Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Suka tak suka gembel

Para gelandangan di pontianak ternyata transmigran dari rasau jaya. tanah & rumah pemberian pemerintah ditinggalkan. mereka mencari makan ke kota pontianak dengan mengemis & mengorek barang buangan.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

7 dari 154 orang yang kena caplok tahun lalu dalam 20 kali operasi, ternyata orang edan. Ini perkara gelandangan kota Pontianak. Nyonya Obbi R, dari Kantor Sosial setempat, berani menyimpulkan bahwa ternyata pula orang-orangnya ya itu-itu juga. Semuanya langganan lama. Kini bekas tempat parkir mereka, di los Pasar Loak dekat jalan Pasar Tengah dan di ujung pangkalan Seng Hie, memang sudah rapih walaupun belum luas benar-benar. Toh dari hasil operasi bulan Maret yang lalu masih terkumpul sebanyak 63 orang yang tak ayal lagi langsung dimasukkan ke P3TK -- singkatan ini epanjangannya: Pendidikan, Penampungan, Penyaluran Tuna Karya. Tetapi seperti biasanya tak lama kemudian semuanya pada berlarian kembali -- lebih suka jadi wargakota yang tak begitu terhormat. Diperkirakan mereka menjadi bosan karena hanya makan tidur melulu. Padahal tak jarang diusahakan menyalurkan mereka ke perusahaan-perusahaan, misalnya. Sayangnya para pengusaha lebih banyak menolak karena curiga. Memang nasib. Akibatnya Pemerintah Daerah punya pekerjaan rutin untuk melakukan operasi, yang menurut drs Muchalli Taufiek yang ,Sekretaris Daerah, berharga antara Rp 30 sampai Rp 50 ribu sekali dilancarkan. Anehnya, operasi itu pernah begitu aktip -- sampai 3 kali sebulan. Sementara itu coba bayangkan, ongkos sehari di P3TK sebesar Rp 150. Kita jadi terpaksa mendengar kata Amran (37 tahun) yang 3 kali tertangkap, 3 kali masuk P3TK dan 3 kali pula ngabur. "Kami lari karena tiap hari cuma diberi makan dan disuruh tidur. Dan soalnya lagi di sana kami dicampur dengan orang gila!". Di jalan Barito, di sela-sela reruntuhan gedung yang terbakar, adalah 4 orang gelandangan yang ternyata transmigran dari Rasau Jaya. Mereka gentayangan mencari sesuap tambahan. Endang (35 tahun) bersama isterinya merangkak di Pontianak meninggalkan 2,5 Ha tanah di Rasau Jaya -- yang disediakan Pemerintah -- mengaku hanya sekedar mencari Rp 7500 untuk mengganti atap rumahnya. "Kami menginap di sini cuma 2 atau 3 hari saja. Begitu dapat untuk membeli rokok dan beli beras kami kembali ke Rasau Jaya", tukas Syamsuddin (3 tahun) yang ternyata berasal dari Kramat Raya, Jakarta. Bersama Tikno (37 tahun), mereka semuanya menolak sebutan pengemis atau pencuri, karena mereka ternyata hanya mencari barang buangan berupa beling, botol atau tembaga -- untuk dijual di Siantan. Mungkin sekali mereka memang sebelumnya punya bakat tukang' menggerayangi barang-barang tercampak semasa masih di Jakarta. Kendati begitu, mereka bersikeras tak suka disebut gelandangan, karena jelas rumahnya di Rasau Jaya. Rasau Jaya sendiri, yang menyediakan rumah untuk para transmigran, sebetulnya tak kekurangan hasil bumi seperti ketela, labu dan cabe. Malah tumpah ruwah sehingga tak ada yang bisa diperdagangkan -- karena tak dibukanya jalan ekonomi tentunya. Syamsuddin misalnya pernah kebingungan terhadap IS buah labu besar yang tak memikat hati pembeli di Pasar Rasau Jaya, 5 Km dari rumahnya. Akhirnya terpaksa ia begitu saja menyerahkan kepada siapa saja yang suka membawanya -- gratisan. Lepas masa itu ia membunuh keinginan untuk menjual buah labu, -- dan, mulai operasi di Barito sebagai gelandangan. "Suka tak suka toh harus kami terima", jawabnya, tatkala ditanya adakah dia merasa terluka karena dicap gelandangan. Padahal sesungguhnya yang paling tepat disebut gelandangan bukan Syam. Tapi Tikno, yang tak pernah kembali ke kompleks transmigran, walaupun di sana bermukim isteri dan 3 anaknya. Kalau ada rizki ia sekedar kirimkan duit, sambil tak beranjak dari tumpukan papan dan tiang-tiang kayu besi yang banyak di situ. Di sanalah ia tidur, barangkali samhil mengenangkan masa lalunya di Jakarta. Nah ini namanya memang mental. Tapi tempat kediaman ini telah menyelamatkannya dari para petugas karena para petugas rupanya masih sulit membayangkan, bagaimana mungkin ada orang sepanjang malam bergeletakan di udara terbuka. Di Jakarta sih mungkin-mungkin saja. Tapi Pontianak? Kantor Sosial Kota mengakui: dari puluhan orang yang tertangkap dalam setiap pengerukan, paling banter kalau diseleksi hanya 9 atau 10 orang saja yang boleh disebut gelandangan asli. Sisanya orang-orang transmigran di Rasau Jaya atau anak-anak yang disuruh orang tua mereka. Amran, yang dapat dipertanggung jawabkan keaslian wataknya sesudah terbukti belasan tahun suka menggelandang, berkata kepada TEMPO: "Di sini kira-kira ada 10 orang kawan-kawan saya, akan tetapi kebanyakan tidak di sini lagi. Mereka dapat pekerjaan di penebangan kayu". Ia memang mengaku bersedia angkat kaki dari profesinya sebagai penjual besi tua dan beling botol yang berpenghasilan 3 sampai 4 ratus perak sehari -- kalau saja ia diberi penampungan sebagai pekerja tetap dengan gaji pasti. Ia mempunyai seorang anak perempuan -- yang sudah mulai pintar mengais-ngais tong sampah untuk mengorek rizki. Walau tahu ada kemungkinan untuk menitipkan anak itu di Panti Asuhan Sei Raya, Amran tampaknya tak menaruh minat. Barangkali karena ia masih kuat (37 tahun), dan mengaku tak pernah sakit. Juga tak memikirkan masa depan, karena pendapatan sehari terus langsung untuk makan dan rokok. "Mudah-mudahan saja besok lusa saya tetap sehat", demikian harapan satu-satunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus