7 dari 154 orang yang kena caplok tahun lalu dalam 20 kali
operasi, ternyata orang edan. Ini perkara gelandangan kota
Pontianak. Nyonya Obbi R, dari Kantor Sosial setempat, berani
menyimpulkan bahwa ternyata pula orang-orangnya ya itu-itu juga.
Semuanya langganan lama. Kini bekas tempat parkir mereka, di los
Pasar Loak dekat jalan Pasar Tengah dan di ujung pangkalan Seng
Hie, memang sudah rapih walaupun belum luas benar-benar. Toh
dari hasil operasi bulan Maret yang lalu masih terkumpul
sebanyak 63 orang yang tak ayal lagi langsung dimasukkan ke P3TK
-- singkatan ini epanjangannya: Pendidikan, Penampungan,
Penyaluran Tuna Karya. Tetapi seperti biasanya tak lama kemudian
semuanya pada berlarian kembali -- lebih suka jadi wargakota
yang tak begitu terhormat.
Diperkirakan mereka menjadi bosan karena hanya makan tidur
melulu. Padahal tak jarang diusahakan menyalurkan mereka ke
perusahaan-perusahaan, misalnya. Sayangnya para pengusaha lebih
banyak menolak karena curiga. Memang nasib. Akibatnya Pemerintah
Daerah punya pekerjaan rutin untuk melakukan operasi, yang
menurut drs Muchalli Taufiek yang ,Sekretaris Daerah, berharga
antara Rp 30 sampai Rp 50 ribu sekali dilancarkan. Anehnya,
operasi itu pernah begitu aktip -- sampai 3 kali sebulan.
Sementara itu coba bayangkan, ongkos sehari di P3TK sebesar Rp
150. Kita jadi terpaksa mendengar kata Amran (37 tahun) yang 3
kali tertangkap, 3 kali masuk P3TK dan 3 kali pula ngabur. "Kami
lari karena tiap hari cuma diberi makan dan disuruh tidur. Dan
soalnya lagi di sana kami dicampur dengan orang gila!".
Di jalan Barito, di sela-sela reruntuhan gedung yang terbakar,
adalah 4 orang gelandangan yang ternyata transmigran dari Rasau
Jaya. Mereka gentayangan mencari sesuap tambahan. Endang (35
tahun) bersama isterinya merangkak di Pontianak meninggalkan 2,5
Ha tanah di Rasau Jaya -- yang disediakan Pemerintah -- mengaku
hanya sekedar mencari Rp 7500 untuk mengganti atap rumahnya.
"Kami menginap di sini cuma 2 atau 3 hari saja. Begitu dapat
untuk membeli rokok dan beli beras kami kembali ke Rasau Jaya",
tukas Syamsuddin (3 tahun) yang ternyata berasal dari Kramat
Raya, Jakarta. Bersama Tikno (37 tahun), mereka semuanya menolak
sebutan pengemis atau pencuri, karena mereka ternyata hanya
mencari barang buangan berupa beling, botol atau tembaga --
untuk dijual di Siantan. Mungkin sekali mereka memang sebelumnya
punya bakat tukang' menggerayangi barang-barang tercampak semasa
masih di Jakarta. Kendati begitu, mereka bersikeras tak suka
disebut gelandangan, karena jelas rumahnya di Rasau Jaya.
Rasau Jaya sendiri, yang menyediakan rumah untuk para
transmigran, sebetulnya tak kekurangan hasil bumi seperti
ketela, labu dan cabe. Malah tumpah ruwah sehingga tak ada yang
bisa diperdagangkan -- karena tak dibukanya jalan ekonomi
tentunya. Syamsuddin misalnya pernah kebingungan terhadap IS
buah labu besar yang tak memikat hati pembeli di Pasar Rasau
Jaya, 5 Km dari rumahnya. Akhirnya terpaksa ia begitu saja
menyerahkan kepada siapa saja yang suka membawanya -- gratisan.
Lepas masa itu ia membunuh keinginan untuk menjual buah labu, --
dan, mulai operasi di Barito sebagai gelandangan. "Suka tak suka
toh harus kami terima", jawabnya, tatkala ditanya adakah dia
merasa terluka karena dicap gelandangan. Padahal sesungguhnya
yang paling tepat disebut gelandangan bukan Syam. Tapi Tikno,
yang tak pernah kembali ke kompleks transmigran, walaupun di
sana bermukim isteri dan 3 anaknya. Kalau ada rizki ia sekedar
kirimkan duit, sambil tak beranjak dari tumpukan papan dan
tiang-tiang kayu besi yang banyak di situ. Di sanalah ia tidur,
barangkali samhil mengenangkan masa lalunya di Jakarta. Nah ini
namanya memang mental. Tapi tempat kediaman ini telah
menyelamatkannya dari para petugas karena para petugas rupanya
masih sulit membayangkan, bagaimana mungkin ada orang sepanjang
malam bergeletakan di udara terbuka. Di Jakarta sih
mungkin-mungkin saja. Tapi Pontianak?
Kantor Sosial Kota mengakui: dari puluhan orang yang tertangkap
dalam setiap pengerukan, paling banter kalau diseleksi hanya 9
atau 10 orang saja yang boleh disebut gelandangan asli. Sisanya
orang-orang transmigran di Rasau Jaya atau anak-anak yang
disuruh orang tua mereka. Amran, yang dapat dipertanggung
jawabkan keaslian wataknya sesudah terbukti belasan tahun suka
menggelandang, berkata kepada TEMPO: "Di sini kira-kira ada 10
orang kawan-kawan saya, akan tetapi kebanyakan tidak di sini
lagi. Mereka dapat pekerjaan di penebangan kayu". Ia memang
mengaku bersedia angkat kaki dari profesinya sebagai penjual
besi tua dan beling botol yang berpenghasilan 3 sampai 4 ratus
perak sehari -- kalau saja ia diberi penampungan sebagai pekerja
tetap dengan gaji pasti. Ia mempunyai seorang anak perempuan --
yang sudah mulai pintar mengais-ngais tong sampah untuk mengorek
rizki. Walau tahu ada kemungkinan untuk menitipkan anak itu di
Panti Asuhan Sei Raya, Amran tampaknya tak menaruh minat.
Barangkali karena ia masih kuat (37 tahun), dan mengaku tak
pernah sakit. Juga tak memikirkan masa depan, karena pendapatan
sehari terus langsung untuk makan dan rokok. "Mudah-mudahan saja
besok lusa saya tetap sehat", demikian harapan satu-satunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini