Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hanya sedikit gelandangan sejati

Gelandangan perempuan di semarang dikenal dengan nama keredandan, karena malam harinya bersolek menjadi wts. untuk menanggulangi masalah gelandangan pemda mengusahakan 3 buah panti asuhan.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG dimaksud dengan rendan, di Semarang, adalah keredandan --perempuan gelandangan yang malam hari bersolek menjadi kupu-kupu. Mereka berteduh siang hari di bayangan pohon dalam taman kota, di bawah jembatan, di pinggir sungai, di gerbong kereta api. Kalau saatnya benar-benar tiba untuk tidur, mereka menutup malam di serambi pasar atau emper-emper toko. Di antaranya ada yang menjadi berwajah kacau dipatuk oleh sakit kelamin, atau terlanjur bunting. Pengalaman yang sudah-sudah, kalau ada yang kebetulan kepergok patroli pada saat-saat melahirkan, langsung dikirim ke Rumah Sakit. Bahkan-kalau hanya sekedar sakit, petugas poliklinik dekat jembatan Kali Berok sebenarnya sudah mengundang mereka untuk berobat secara prodeo. Para gelandangan yang mengemis, tampak dibelenggu oleh pembagian teritorial dengan cukup ketat. Tak sempat dijajaki apakah memang ada tangan yang mengatur di belakangnya, pengemis-pengemis itu hanya berani beroperasi di "sektor" masing-masing. Seorang penderma yang agak awas akan segera dapat mengenali, bahwa yang datang ke rumahnya atau berpapasan di lorong kebanyakan orang-orang yang sama. Tiga atau lima hari sekali mereka hampir dapat dikatakan secara tetap muncul di tempat-tempat yang sama. Untuk sementara bisa dikatakan para gelandangan tersebut -- yang menurut Rusdi Darmosuwit dari Kantor Sosial berjumlah 2000 orang, di luar yang sempat ditampung dalam Panti Asuhan -- menpunyai rumah tinggal di tempat asal mereka. Mereka muncul di setiap pojok Semarang selain karena pertama kali daerah mereka memang minus, juga karena tertarik gemerlapnya kota seperti diketahui. Misalnya untuk memiliki sebuah pesawat radio transistor meskipun ngumpetnya di kolongjembatan, sambil main judi kecil-kecilan atau menjadi tukang copet. Tak sulit untuk mencap mereka sebagai pemalas -- yang maunya kerja ringan asal bisa kirim makanan ke perutnya sehari itu. Boleh disebut 3 buah Panti Asuhan yang sedang bekerja memugar borok kota ini. Panti Persinggahan Marga Widodo, Wisma Asuhan Santoso dan Yayasan Sosial Sugiyopranoto. Yang disebut terakhir ini, biasa disebut YSS, dianggap paling serius usahanya. Kini menjadi kubangan 972 gelandangan dewasa (481 lelaki dan 491 wanita) dan 614 anak-anak (308 lelaki dan 306 perempuan). Dari pihak Depsos sendiri sudah tersedia Rp 400 juta untuk pembangunan Lokasi Rehabilitasi Gelandangan di desa Gemah-Sendangguwo. Proyek ini diharapkan rampung dan langsung bermanfaat akhir tahun ini juga. Sementara tahun lalu Kodya setempat telah menurunkan Rp 1,5 juta untuk pembangunan Panti Persinggahan, serta bantuan Rp 500 ribu untuk setiap Panti Asuhan. Ini menunjukkan bahwa kota memang ada juga usahanya untuk segera menghentikan perkembangan gelandangan. Para gelandangan kota Semarang, yang kebanyakan berasal dari Purwodadi pinggiran, Deluak, Boyolali dan Sala memang banyak yang memiliki surat jalan resmi dengan tujuan: mencari pekerjaan. Mereka yang hidup ditaman tidak jauh dari lokasi Berok misalnya, memang tak benar-benar hendak menjadi penghuni jalanan sampai mati. Di sana tampak seorang Basiran bersama keluarga yang hidup sebagai pemungut puntung rokok dengan pendapatan 3 sampai 4 ratus sehari. Selain pakaiannya beres, di desanya pun ia mempunyai keluarga dan rumah yang lumayan. Ia pernah ditampung di Barutikung -- kompleks rehabilitasi gelandangan 'Ampera' -- tetapi ngabur karena tak betah. Tetapi orang ini tampak punya rencana dan memelihara aturan keluarga. "Sebulan sekali kami pulang ke desa. Sebab kalau sampai 2 bulan kami tak pulang, orang tua kami terus mencari di Semarang", ujarnya dengan tenang. "Sejauh itu, menurut pendapat saya", kata Kusdi, "gelandangan bukan cara hidup yang sudah melembaga. Umumnya mereka terdesak hidup, tak tahu jalan pemecahannya. Masalahnya adalah kompleks. Usaha mengembalikan mereka membutuhkan waktu yang lama". Jadi masalahnya kompleks. Menanggulangi gelandangan bukan sekedar menghentikannya. Apalagi kalau desakan-desakan untuk menjadi gelandangan makin lama tidak semakin kecil, pak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus