Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Intan yang mahal, pendulang yang ...

Tentang suka duka kehidupan para pendulang intan di riam kanan, riam kiwa kabupaten banjar. mereka bekerja rombongan dengan seorang sebagai tatuha luang atau cukong, penemunya disebut panyolong.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KILAU-KEMILAU intan agaknya selalu menanarkan mata. Tapi cahayanya juga seperti melambangkan kemegahan hidup para pemiliknya. Karena itu tak perlu heran kalau ribuan orang di Kalimantan saban hari menggali lubang di lembah, di bukit maupun sungai. Paling menonjol di kawasan Cempaka, Riam Kanan dan Riam Kiwa kabupaten Banjar. Mereka bekerja secara berombongan. Biasanya antara 25 sampai 30 orang. Seorang di antaranya disebut tatuha luang, Kata lain untuk istilah cukong atau sponsor. Dialah yang mengeluarkan segala perongkosan untuk keperluan anggota rombongan bekerja maupun resiko dapur selama operasi berjalan. Kalau intan ditemukan, lantas dijual, hasilnya dibagi rata, kecuali penemu pertama (biasa disebut panyolong) atau orang terdepan yang menggali lubang. Tatuha luang yang mendapat bagian istimewa. Sebelas tahun lalu, persisnya 26 Agustus 1965, satu intan besar ditemukan di desa Pumpung, 3 Km dari Cempaka. Beratnya 166,75 kerat (1 kerat sama dengan 0,2 Kg). Bisa dibayangkan berapa nilainya. Boleh difaham, Syukri yang waktu itu jadi panyolong lantas 3 hari 3 malam tak bisa tidur. Dan ibu dari tatuha luang yang bernama Matsyam konon kesurupan dan meminta pada anaknya agar intan tersebut ditepung-tawari alias diselamati. Tak lama setelah itu intan tadi diperlihatkan kepada bupati. Entah bagaimana awal rembugannya, lantas benda berharga itu diserahkan kepada Presiden Sukarno. Tak kurang dari Bupati dan Kepala Polisi (ditambah pejabat lain) setempat sendiri yang mengantarkannya ke Jakarta. Para pendulang sendiri tak ikut. Matsyam sebagai tatuha luang semula tercatat untuk berangkat, belakangan dikabarkan semaput sebelum sempat ke lapangan terbang. Oleh Sukarno intan tadi diberi nama Intan Trisakti. Matsyam dan Syukri plus anggota regunya yang lain berikut isteri masing-masing sempat naik haji di samping menerima imbalan uang sebesar Rp 3,5 juta yang dibayarkan kepada 25 orang penggali intan. Mencari kostum untuk pergi haji ketika itu memang sulit. Itulah sebab pada mulanya mereka gembira. Bagaimana pun jumlah yang mereka terima semuanya tidak seimbang dengan nilai apabila intan yang 166,75 kerat itu dijual di pasar. Karena itu sesudah jadi haji beberapa kali Matsyam datan ke Jakarta mengetuk hati orang pusat buat meninjau kembali imbalan yang sudah diberikan. Hasilnya? "Sudah 4 ekor kerbau ayah terjual buat ongkos mondar-mandir, hasilnya nihil", tutur Matsyam. Padahal katanya, "kehendak menyerahkan intan Trisakti kepada Presiden Sukarno waktu itu bukan kehendak kami para penemu, melainkan cuma kehendak bupati". Maka kalau ada kenangan dari peristiwa 11 tahun lalu itu, tak lain cuma titel haji. Nasib Matsyam dan anak buahnya kini kembali seperti sebelum intan Trisakti ditemukan. Waktu itu Matsyam baru punya 2 anak. Sekarang sudah setengah lusin. Empat orang di antaranya, yang besar-besar, kini menjajakan kuwe seorang tetagganya untuk membantu tanggungan ayahnya. Status Matsyam sebagai tatuha luang masih tetap. Tapi, "jika hutang-hutang harus saya lunasi sekarang, harta saya yang tinggal mungkin cuma rumah ini yang sudah berantakan dengan atap bolong-bolong", katanya. Lampu Sorot Sesungguhnyalah, nasib para penggali intan tidak semegah harga intan itu sendiri. Satu dua kali ada berita tersiar tentang intan dan penemunya. Tapi hampir tidak pernah ada berita tentang ribuan penggali yang belum ketiban rezeki. Padahal kerja menggali intan sudah pasti bukan kerja enteng. Secara berombongan, laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, terjun ke kali. Dengan linggis dan sejumlah peralatan lain mereka menggali tanah sampai berbentuk terowongan lebih dari 10 meter di bawah permukaan. Selama berhari-hari membuat terowongan sampai lebih dari 20 meter panjangnya terkadang hasilnya hampa. Kalau toh berhasil biasanya hanya berupa lantakan, intan kecil satu dua kerat yang kalau dijual hasilnya terkadang belum mampu mengembalikan modal yang telah dikeluarkan tatuha luang. Meski begitu daya tarik untuk memburunya tetap besar bagi masyarakat Banjar. Apa boleh buat. Sebab bermata pencaharian begini selain sudah turun-temurun, juga kesempitan lapangan kerja di sektor lain selalu menghimpit. Di daerah pendulangan rakyat -- harap maklum, PN Aneka Tambang unit intan punya wilayah konsesi tertentu yang tentu saja tak boleh dijamah sembarang orang -- di desa Pumpung saja kini tercatat sekitar 50 regu. Seorang di antaranya adalah Syarkawi, 26 tahun yang bekerja di bawah tatuha luang bernama Sabrah Jailani, kakak iparnya sendiri. Sabrah Jailani masih perjaka. Tamat SD tahun 1965. Bersaudara 4 orang, yang masih kecil-kecil (dia anak tertua), Ia asli kelahiran Cempaka. Tapi ketika awal tahun 1950-an gerombolan Ibnu Hajar beraksi, keluarganya hijrah ke Martapura. Haji Masykur ayahnya jual beli intan. Setamat SD Syarkawi sebagai anak tertua diajaknya berdagang. Sempat 2 tahun berdagang, pasar intan sepi. Sementara itu sang ayah keburu meninggal. Sedikit warisan memang ada. Bagaimana pun hal itu agaknya tak bisa dipertahankan terus untuk jadi andalan. Janda Haji Masykur sekeluarga kembali ke Cempaka. Sabrah Jailani, ipar Syarkawi dari saudara seibu kebetulan jadi tatuha luang. Syarkawi bergabung dengannya. Minat Syarkawi untuk mendulang ternyata besar. Kecuali warisan darah orang tua serta pengaruh lingkungan, ia sendiri merasa gagah. Bukan saja ia sanggup mengorek-ngorek tanah bahkan juga berani membuat terowongan. Dengan linggis sehari-hari ia turun ke lubang, berdiri paling muka, bersama seorang kawannya bertugas sebagai panyolong. Syarkawi dan kawannya itu mengendap-endap merumbih lapisan batu. Lantas diambilnya untuk kemudian disorongkan ke belakang dan segera disambut kawan-kawan yang lain untuk selanjutnya secara beranting dibawa ke atas. Suasana di terowongan tentu saja gelap. Untuk itu tatuha luang menyediakan lampu sorot yang diturunkan ke bawah dengan kabel panjang dari pangkal aki yang ada di atas permukaan. Jika lampu itu macet, Syarkawi bisa menyalakan lampu senter yang juga dibawanya. Sewaktu-waktu maut bukan mustahil datang, yakni kalau tanah ambruk. Sebegitu jauh nasibnya masih jaya, syukurlah. Dua kali, suatu ketika pernah tanah anjlog. Tapi kawannya di bagian atas cepat memberitahu. Syarkawi dan kawannya sempat menyelamatkan diri. Usaha mencegah tanah longsor itu bukan tak ada. Langit-langit terowongan itu dipagari dengan kayu. Celah-celah air disumbat dengan lalang. Bagaimanapun, menyinggung perkara kemungkinan datangnya maut itu, ia dan semua kawannya tampak pasrah. Yang sering dirisaukan adalah diam di bawah terowongan seringkali sesak napas. Untung ada akal. Satu kincir angin sederhana, dari bambu dan kayu, dipasang di atas, lantas dipompakan ke arah bawah. 2 Pungutan Ada pengalaman menyenangkan baginya. Kehidupan timba-menimba tanah dari terowongan ke atas merupakan kehidupan yang bebas. Senda gurau merupakan bumbu yang mengasyikkan mereka. Tak kecuali dengan menggunakan kata-kata yang di medan pergaulan biasa bisa disebut jorok. Segumpal tanah berlumpur acap kali jatuh menimpa salah seorang di antara mereka. "Nah, itu dia korban bom atom Hirosyima", kata salah seorang di antara mereka dikutip Syarkawi. Tak jarang terjadi kejadian ini: seorang yang di bagian atas terdesak ingin buang air kecil yang apa boleh buat terpaksa dilepas seenaknya. Marahkah yang di bawah? Ternyata tidak. "Itu biasa", ujar Syarkawi. Alhasil, dengan corak kehidupan bebas dan akrab, kecapekan kerja kadang terlupakan. Setidak-tidaknya kalau satu waktu ada sentuhan kata yang nyangkut di hati, biasanya segera cair apabila tiba saat mereka mandi bersama menjelang mendarat. Begitu akrabnya, beberapa kali pernah terjadi, dari kesempatan mandi bersama antara perjaka dan gadis lantas tumbuh kembang jodoh. Namun senda gurau bukan hanya timbul di antara sesama regu. Setelah lebih dari 20 meter menggali terowongan ada kalanya lantas tembus dengan terowongn lain yang rupanya digali regu lain dari arah berlawanan. Serta merta panyolong dengan panyolong saling bertepuk tangan atau barter rokok dengan korek api. Meski begitu Asfihani adik Syarkawi jatuh kasihan. Begitu beratnya kerja memburu intan, tak jarang Syarkawi baru tengah malam keluar dari terowongan atau sampai di rumah. Kata Asfihani, satu waktu ia pernah terbangun tidur jam 3 dinihari. Di sebelahnya, Syarkawi tak tampak. "Ia biasa tidur satu dipan dengan saya", ujar Asfihani yang sehari-hari bekerja sebagai guru SD di desanya. Dan memang, sebagai panyolong Syarkawi bisa kebagian rejeki 5 x lipat dari kawannya yang lain. Sejauh itu ternyata belum pernah ketiban rezeki sampai Rp 100 ribu misalnya. "Yang saya dapat paling sepuluh dua puluh ribu, tapi itu ada kalanya baru setelah satu dua bulan kerja". Itulah sebabnya ia tak berangan-angan 3 adiknya ikut jadi pendulang. "Saya berharap ia bisa terus sekolah sampai jadi apa saja, pokoknya tidak setengah-setengah", kata Syarkawi. Caranya? Ia dan Asfihani bekerja mati-matian untuk kelanjutan sekolah adik-adik mereka itu. Dan fikiran Syarkawi agaknya juga sudah menular pada banyak warga sekawasnnya yang lain. "Dulu tak banyak anak Cempaka yang tamat SD sampai kelas V juga jarang. Umumnya sering cepat ditarik orang tua mereka ke pendulangan. Sekarang sudah berubah". Itu kata Setta, kepala SD di Cempaka. Tapi kerisauan yang melanda para pendulang bukan cuma soal kerja berat dengan hasil yang langka. Untuk setiap intan yang ditemukan ada 2 pungutan wajib: pajak (pungutan pemerintah pusat) dan retribusi (pungutan pemerintah daerah). Meski menurut Walikota Banjarbaru Haji Abdul Mui, "retribusi intan bagi daerah bukan income utama ancer-ancer pemasukan tahun ini cuma Rp 3 juta, dan itu belum tentu tercapai, sebab tahun lalu saja cuma bisa dihasilkan Rp 2 juta". Sumber utama atau bukan bagi pemerintah daerah, yang merisaukan para pendulang ialah mengapa mesti ada 2 macam pungutan. Tak tahulah, bagaimana pula beban itu setelah pungutan-pungutan tadi dinyatakan terlarang belum lama ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus