SERIBU tahun yang silam, sebuahkota di pantai P. Shihoku yang
kini menjadi Teluk Tosa, tenggelam ditelan gelombang pasang dan
gempa bumi. Ada seribu keluarga anak manusia yang ikut tenggelam
lantaran tak sempat melarikan diri dari serangan tsunami itu.
Begitulah dongeng rakyat Jepang di kawasan itu, hampir mirip
legenda hilangnya kota Atlantis di Laut Aegia, Yunani.
Namun 15 tahun silam, sisa-sisa kota di dasar Samudera Pasifik
itu ditemukan oleh beberapa penyelam secara kebetulan. Sejak
saat itu, mulailah persiapan penyelidikan ilmiah untuk mencari
kota yang persisnya hilang 1300 tahun silam. Awal Agustus yang
lalu, serombongan penyelidik berangkat dengan kapal ke lepas
pantai Shikoku itu, dekat kota Susaki.
Keenam orang itu dipimpin oleh ahli geografi-fisika Jepang, Prof
Jiro Katto. Seorang penyelam scuba (self-contained underwater
breathing apparatus) termasuk dalam awak kapal itu, yang juga
dilengkapi alat-alat elektronika mutakhir.
Dengan demikian, Jepang boleh diKata merupakan bangsa Asia
pertama yang mulai memasuki bidang penyelidikan arkeologi
bawah-air. Sejauh ini, penyelidikan paling banyak dilakukan di
Laut Tengah, Laut Utara, dan Laut Karibia.
Penyelaman di laut Aegia antara Yunani dan Turki misalnya, telah
menemukan kembali kota Thira ibukota kerajaan Minoa, yang
tenggelam hampir 3500 tahun silam. Letaknya di dasar laut, dalam
laguna pulau Santorin yang dulu merupakan gunung api setinggi
1500 meter di atas muka laut.
Atlantis
Sekitar tahun 1480 Sebelum Masehi, gunung Santorin purba itu
meletus. Seperti juga letusan Krakatau Purba, gunungnya sendiri
amblas membentuk semacam kaldera di dasar laut.
Amblasnya gunung purba itu mendepak 62 milyar meter kubik air
laut yang menghambur bergelombang-gelombang setinggi ratusan
meter. Tsunami ini melesat ke luar Laut Aegia ke segenap
penjuru Laut Tengah dengan kecepatan 500 km/jam.
Bencana alam inilah yang diduga merupakan bahan mentah kisah
filsuf Yunani Plato tentang "benua Atlantis yang hilang".
Setelah penyelaman dan penggalian ahli-ahli arkeologi
Universitas Athena menemukan kota Thira yang masih utuh di dasar
laut, banyak orang mengambil kesimpulan: itulah 'benua Atlantis
yang hilang' itu.
Seperti digambarkan oleh George Pararas-Carayannis, Direktur
Pusat Informasi Tsunami Internasional di Honolulu, kebudayaan
kerajaan yang lenyap ditelan bah itu memang sudah lumayan
tingginya. Gedung-gedungnya, ada yang bertingkat satu, dua dan
tiga. Di dalamnya ditemukan banyak artifak Minoa dan alat-alat
rumah tangga.
Tapi kerangka manusia, tak satu pun yang ditemukan di situ. Ada
kemungkinan, penduduk kota Minoa sudah mengenal sistim tanda
bahaya sebelum gunung api meletus, sehingga mereka punya cukup
waktu mengungsi dari pulau itu.
Menggeliat
Bencana alam yang lebih 'muda', telah menenggelamkan kota Port
Roval di Jamaica, Laut Karibia, hampir dua abad silam. Bandar
itu dulu dikenal sebagai pusat perdagangan Spanyol yang paling
terkenal di Karibia, bahkan di seluruh Amerika waktu itu.
Menjelang senja hari, 7 Juni 1692, terasa bumi di bawah Port
Royal menggeliat tiga kali, yang segera disusul gelombang
pasang. Tak ada lagi waktu untuk mengungsi. Sebab dalam beberapa
menit saja, 90% dari kota bergedung 2000 itu -- kebanyakan
bertingkat dua dan tiga -- atau amblas atau meluncur ke dalam
laut. Lebih dari 2000 orang meninggal seketika. Kerugian harta
benda tak tertaksir banyaknya. Catatannya kebanyakan tersimpan
di arsip-arsip pemerintahan kolonial Spanyol.
Berpedoman pada arsip-arsip Spanyol itu, tahun 1966 pemerintah
Jamaica mulai melancarkan operasi penyelaman dan penggalian
besar-besaran untuk menemukan bandar abad ke-17 yang tenggelam
itu.
Walaupun lokasi kota di bawah-air itu tak terlalu dalam --
berkisar antara 1 sampai 20 meter -- sedang seluruh lokasi
yang diselami 'hanya' 140 ribu mÿFD, toh penyelaman dan
pengangkatan artifak-artifak Port Royal praktis makan waktu
tiga tahun.
Soalnya, pasir, lumpur, karang dan tanah keras telah
berlapis-lapis menutupi peninggalan sejarah itu. Mula-mula
pasirnya harus disemprot. Lalu lumpur keras dan pecahan-pecahan
karang mati setebal 1 - 1,8 meter. Di bawahnya masih ada sekitar
70% pasir hitam dan 30% batu kerikil. Semuanya itu disedot
dengan pompa-pompa hidrolis, pancaran air dan pancaran udara
dengan hati-hati sekali, agar artifak yang sudah berlumut dan
berkeong itu tak tambah rusak.
Cabang ilmu purbakala ini memang masih relatif muda sekitar 30
tahun. Walaupun tak boleh dilupakan usaha-usaha orang Spanyol,
yang di tahun 1622 tanpa perlengkapan penyelam modern sudah
berusaha mengangkat perahu-perahu yang tenggelam di Laut
Karibia.
Waktu itu, motivasinya memang tak murni ilmiah. Sebab banyak
kapal-kapal Spanyol yang berlayar dari Amerika ke Eropa
tenggelam dalam keadaan sarat bermuatan emas dan harta benda
bangsa-bangsa Indian Maya, Aztec dan Inca. Sementara penyelaman
dan penggalian bawah air di masa modern ini, lebih bertujuan
untuk dapat mengetahui berbagai bentuk peradaban yang punah
karena letusan gunung, gempa bumi, dan geIombang pasang.
Sumur Suku Maya
Para ahli ini sekarang tak cuma beroperasi di teluk-teluk dan
laut bebas. Tapi juga di perairan air tawar, seperti orang-orang
Rusia yang menyelam di dasar danau Svetloyar, dataran Volga
tengah dan menemukan kota Kitezh yang tenggelam 800 tahun yang
lalu.
Di Mexico, ada juga yang mengubek-ubek dasar sumur-sumur
pengorbanan suku Maya, di mana ratusan manusia dan benda korban
telah dicemplungkan untuk meminta rahmat dewa hujan dan air,
Chac.
Di Indonesia, tampaknya belum ada yang tertarik pada profesi
yang betul-betul basah ini. Kecuali segelintir orang asing
pimpinan PT Inco di Soroako (Sul-Sel), yang telah menemukan
senjata-senjata kuno di gua 13 meter di bawah muka danau Matano,
dua tahun lalu. Di gua bawah-air danau yang jauh lebih dalam
dari laut Jawa itu (645 meter), Paul Savoy, Dr Bell dan kedua
isteri mereka juga telah menemukan sejumlah kerangka manusia
yang seperti dikubur bersama senjata tajamnya di sana. (TEMPO,
11 Desember 1976). Sayangnya, walaupun banyak dari pedang,
parang, dan tombak tua itu diserahkan oleh Paul Savoy pada
orang-orang yang katanya mau menanyakan umur dan asal-usul
senjata kuno itu ke museum di Jakarta, sampai kini belum pernah
ada jawaban.
Ekspedisi resmi dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan
Nasional juga belum sampai ke Danau Matano yang No. 2 dalamnya
di dunia. Padahal, boleh juga danau itu diusulkan sebagai salah
satu ajang latihan generasi peneliti purbakala bawah-air
Indonesia di masa mendatang. Sebab, teka-teki ke mana hilangnya
kebudayaan pandai besi suku bangsa di sekitar Pegunungan Verbeek
dan Danau Matano itu, sampai sekarang juga belum terjawab dengan
pasti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini