Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ibadah haji kubawa mati

Suka duka h. achmad jingkir, h. hasyim muchtar & haji masdugy selama perjalanan menunaikan ibadah haji sejak th 1928 sampai th 1974 & menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi di jeddah, mekkah & medinah. (sd)

26 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA ini pakaian dunia tak kubawa mati. Yang kubawa mati ibadah hajiku." Ini kata Jumantan kepada Ahmad Jinglur, tukang sepeda yang juga merangkap memperbaiki stromking. Jinglur telah menabung selama 9 tahun untuk menunaikan ibadah haji. Karena itu hatinya tergetar mendengar ucapan isterinya. Apalagi tatkala Jumantan menanggalkan seluruh perhiasan yang dimilikinya, termasuk "paun" alias ringgit mas yang rupanya diam-diam ia simpan. Jinglur jadi terharu, lalu memegang tangan bininya, dan mereka berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1935 itu juga. Haji Ahmad Jinglur, yang jadi penduduk Kampung Jawa Martapura, Banjarmasin, sekarang berusia 98 tahun. Tapi ia tak bisa melupakan apa yang terjadi 43 tahun lalu itu. Ongkos naik haji masih sekitar f.700 alias 700 uang perang, bergambar Wilhelmina. Ia terlepit di antara 1500 orang jemaah dalam kapal Oceanus milik maskapai Jerman. Para calon haji dari Madura, Sunda, Bugis, Jawa, Banjar, dengan sabar berkubang dalam perut kapal selama 24 hari. Kapal merambat dengan tenang tetapi pasti lewat Surabaya, Belawan, Sabang, Kolombo, dan tembus ke Jiddah. Bagai Raja Ahmad dan Jumantan selain menyiapkan hati bersih, juga membawa sekarung beras, ikan kering, abon, dendeng dan bumbu masakan kering. "Maklum selera kita tak sama dengan lidah orang Arab," kisahnya kepada Rachmat Marlim dari TEMPO. Di tengah laut, waktu menunggu tidak lewat sia-sia. Karena dalam kapal ikut serta KH Kasyful Anwar (almarhum) pendiri Pesantren Darussalam, Martapura, yang membimbing jemaah dalam soal ibadah. Ahmad amat terkesan dengan pergaulan yang ramai itu. Walaupun satu ketika jantungnya seperti diiris, karena salah seorang jemaah meninggal. Jenazahnya diturunkan ke laut di hadapan seluruh jemaah dengan doa dan tahlil. "Ia berkubur di laut, tak bernisan, mungkin kemudian dilalap ikan buas," tuturnya. Di Jiddah, Ahmad berkenalan dengan onta. Di punggung binatang itu, antara Jiddah dan Mekkah ia melihat padang pasir satu hari satu malam. Malam hari tukang stromking ini menghitung bintang di langit, sementara hatinya merasa damai dan syahdu. Apalagi dari mulut orang Badawi dan anggota kafilah sering mengucur lagu qasidah. "Ah perjalanan dengan onta itu tak saya tukarkan dengan apa pun, biar dengan kapal terbang pun," ujarnya. Apalagi dari Mina ke Medinah yang dilapisi 7 buah kampung, dalam waktu 14 hari 14 malam. Ahmad kenyang oleh keindahan dari punggung onta yang membuatnya jadi melamun. "Naik onta tidak seperti naik sepeda. Kita duduk dalam sekedup, sedang orang Badawi berjalan kaki mengewer kendali onta di bawah kita, rasanya seperti raja-raja." Bila sekedup oleng, ia tinggal teriak: "Mizan! Mizan!" Artinya keseimbangan. (Menurut Ahmad artinya miring). Badawi itu akan cepat membetulkan letak sekedup. Perjalanan dijamin aman, Ahmad terangguk-angguk kembali dalam istana kecil itu bersebelahan dengan isterinya. Yang sulit hanya buang air. Terpaksa turun dari leher onta, menebuk pasir sebagai WC darurat, lalu menutupnya kembali. Dan sesuai dengan watak padang pasir, air tidak dapat disia-siakan -- terpaksa beristinja (mencuci kotoran) dengan kertas, atau ya, apalagi, pasir. Bagi orang muslim Banjar, Kalimantan, naik haji adalah puncak dari seluruh kehendak di dunia, sebagaimana bagi sebagian besar saudara-saudara kita di tanah air. Dari dalam desa selalu muncul para petani dan pekebun yang atap rumahnya tiris, tapi pundi-pundinya dengan getol terus dipersiapkan untuk perjalanan suci itu. Mereka berani hidup kepepet bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun. Satu sen demi satu sen mereka ambil modal dari penjualan telur itik atau atap rumbia. Tak jarang orang yang masih belum cukup ongkos, dengan gotong-royong dipinjami beberapa gram emas oleh para kerabat. Saat keberangkatan dan kedatangan menjadi upacara yang hebat artinya, karena seluruh sanak famili dan warga desa dikerahkan seperti dalam penyambutan seorang pembesar top. Rindu Baitullah Tapi kemudian naik haji tidak cukup hanya menyediakan duit. Begitu banyak orang ingin melakukannya, sementara fasilitas terbatas. Di tahun 50-an orang harus dapat jatah quotum terlebih dahulu. Tasin (sekarang 75 tahun) sudah mendaftar sejak 1949 -- saat penyerahan Kedaulatan. Ia sudah menjual beberapa lembar sawah. Tapi di tahun 1950 ia tetap gagal. Petani buta huruf asal Udik Sungai Kudunghulu ini jadi penasaran. Ditinggalkannya isterinya di Kampung Kandangan, dan berangkatlah ia ke Jakarta -- sebab ada kabar burung bahwa Ibukota menyediakan kesempatan lebih banyak. Tapi tetap saja lacur. Ia bahkan hampir saja terlantar, kalau keluarganya tidak segera menjemput. Tasin mendaftar lagi tahun 1951. Kali itu ia berhasil dapat quotum bersama isterinya. Langsung dijualnya 3 Ha sawah. Ongkos naik haji menurut Tasin sekitar Rp 7.180 waktu itu. Selain membeli perbekalan makan, ia juga membawa gambir, kapur, pinang dan sirih, karena ia mendengar di Mekah orang tak menjual sirih -- padahal isterinya madatan. Sirih itu diseterika, nanti kalau hendak dipakai dilapisi terlebih dahulu dengan air. 24 hari suami-isteri Tasin tidak melihat matahari, sebab mereka dapat tempat di perut kapal. Listrik menyala siang malam, sehingga mendapat pengalaman yang sama sekali baru. Kalau ada suara azan jemaah, ia baru tahu itu magrib atau subuh. Isterinya mabuk. Tapi mereka tidak mengeluh. Pulang naik haji, ia tak langsung ke kampung. Ia turun di Surabaya dan tetirah mengenali tanah Jawa. Tiga bulan kemudian ia baru mendarat di Gambut. Akibatnya "Saya tidak disambut upacara kerabat. Datang begitu saja, rasanya tiba-tiba sepi dan asing," kata petani itu. Haji Tasin sekarang sudah uzur. Matanya sebelah kiri nyaris buta. Tapi sawah-sawahnya yang ia jual ketika naik haji, 4 tahun setelah pulang dari Tanah Suci berhasil direbutnya kembali. "Setelah datang berhaji rezeki saya seperti disorong-sorongkan. Apa saja yang diusahakan selalu lancar dan menguntungkan," katanya terus terang. Ia tampak puas tetapi tetap sederhana. "Ah, rasanya saya kepingin lagi ke Mekkah, rindukan Baitullah," katanya dengan mata berkaca-kaca karena terharu. Hasyim Muchtar (59 tahun), matanya tak berkaca-kaca. Karena ia sudah 2 kali naik haji. Pertama tahun 1937, waktu ia baru 7 bulan kawin, kemudian diulang tahun 1967. Hasyim malah tinggal di Jiddah antara 1939 dan 1945 karena hubungannya putus dengan keluarga akibat Perang Dunia. Ia bekerja di Konsulat Inggeris di Jiddah. Baru tahun 1947 ia kembali berada di kampungnya. Menarik perbandingan, melihat haji laut dahulu dari tahun 1967, Hasyim memujikan perjalanannya yang tahun 1967. Waktu itu di kapal sudah ada mushalla, ceramah agama, pemutaran film, bahkan jemaah sempat mengadakan musabaqah Al luran dan ketrampilan berbusana haji. "Saya sendiri dijadikan anggota juri," kata Hasyim. "Lagipula yang lebih menggembirakan saya, di tahun 1937 kita masih disebut oleh orang Arab, Jawi inlander. Di tahun 1967 saya bangga sudah sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat." Tapi Hasyim akhirnya mengeluh juga. Modernisasi di Mekkah, dengan flat bertingkat dan lain-lain dirasanya kurang intim. Tidak mesra seperti dahulu lagi. "Dahulu jauh-jauh sebelum masuk Mekkah kita telah menampak Baitullah (Ka'bah). Tetapi sekarang sudah tersamar, terlindung gedung bertingkat," ujarnya. Ia hanya bersyukur bahwa waktu naik haji yang kedua ia didampingi isteri. Ke mana-mana bergandeng, thawaf, sa'i, wuquf maupun ziarah. "Itulah kemesraan dan kebahagiaan yang tak ternilai," ujarnya dengan puas. Haji Ismail (93 tahun), petani asal Desa Tambak Langon, Kecamatan Tandes, Kotamadya Surabaya, juga tercengang di tahun 1967 -- melihat Tanah Suci sudah berubah wajah. Lurah yang sudah pernah melihat Tanah Suci di tahun 1950 ini melihat bangunan, kendaraan dan jalan-jalan pada licin semua. Segalanya serba lux. Waktu berangkat ia memang sudah membayangkan akan ada perubahan, terutama dalam soal berjalan -- yang tidak perlu lagi dibimbing seorang syekh karena segala-galanya sudah dibikin mudah. Tapi justru sebaliknya, tanpa bantuan syekh ia ternyata banyak bingung apa seharusnya yang dilakukan -- justru karena pembaharuan itu. Biaya perjalanan waktu naik haji yang pertama dikumpulkan oleh Ismail dengan cara berdagang. Sekembali dari pengungsian di zaman revolusi fisik, Tentara Rakyat menasehati Ismail supaya membelanjakan uangnya untuk barang-barang yang tahan lama. Sebab ada berita uang akan diganti. Ismail langsung beli cikar, dokar, kayu bakar dan bahan bangunan. Benar saja uang diganti. Setelah keadaan tenang, Ismail menjual kembali barang-barangnya. Dari hasil itu, ditambah hasil tambaknya, ia berangkat bersama isterinya mengarung laut. Ia tinggal di Mekkah selama 2 bulan. Waktu keseluruhannya hanya 4 bulan. Dasar pedagang isterinya berhasil membawa pulang beberapa gram emas dan perhiasan. Apalagi waktu itu tidak kesulitan bayar cukai. Di tahun 1971, Haji Ismail berangkat lagi bersama menantu dan 3 orang cucunya -- sekarang lewat udara. Haji ini merasa seperti dibohongi -- karena jangka 17 hari di laut sudah dipercepat sedemikian rupa, sehingga tiba-tiba saja ia sudah berada di Jiddah. Tak enak. Tapi toh di tahun 1974 ia mengulangi lagi memakai pesawat terbang. Karena tubuhnya sudah terlalu renta, ia tidak mampu lagi melakukan lemparan batu jumrah. Namun kemauannya untuk datang lagi ke Tanah Suci, tetap saja menyala-nyala. Dengan bangga haji 4 kali ini mengatakan bahwa dalam keluarganya, sudah ada 18 orang anggota, termasuk anak dan cucu yang sudah berangkat ke Tanah Suci. Al-Ikhlas Tapi yang lebih hebat lagi Haji Masduqy (71 tahun), petani tambak asal Desa Tambak Oso Wilangun, Kecamatan Tandes, juga Surabaya. Ia sudah melihat Ka'bah 6 kali. Tiga kali dengan kapal laut, 3 kali lewat udara. Yang pertama dilakukan tahun 1928, waktu masih bujangan. Menurut pengamatannya, pengurusan perjalanan waktu itu amat mudah. Cukup mendaftarkan diri pada seorang wakil syekh bernama Joko di Surabaya, lantas beli tiket kapal seharga 300 uang Belanda, minta paspor, dan langsung tancap. Kapal Masduqy waktu itu kapal barang. Para jemaah sama saja dengan penumpang biasa. Seluruh perbekalan di perjalanan dan di Tanah Suci disiapkan sendiri. Ia naik di Tanjung Perak beserta 100 jemaah dari seluruh Indonesia. Perjalanan makan waktu 18 hari 18 malam. Di Jiddah waktu itu kapal masih berlabuh 3 km dari pantai. Para penumpang diangkut oleh tongkang. Syekh masing-masing sudah menunggu, bersama onta dan sekedupnya. Bagi Masduqy naik sekedup tidak begitu asing. Karena di Indonesia juga ada cikar dan dokar sebagai kendaraan umum masa itu, bukan? Ia melintasi padang pasir dan melihat rumah penduduk yang miskin dan jelek. Masyarakat di sana hanya panen waktu musim haji. Selebihnya hidupnya sulit. Enaknya, waktu itu siapa saja boleh bermukim di sana dalam jangka tak terbatas karena jemaah masih sedikit. Akibatnya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah kapan saja tidak ada kesulitan. Selama di Tanah Suci, Masduqy sering berkelahi dengan penduduk sana. Pokok soal karena mereka menganggap orang Indonesia bagal atau kuda tunggangan. Sebaliknya orang Indonesia mengejek dengan mengatakan bahwa mereka akan kelaparan kalau tidak ada jemaah yang datang. Sering terjadi perang mulut dan baku hantam. Tapi setelah puas, lalu maaf-maafan. Dalam serba kesederhanaan itu, Masduqy toh merasa naik haji waktu itu benar-benar lillahita'ala -- hanya terdorong oleh kebaktian kepada Allah Ta'ala semata. Tahun 1964, pengurusan haji sudah ketat. Ada banyak urusan surat. Kesehatan juga diperiksa. Seluruh persoalan ditangani Pemerintah. Keadaan di Saudi Arabia juga sudah lain. Perumahan penduduk bertambah baik, orang-orang boleh dikata menjadi kaya semua, kapalpun bisa merapat di pelabuhan Jiddah. Mobil berjubel. Jalan-jalan bagus, dan apa yang dilihatnya tahun 1928 lenyap seperti mimpi saja. Jiddah, Mekkah dan Medinah pun sudah padat manusia dalam gedung-gedung bertingkat. Jemaah sudah ramai sehingga sulit melakukan tawaf pada jam-jam tertentu. Hanya siang hari di tengah panas terik baru agak lega. Keadaan itu terus berkembang di tahun 1968, tatkala Masduqy naik haji ketiga kalinya. Ia hanya mengendorkan kebingungannya sendiri, karena mulai terbiasa dengan alam modern itu. Yang pahit, waktu Masduqy mencoba naik haji melalui Al-Ikhlas. Jumlah uang yang ditarik Al-Ikhlas berjumlah Rp 250 ribu -- menggunakan kapal laut. Setelah naik kapal di Jakarta, seminggu di kapal, jemaah diperintahkan turun kembali. "Di sana kita terlunta-lunta selama satu bulan. Uang sudah habis, kembali -- malu kepada masyarakat," ujar Masduqy. Tak tersangka waktu itu para jemaah diminta kembali membayar Rp 100 ribu. Tentu saja timbul kemarahan. Konon kalau tidak dijaga ketat sudah ada yang mau membunuh Menteri Agama waktu itu, menurut Masduqy. "Untunglah kemudian K.H. Syaichu bermurah hati mengusahakan pinjaman bagi kami khususnya yang berasal dari Jawa Timur, sebanyak 30 orang. Masing-masing sejumlah Rp 100 ribu. Kemudian kami berangkat dengan pesawat udara," kata Masduqy menerangkan peristiwa itu. Tahun ini haji Masduqy akan berusaha lagi naik haji -- coba-coba dengan menggunakan paspor turis. "Sambil berhaji saya akan menengok dua orang anak saya yang lagi sekolah di Darul Ulum di Madinah," ujarnya dengan tenang. "Yah, kalau tidak pergi haji rasanya kurang enak hidup."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus