YANG dimaksud dengan rendan, di Semarang, adalah keredandan
--perempuan gelandangan yang malam hari bersolek menjadi
kupu-kupu. Mereka berteduh siang hari di bayangan pohon dalam
taman kota, di bawah jembatan, di pinggir sungai, di gerbong
kereta api. Kalau saatnya benar-benar tiba untuk tidur, mereka
menutup malam di serambi pasar atau emper-emper toko. Di
antaranya ada yang menjadi berwajah kacau dipatuk oleh sakit
kelamin, atau terlanjur bunting. Pengalaman yang sudah-sudah,
kalau ada yang kebetulan kepergok patroli pada saat-saat
melahirkan, langsung dikirim ke Rumah Sakit. Bahkan-kalau hanya
sekedar sakit, petugas poliklinik dekat jembatan Kali Berok
sebenarnya sudah mengundang mereka untuk berobat secara prodeo.
Para gelandangan yang mengemis, tampak dibelenggu oleh pembagian
teritorial dengan cukup ketat. Tak sempat dijajaki apakah memang
ada tangan yang mengatur di belakangnya, pengemis-pengemis itu
hanya berani beroperasi di "sektor" masing-masing. Seorang
penderma yang agak awas akan segera dapat mengenali, bahwa yang
datang ke rumahnya atau berpapasan di lorong kebanyakan
orang-orang yang sama. Tiga atau lima hari sekali mereka hampir
dapat dikatakan secara tetap muncul di tempat-tempat yang sama.
Untuk sementara bisa dikatakan para gelandangan tersebut -- yang
menurut Rusdi Darmosuwit dari Kantor Sosial berjumlah 2000
orang, di luar yang sempat ditampung dalam Panti Asuhan --
menpunyai rumah tinggal di tempat asal mereka. Mereka muncul di
setiap pojok Semarang selain karena pertama kali daerah mereka
memang minus, juga karena tertarik gemerlapnya kota seperti
diketahui. Misalnya untuk memiliki sebuah pesawat radio
transistor meskipun ngumpetnya di kolongjembatan, sambil main
judi kecil-kecilan atau menjadi tukang copet. Tak sulit untuk
mencap mereka sebagai pemalas -- yang maunya kerja ringan asal
bisa kirim makanan ke perutnya sehari itu.
Boleh disebut 3 buah Panti Asuhan yang sedang bekerja memugar
borok kota ini. Panti Persinggahan Marga Widodo, Wisma Asuhan
Santoso dan Yayasan Sosial Sugiyopranoto. Yang disebut terakhir
ini, biasa disebut YSS, dianggap paling serius usahanya. Kini
menjadi kubangan 972 gelandangan dewasa (481 lelaki dan 491
wanita) dan 614 anak-anak (308 lelaki dan 306 perempuan). Dari
pihak Depsos sendiri sudah tersedia Rp 400 juta untuk
pembangunan Lokasi Rehabilitasi Gelandangan di desa
Gemah-Sendangguwo. Proyek ini diharapkan rampung dan langsung
bermanfaat akhir tahun ini juga. Sementara tahun lalu Kodya
setempat telah menurunkan Rp 1,5 juta untuk pembangunan Panti
Persinggahan, serta bantuan Rp 500 ribu untuk setiap Panti
Asuhan. Ini menunjukkan bahwa kota memang ada juga usahanya
untuk segera menghentikan perkembangan gelandangan.
Para gelandangan kota Semarang, yang kebanyakan berasal dari
Purwodadi pinggiran, Deluak, Boyolali dan Sala memang banyak
yang memiliki surat jalan resmi dengan tujuan: mencari
pekerjaan. Mereka yang hidup ditaman tidak jauh dari lokasi
Berok misalnya, memang tak benar-benar hendak menjadi penghuni
jalanan sampai mati. Di sana tampak seorang Basiran bersama
keluarga yang hidup sebagai pemungut puntung rokok dengan
pendapatan 3 sampai 4 ratus sehari. Selain pakaiannya beres, di
desanya pun ia mempunyai keluarga dan rumah yang lumayan. Ia
pernah ditampung di Barutikung -- kompleks rehabilitasi
gelandangan 'Ampera' -- tetapi ngabur karena tak betah. Tetapi
orang ini tampak punya rencana dan memelihara aturan keluarga.
"Sebulan sekali kami pulang ke desa. Sebab kalau sampai 2 bulan
kami tak pulang, orang tua kami terus mencari di Semarang",
ujarnya dengan tenang.
"Sejauh itu, menurut pendapat saya", kata Kusdi, "gelandangan
bukan cara hidup yang sudah melembaga. Umumnya mereka terdesak
hidup, tak tahu jalan pemecahannya. Masalahnya adalah kompleks.
Usaha mengembalikan mereka membutuhkan waktu yang lama". Jadi
masalahnya kompleks. Menanggulangi gelandangan bukan sekedar
menghentikannya. Apalagi kalau desakan-desakan untuk menjadi
gelandangan makin lama tidak semakin kecil, pak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini