Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mencari kota yang tenggelam

6 orang penyelidik, dipimpin ahli geografi-fisika jepang berangkat dengan kapal kelepas pantai shihoku, dekat kota susaki, dilengkapi alat-alat elektronika mutakhir untuk mencari p. shihoku yang tenggelam. (ilt)

26 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERIBU tahun yang silam, sebuahkota di pantai P. Shihoku yang kini menjadi Teluk Tosa, tenggelam ditelan gelombang pasang dan gempa bumi. Ada seribu keluarga anak manusia yang ikut tenggelam lantaran tak sempat melarikan diri dari serangan tsunami itu. Begitulah dongeng rakyat Jepang di kawasan itu, hampir mirip legenda hilangnya kota Atlantis di Laut Aegia, Yunani. Namun 15 tahun silam, sisa-sisa kota di dasar Samudera Pasifik itu ditemukan oleh beberapa penyelam secara kebetulan. Sejak saat itu, mulailah persiapan penyelidikan ilmiah untuk mencari kota yang persisnya hilang 1300 tahun silam. Awal Agustus yang lalu, serombongan penyelidik berangkat dengan kapal ke lepas pantai Shikoku itu, dekat kota Susaki. Keenam orang itu dipimpin oleh ahli geografi-fisika Jepang, Prof Jiro Katto. Seorang penyelam scuba (self-contained underwater breathing apparatus) termasuk dalam awak kapal itu, yang juga dilengkapi alat-alat elektronika mutakhir. Dengan demikian, Jepang boleh diKata merupakan bangsa Asia pertama yang mulai memasuki bidang penyelidikan arkeologi bawah-air. Sejauh ini, penyelidikan paling banyak dilakukan di Laut Tengah, Laut Utara, dan Laut Karibia. Penyelaman di laut Aegia antara Yunani dan Turki misalnya, telah menemukan kembali kota Thira ibukota kerajaan Minoa, yang tenggelam hampir 3500 tahun silam. Letaknya di dasar laut, dalam laguna pulau Santorin yang dulu merupakan gunung api setinggi 1500 meter di atas muka laut. Atlantis Sekitar tahun 1480 Sebelum Masehi, gunung Santorin purba itu meletus. Seperti juga letusan Krakatau Purba, gunungnya sendiri amblas membentuk semacam kaldera di dasar laut. Amblasnya gunung purba itu mendepak 62 milyar meter kubik air laut yang menghambur bergelombang-gelombang setinggi ratusan meter. Tsunami ini melesat ke luar Laut Aegia ke segenap penjuru Laut Tengah dengan kecepatan 500 km/jam. Bencana alam inilah yang diduga merupakan bahan mentah kisah filsuf Yunani Plato tentang "benua Atlantis yang hilang". Setelah penyelaman dan penggalian ahli-ahli arkeologi Universitas Athena menemukan kota Thira yang masih utuh di dasar laut, banyak orang mengambil kesimpulan: itulah 'benua Atlantis yang hilang' itu. Seperti digambarkan oleh George Pararas-Carayannis, Direktur Pusat Informasi Tsunami Internasional di Honolulu, kebudayaan kerajaan yang lenyap ditelan bah itu memang sudah lumayan tingginya. Gedung-gedungnya, ada yang bertingkat satu, dua dan tiga. Di dalamnya ditemukan banyak artifak Minoa dan alat-alat rumah tangga. Tapi kerangka manusia, tak satu pun yang ditemukan di situ. Ada kemungkinan, penduduk kota Minoa sudah mengenal sistim tanda bahaya sebelum gunung api meletus, sehingga mereka punya cukup waktu mengungsi dari pulau itu. Menggeliat Bencana alam yang lebih 'muda', telah menenggelamkan kota Port Roval di Jamaica, Laut Karibia, hampir dua abad silam. Bandar itu dulu dikenal sebagai pusat perdagangan Spanyol yang paling terkenal di Karibia, bahkan di seluruh Amerika waktu itu. Menjelang senja hari, 7 Juni 1692, terasa bumi di bawah Port Royal menggeliat tiga kali, yang segera disusul gelombang pasang. Tak ada lagi waktu untuk mengungsi. Sebab dalam beberapa menit saja, 90% dari kota bergedung 2000 itu -- kebanyakan bertingkat dua dan tiga -- atau amblas atau meluncur ke dalam laut. Lebih dari 2000 orang meninggal seketika. Kerugian harta benda tak tertaksir banyaknya. Catatannya kebanyakan tersimpan di arsip-arsip pemerintahan kolonial Spanyol. Berpedoman pada arsip-arsip Spanyol itu, tahun 1966 pemerintah Jamaica mulai melancarkan operasi penyelaman dan penggalian besar-besaran untuk menemukan bandar abad ke-17 yang tenggelam itu. Walaupun lokasi kota di bawah-air itu tak terlalu dalam -- berkisar antara 1 sampai 20 meter -- sedang seluruh lokasi yang diselami 'hanya' 140 ribu mÿFD, toh penyelaman dan pengangkatan artifak-artifak Port Royal praktis makan waktu tiga tahun. Soalnya, pasir, lumpur, karang dan tanah keras telah berlapis-lapis menutupi peninggalan sejarah itu. Mula-mula pasirnya harus disemprot. Lalu lumpur keras dan pecahan-pecahan karang mati setebal 1 - 1,8 meter. Di bawahnya masih ada sekitar 70% pasir hitam dan 30% batu kerikil. Semuanya itu disedot dengan pompa-pompa hidrolis, pancaran air dan pancaran udara dengan hati-hati sekali, agar artifak yang sudah berlumut dan berkeong itu tak tambah rusak. Cabang ilmu purbakala ini memang masih relatif muda sekitar 30 tahun. Walaupun tak boleh dilupakan usaha-usaha orang Spanyol, yang di tahun 1622 tanpa perlengkapan penyelam modern sudah berusaha mengangkat perahu-perahu yang tenggelam di Laut Karibia. Waktu itu, motivasinya memang tak murni ilmiah. Sebab banyak kapal-kapal Spanyol yang berlayar dari Amerika ke Eropa tenggelam dalam keadaan sarat bermuatan emas dan harta benda bangsa-bangsa Indian Maya, Aztec dan Inca. Sementara penyelaman dan penggalian bawah air di masa modern ini, lebih bertujuan untuk dapat mengetahui berbagai bentuk peradaban yang punah karena letusan gunung, gempa bumi, dan geIombang pasang. Sumur Suku Maya Para ahli ini sekarang tak cuma beroperasi di teluk-teluk dan laut bebas. Tapi juga di perairan air tawar, seperti orang-orang Rusia yang menyelam di dasar danau Svetloyar, dataran Volga tengah dan menemukan kota Kitezh yang tenggelam 800 tahun yang lalu. Di Mexico, ada juga yang mengubek-ubek dasar sumur-sumur pengorbanan suku Maya, di mana ratusan manusia dan benda korban telah dicemplungkan untuk meminta rahmat dewa hujan dan air, Chac. Di Indonesia, tampaknya belum ada yang tertarik pada profesi yang betul-betul basah ini. Kecuali segelintir orang asing pimpinan PT Inco di Soroako (Sul-Sel), yang telah menemukan senjata-senjata kuno di gua 13 meter di bawah muka danau Matano, dua tahun lalu. Di gua bawah-air danau yang jauh lebih dalam dari laut Jawa itu (645 meter), Paul Savoy, Dr Bell dan kedua isteri mereka juga telah menemukan sejumlah kerangka manusia yang seperti dikubur bersama senjata tajamnya di sana. (TEMPO, 11 Desember 1976). Sayangnya, walaupun banyak dari pedang, parang, dan tombak tua itu diserahkan oleh Paul Savoy pada orang-orang yang katanya mau menanyakan umur dan asal-usul senjata kuno itu ke museum di Jakarta, sampai kini belum pernah ada jawaban. Ekspedisi resmi dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional juga belum sampai ke Danau Matano yang No. 2 dalamnya di dunia. Padahal, boleh juga danau itu diusulkan sebagai salah satu ajang latihan generasi peneliti purbakala bawah-air Indonesia di masa mendatang. Sebab, teka-teki ke mana hilangnya kebudayaan pandai besi suku bangsa di sekitar Pegunungan Verbeek dan Danau Matano itu, sampai sekarang juga belum terjawab dengan pasti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus