SEMUA ini pakaian dunia tak kubawa mati. Yang kubawa mati ibadah
hajiku." Ini kata Jumantan kepada Ahmad Jinglur, tukang sepeda
yang juga merangkap memperbaiki stromking. Jinglur telah
menabung selama 9 tahun untuk menunaikan ibadah haji. Karena itu
hatinya tergetar mendengar ucapan isterinya. Apalagi tatkala
Jumantan menanggalkan seluruh perhiasan yang dimilikinya,
termasuk "paun" alias ringgit mas yang rupanya diam-diam ia
simpan. Jinglur jadi terharu, lalu memegang tangan bininya, dan
mereka berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1935 itu juga.
Haji Ahmad Jinglur, yang jadi penduduk Kampung Jawa Martapura,
Banjarmasin, sekarang berusia 98 tahun. Tapi ia tak bisa
melupakan apa yang terjadi 43 tahun lalu itu. Ongkos naik haji
masih sekitar f.700 alias 700 uang perang, bergambar Wilhelmina.
Ia terlepit di antara 1500 orang jemaah dalam kapal Oceanus
milik maskapai Jerman. Para calon haji dari Madura, Sunda,
Bugis, Jawa, Banjar, dengan sabar berkubang dalam perut kapal
selama 24 hari. Kapal merambat dengan tenang tetapi pasti lewat
Surabaya, Belawan, Sabang, Kolombo, dan tembus ke Jiddah.
Bagai Raja
Ahmad dan Jumantan selain menyiapkan hati bersih, juga membawa
sekarung beras, ikan kering, abon, dendeng dan bumbu masakan
kering. "Maklum selera kita tak sama dengan lidah orang Arab,"
kisahnya kepada Rachmat Marlim dari TEMPO. Di tengah laut, waktu
menunggu tidak lewat sia-sia. Karena dalam kapal ikut serta KH
Kasyful Anwar (almarhum) pendiri Pesantren Darussalam,
Martapura, yang membimbing jemaah dalam soal ibadah.
Ahmad amat terkesan dengan pergaulan yang ramai itu. Walaupun
satu ketika jantungnya seperti diiris, karena salah seorang
jemaah meninggal. Jenazahnya diturunkan ke laut di hadapan
seluruh jemaah dengan doa dan tahlil. "Ia berkubur di laut, tak
bernisan, mungkin kemudian dilalap ikan buas," tuturnya.
Di Jiddah, Ahmad berkenalan dengan onta. Di punggung binatang
itu, antara Jiddah dan Mekkah ia melihat padang pasir satu hari
satu malam. Malam hari tukang stromking ini menghitung bintang
di langit, sementara hatinya merasa damai dan syahdu. Apalagi
dari mulut orang Badawi dan anggota kafilah sering mengucur lagu
qasidah. "Ah perjalanan dengan onta itu tak saya tukarkan
dengan apa pun, biar dengan kapal terbang pun," ujarnya.
Apalagi dari Mina ke Medinah yang dilapisi 7 buah kampung, dalam
waktu 14 hari 14 malam. Ahmad kenyang oleh keindahan dari
punggung onta yang membuatnya jadi melamun. "Naik onta tidak
seperti naik sepeda. Kita duduk dalam sekedup, sedang orang
Badawi berjalan kaki mengewer kendali onta di bawah kita,
rasanya seperti raja-raja." Bila sekedup oleng, ia tinggal
teriak: "Mizan! Mizan!" Artinya keseimbangan. (Menurut Ahmad
artinya miring). Badawi itu akan cepat membetulkan letak
sekedup. Perjalanan dijamin aman, Ahmad terangguk-angguk kembali
dalam istana kecil itu bersebelahan dengan isterinya.
Yang sulit hanya buang air. Terpaksa turun dari leher onta,
menebuk pasir sebagai WC darurat, lalu menutupnya kembali. Dan
sesuai dengan watak padang pasir, air tidak dapat disia-siakan
-- terpaksa beristinja (mencuci kotoran) dengan kertas, atau
ya, apalagi, pasir.
Bagi orang muslim Banjar, Kalimantan, naik haji adalah puncak
dari seluruh kehendak di dunia, sebagaimana bagi sebagian besar
saudara-saudara kita di tanah air. Dari dalam desa selalu muncul
para petani dan pekebun yang atap rumahnya tiris, tapi
pundi-pundinya dengan getol terus dipersiapkan untuk perjalanan
suci itu. Mereka berani hidup kepepet bertahun-tahun,
berpuluh-puluh tahun. Satu sen demi satu sen mereka ambil modal
dari penjualan telur itik atau atap rumbia. Tak jarang orang
yang masih belum cukup ongkos, dengan gotong-royong dipinjami
beberapa gram emas oleh para kerabat. Saat keberangkatan dan
kedatangan menjadi upacara yang hebat artinya, karena seluruh
sanak famili dan warga desa dikerahkan seperti dalam penyambutan
seorang pembesar top.
Rindu Baitullah
Tapi kemudian naik haji tidak cukup hanya menyediakan duit.
Begitu banyak orang ingin melakukannya, sementara fasilitas
terbatas. Di tahun 50-an orang harus dapat jatah quotum terlebih
dahulu. Tasin (sekarang 75 tahun) sudah mendaftar sejak 1949 --
saat penyerahan Kedaulatan. Ia sudah menjual beberapa lembar
sawah. Tapi di tahun 1950 ia tetap gagal.
Petani buta huruf asal Udik Sungai Kudunghulu ini jadi
penasaran. Ditinggalkannya isterinya di Kampung Kandangan, dan
berangkatlah ia ke Jakarta -- sebab ada kabar burung bahwa
Ibukota menyediakan kesempatan lebih banyak. Tapi tetap saja
lacur. Ia bahkan hampir saja terlantar, kalau keluarganya tidak
segera menjemput.
Tasin mendaftar lagi tahun 1951. Kali itu ia berhasil dapat
quotum bersama isterinya. Langsung dijualnya 3 Ha sawah. Ongkos
naik haji menurut Tasin sekitar Rp 7.180 waktu itu. Selain
membeli perbekalan makan, ia juga membawa gambir, kapur, pinang
dan sirih, karena ia mendengar di Mekah orang tak menjual sirih
-- padahal isterinya madatan. Sirih itu diseterika, nanti kalau
hendak dipakai dilapisi terlebih dahulu dengan air.
24 hari suami-isteri Tasin tidak melihat matahari, sebab mereka
dapat tempat di perut kapal. Listrik menyala siang malam,
sehingga mendapat pengalaman yang sama sekali baru. Kalau ada
suara azan jemaah, ia baru tahu itu magrib atau subuh. Isterinya
mabuk. Tapi mereka tidak mengeluh. Pulang naik haji, ia tak
langsung ke kampung. Ia turun di Surabaya dan tetirah mengenali
tanah Jawa. Tiga bulan kemudian ia baru mendarat di Gambut.
Akibatnya "Saya tidak disambut upacara kerabat. Datang begitu
saja, rasanya tiba-tiba sepi dan asing," kata petani itu.
Haji Tasin sekarang sudah uzur. Matanya sebelah kiri nyaris
buta. Tapi sawah-sawahnya yang ia jual ketika naik haji, 4 tahun
setelah pulang dari Tanah Suci berhasil direbutnya kembali.
"Setelah datang berhaji rezeki saya seperti disorong-sorongkan.
Apa saja yang diusahakan selalu lancar dan menguntungkan,"
katanya terus terang. Ia tampak puas tetapi tetap sederhana.
"Ah, rasanya saya kepingin lagi ke Mekkah, rindukan Baitullah,"
katanya dengan mata berkaca-kaca karena terharu.
Hasyim Muchtar (59 tahun), matanya tak berkaca-kaca. Karena ia
sudah 2 kali naik haji. Pertama tahun 1937, waktu ia baru 7
bulan kawin, kemudian diulang tahun 1967. Hasyim malah tinggal
di Jiddah antara 1939 dan 1945 karena hubungannya putus dengan
keluarga akibat Perang Dunia. Ia bekerja di Konsulat Inggeris di
Jiddah. Baru tahun 1947 ia kembali berada di kampungnya.
Menarik perbandingan, melihat haji laut dahulu dari tahun 1967,
Hasyim memujikan perjalanannya yang tahun 1967. Waktu itu di
kapal sudah ada mushalla, ceramah agama, pemutaran film, bahkan
jemaah sempat mengadakan musabaqah Al luran dan ketrampilan
berbusana haji. "Saya sendiri dijadikan anggota juri," kata
Hasyim. "Lagipula yang lebih menggembirakan saya, di tahun 1937
kita masih disebut oleh orang Arab, Jawi inlander. Di tahun 1967
saya bangga sudah sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat."
Tapi Hasyim akhirnya mengeluh juga. Modernisasi di Mekkah,
dengan flat bertingkat dan lain-lain dirasanya kurang intim.
Tidak mesra seperti dahulu lagi. "Dahulu jauh-jauh sebelum masuk
Mekkah kita telah menampak Baitullah (Ka'bah). Tetapi sekarang
sudah tersamar, terlindung gedung bertingkat," ujarnya. Ia hanya
bersyukur bahwa waktu naik haji yang kedua ia didampingi isteri.
Ke mana-mana bergandeng, thawaf, sa'i, wuquf maupun ziarah.
"Itulah kemesraan dan kebahagiaan yang tak ternilai," ujarnya
dengan puas.
Haji Ismail (93 tahun), petani asal Desa Tambak Langon,
Kecamatan Tandes, Kotamadya Surabaya, juga tercengang di tahun
1967 -- melihat Tanah Suci sudah berubah wajah. Lurah yang
sudah pernah melihat Tanah Suci di tahun 1950 ini melihat
bangunan, kendaraan dan jalan-jalan pada licin semua. Segalanya
serba lux. Waktu berangkat ia memang sudah membayangkan akan ada
perubahan, terutama dalam soal berjalan -- yang tidak perlu lagi
dibimbing seorang syekh karena segala-galanya sudah dibikin
mudah. Tapi justru sebaliknya, tanpa bantuan syekh ia ternyata
banyak bingung apa seharusnya yang dilakukan -- justru karena
pembaharuan itu.
Biaya perjalanan waktu naik haji yang pertama dikumpulkan oleh
Ismail dengan cara berdagang. Sekembali dari pengungsian di
zaman revolusi fisik, Tentara Rakyat menasehati Ismail supaya
membelanjakan uangnya untuk barang-barang yang tahan lama. Sebab
ada berita uang akan diganti. Ismail langsung beli cikar, dokar,
kayu bakar dan bahan bangunan. Benar saja uang diganti. Setelah
keadaan tenang, Ismail menjual kembali barang-barangnya. Dari
hasil itu, ditambah hasil tambaknya, ia berangkat bersama
isterinya mengarung laut. Ia tinggal di Mekkah selama 2 bulan.
Waktu keseluruhannya hanya 4 bulan. Dasar pedagang isterinya
berhasil membawa pulang beberapa gram emas dan perhiasan.
Apalagi waktu itu tidak kesulitan bayar cukai.
Di tahun 1971, Haji Ismail berangkat lagi bersama menantu dan 3
orang cucunya -- sekarang lewat udara. Haji ini merasa seperti
dibohongi -- karena jangka 17 hari di laut sudah dipercepat
sedemikian rupa, sehingga tiba-tiba saja ia sudah berada di
Jiddah. Tak enak. Tapi toh di tahun 1974 ia mengulangi lagi
memakai pesawat terbang. Karena tubuhnya sudah terlalu renta, ia
tidak mampu lagi melakukan lemparan batu jumrah. Namun
kemauannya untuk datang lagi ke Tanah Suci, tetap saja
menyala-nyala. Dengan bangga haji 4 kali ini mengatakan bahwa
dalam keluarganya, sudah ada 18 orang anggota, termasuk anak dan
cucu yang sudah berangkat ke Tanah Suci.
Al-Ikhlas
Tapi yang lebih hebat lagi Haji Masduqy (71 tahun), petani
tambak asal Desa Tambak Oso Wilangun, Kecamatan Tandes, juga
Surabaya. Ia sudah melihat Ka'bah 6 kali. Tiga kali dengan kapal
laut, 3 kali lewat udara. Yang pertama dilakukan tahun 1928,
waktu masih bujangan. Menurut pengamatannya, pengurusan
perjalanan waktu itu amat mudah. Cukup mendaftarkan diri pada
seorang wakil syekh bernama Joko di Surabaya, lantas beli tiket
kapal seharga 300 uang Belanda, minta paspor, dan langsung
tancap.
Kapal Masduqy waktu itu kapal barang. Para jemaah sama saja
dengan penumpang biasa. Seluruh perbekalan di perjalanan dan di
Tanah Suci disiapkan sendiri. Ia naik di Tanjung Perak beserta
100 jemaah dari seluruh Indonesia. Perjalanan makan waktu 18
hari 18 malam. Di Jiddah waktu itu kapal masih berlabuh 3 km
dari pantai. Para penumpang diangkut oleh tongkang. Syekh
masing-masing sudah menunggu, bersama onta dan sekedupnya.
Bagi Masduqy naik sekedup tidak begitu asing. Karena di
Indonesia juga ada cikar dan dokar sebagai kendaraan umum masa
itu, bukan? Ia melintasi padang pasir dan melihat rumah penduduk
yang miskin dan jelek. Masyarakat di sana hanya panen waktu
musim haji. Selebihnya hidupnya sulit. Enaknya, waktu itu siapa
saja boleh bermukim di sana dalam jangka tak terbatas karena
jemaah masih sedikit. Akibatnya melakukan tawaf mengelilingi
Ka'bah kapan saja tidak ada kesulitan.
Selama di Tanah Suci, Masduqy sering berkelahi dengan penduduk
sana. Pokok soal karena mereka menganggap orang Indonesia bagal
atau kuda tunggangan. Sebaliknya orang Indonesia mengejek dengan
mengatakan bahwa mereka akan kelaparan kalau tidak ada jemaah
yang datang. Sering terjadi perang mulut dan baku hantam. Tapi
setelah puas, lalu maaf-maafan. Dalam serba kesederhanaan itu,
Masduqy toh merasa naik haji waktu itu benar-benar lillahita'ala
-- hanya terdorong oleh kebaktian kepada Allah Ta'ala semata.
Tahun 1964, pengurusan haji sudah ketat. Ada banyak urusan
surat. Kesehatan juga diperiksa. Seluruh persoalan ditangani
Pemerintah. Keadaan di Saudi Arabia juga sudah lain. Perumahan
penduduk bertambah baik, orang-orang boleh dikata menjadi kaya
semua, kapalpun bisa merapat di pelabuhan Jiddah. Mobil
berjubel. Jalan-jalan bagus, dan apa yang dilihatnya tahun 1928
lenyap seperti mimpi saja.
Jiddah, Mekkah dan Medinah pun sudah padat manusia dalam
gedung-gedung bertingkat. Jemaah sudah ramai sehingga sulit
melakukan tawaf pada jam-jam tertentu. Hanya siang hari di
tengah panas terik baru agak lega. Keadaan itu terus berkembang
di tahun 1968, tatkala Masduqy naik haji ketiga kalinya. Ia
hanya mengendorkan kebingungannya sendiri, karena mulai terbiasa
dengan alam modern itu.
Yang pahit, waktu Masduqy mencoba naik haji melalui Al-Ikhlas.
Jumlah uang yang ditarik Al-Ikhlas berjumlah Rp 250 ribu --
menggunakan kapal laut. Setelah naik kapal di Jakarta, seminggu
di kapal, jemaah diperintahkan turun kembali. "Di sana kita
terlunta-lunta selama satu bulan. Uang sudah habis, kembali --
malu kepada masyarakat," ujar Masduqy. Tak tersangka waktu itu
para jemaah diminta kembali membayar Rp 100 ribu.
Tentu saja timbul kemarahan. Konon kalau tidak dijaga ketat
sudah ada yang mau membunuh Menteri Agama waktu itu, menurut
Masduqy. "Untunglah kemudian K.H. Syaichu bermurah hati
mengusahakan pinjaman bagi kami khususnya yang berasal dari Jawa
Timur, sebanyak 30 orang. Masing-masing sejumlah Rp 100 ribu.
Kemudian kami berangkat dengan pesawat udara," kata Masduqy
menerangkan peristiwa itu.
Tahun ini haji Masduqy akan berusaha lagi naik haji -- coba-coba
dengan menggunakan paspor turis. "Sambil berhaji saya akan
menengok dua orang anak saya yang lagi sekolah di Darul Ulum di
Madinah," ujarnya dengan tenang. "Yah, kalau tidak pergi haji
rasanya kurang enak hidup."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini