangsa kita. Dalam bahasa lain pun konon dikenal sopan santun
dan berkata-kata. Pertanyaan seperti "Darf ich Ihnen helfen?"
(bolehkah saya membantu anda?) sebenarnya berarti "apa keperluan
saudara di sini?". Sekretarese-sekretarese di kedutaan-kedutaan
asing setiap hari berkotak-katik dengan kalimat seperti
"Anything I can do for you, sir?": saudara perlu apa atau siapa?
Secara ringkas, eufemisme adalah kebiasaan yang jamak.
Dalam eufemisme kenyataan dikemukakan tidak dalam bentuk yang
polos atau telanjang tetapi diberi "berbaju". Kesopanan sedapat
mungkin diusahakan agar supaya lawan bicara tidak tersinggung
atau merasa diperlakukan kurang patut. Akan tetapi tidak ada
kontradiksi (pertentangan) antara kata dan kenyataan.
Kontradiksi baru terjadi kalau kata itu menyatakan, bahkan
mengakibatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
dinyatakan oleh kata itu. Dengan mengatakan "mengamankan" orang
jadi menggigil ketakutan. Atau tindakan-tindakan yang bersifat
mengacau, menimbulkan onar dan mengakibatkan keadaan tak mantap,
malah dinamakan "pemantapan".
Kalau orang berusaha memperhalus pengungkapan suatu kenyataan.
maka sebabnya barangkali karena kenyataan tersebut akan terasa
kasar atau jorok bila disebut secara langsung. Akan tetapi,
kalau orang malah menyembunyikan kenyataan dalam kata-katanya,
maka apa kiranya sebab-musababnya?.
***
Ketika iseng-iseng membicarakan soal ini, seorang mahaasiswa
linguistik dengan bersemangat coba menjelaskannya dengan apa
yang dinamakan sendiri "teori mini". Eufemisme dan eufemisme
ada dua. Dalam hal pertama, dia berarti alat yang dipakai
manusia untuk memperhalus sesuatu lewat kata-kata. Dalam hal
kedua, ia berarti alat yang dipakai manusia untuk
menyembunyikan sesuatu melalui kata-kata. Yang pertama
disebutnya eufimisme bahasa. Yang kedua eufimisme politik.
Motifnya pun berbeda. Dalam eufimisme bahasa, kepentingan orang
lainlah yang utama (agar lawan bicara tidak tersinggung atau
tersudut). Dalam eufimisme politik kepentingan dirinya yang
utama (agar si pembicara tidak bisa diklaim atau dipersalahkan).
"Apakah itu ada hubungannya dengan teori Ruth Benedict tentang
shame culture dan guilt culture" , ada yang tiba-tiba
memancing diskusi.
" Sorry saja, saya bukan antropolog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini