KILAU-KEMILAU intan agaknya selalu menanarkan mata. Tapi
cahayanya juga seperti melambangkan kemegahan hidup para
pemiliknya. Karena itu tak perlu heran kalau ribuan orang di
Kalimantan saban hari menggali lubang di lembah, di bukit maupun
sungai. Paling menonjol di kawasan Cempaka, Riam Kanan dan Riam
Kiwa kabupaten Banjar. Mereka bekerja secara berombongan.
Biasanya antara 25 sampai 30 orang. Seorang di antaranya disebut
tatuha luang, Kata lain untuk istilah cukong atau sponsor.
Dialah yang mengeluarkan segala perongkosan untuk keperluan
anggota rombongan bekerja maupun resiko dapur selama operasi
berjalan. Kalau intan ditemukan, lantas dijual, hasilnya dibagi
rata, kecuali penemu pertama (biasa disebut panyolong) atau
orang terdepan yang menggali lubang. Tatuha luang yang mendapat
bagian istimewa.
Sebelas tahun lalu, persisnya 26 Agustus 1965, satu intan besar
ditemukan di desa Pumpung, 3 Km dari Cempaka. Beratnya 166,75
kerat (1 kerat sama dengan 0,2 Kg). Bisa dibayangkan berapa
nilainya. Boleh difaham, Syukri yang waktu itu jadi panyolong
lantas 3 hari 3 malam tak bisa tidur. Dan ibu dari tatuha luang
yang bernama Matsyam konon kesurupan dan meminta pada anaknya
agar intan tersebut ditepung-tawari alias diselamati. Tak lama
setelah itu intan tadi diperlihatkan kepada bupati. Entah
bagaimana awal rembugannya, lantas benda berharga itu diserahkan
kepada Presiden Sukarno. Tak kurang dari Bupati dan Kepala
Polisi (ditambah pejabat lain) setempat sendiri yang
mengantarkannya ke Jakarta. Para pendulang sendiri tak ikut.
Matsyam sebagai tatuha luang semula tercatat untuk berangkat,
belakangan dikabarkan semaput sebelum sempat ke lapangan
terbang. Oleh Sukarno intan tadi diberi nama Intan Trisakti.
Matsyam dan Syukri plus anggota regunya yang lain berikut isteri
masing-masing sempat naik haji di samping menerima imbalan uang
sebesar Rp 3,5 juta yang dibayarkan kepada 25 orang penggali
intan. Mencari kostum untuk pergi haji ketika itu memang sulit.
Itulah sebab pada mulanya mereka gembira. Bagaimana pun jumlah
yang mereka terima semuanya tidak seimbang dengan nilai apabila
intan yang 166,75 kerat itu dijual di pasar. Karena itu sesudah
jadi haji beberapa kali Matsyam datan ke Jakarta mengetuk hati
orang pusat buat meninjau kembali imbalan yang sudah diberikan.
Hasilnya? "Sudah 4 ekor kerbau ayah terjual buat ongkos
mondar-mandir, hasilnya nihil", tutur Matsyam. Padahal katanya,
"kehendak menyerahkan intan Trisakti kepada Presiden Sukarno
waktu itu bukan kehendak kami para penemu, melainkan cuma
kehendak bupati". Maka kalau ada kenangan dari peristiwa 11
tahun lalu itu, tak lain cuma titel haji. Nasib Matsyam dan anak
buahnya kini kembali seperti sebelum intan Trisakti ditemukan.
Waktu itu Matsyam baru punya 2 anak. Sekarang sudah setengah
lusin. Empat orang di antaranya, yang besar-besar, kini
menjajakan kuwe seorang tetagganya untuk membantu tanggungan
ayahnya. Status Matsyam sebagai tatuha luang masih tetap. Tapi,
"jika hutang-hutang harus saya lunasi sekarang, harta saya yang
tinggal mungkin cuma rumah ini yang sudah berantakan dengan atap
bolong-bolong", katanya.
Lampu Sorot
Sesungguhnyalah, nasib para penggali intan tidak semegah harga
intan itu sendiri. Satu dua kali ada berita tersiar tentang
intan dan penemunya. Tapi hampir tidak pernah ada berita tentang
ribuan penggali yang belum ketiban rezeki. Padahal kerja
menggali intan sudah pasti bukan kerja enteng. Secara
berombongan, laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, terjun
ke kali. Dengan linggis dan sejumlah peralatan lain mereka
menggali tanah sampai berbentuk terowongan lebih dari 10 meter
di bawah permukaan. Selama berhari-hari membuat terowongan
sampai lebih dari 20 meter panjangnya terkadang hasilnya hampa.
Kalau toh berhasil biasanya hanya berupa lantakan, intan kecil
satu dua kerat yang kalau dijual hasilnya terkadang belum mampu
mengembalikan modal yang telah dikeluarkan tatuha luang. Meski
begitu daya tarik untuk memburunya tetap besar bagi masyarakat
Banjar. Apa boleh buat. Sebab bermata pencaharian begini selain
sudah turun-temurun, juga kesempitan lapangan kerja di sektor
lain selalu menghimpit. Di daerah pendulangan rakyat -- harap
maklum, PN Aneka Tambang unit intan punya wilayah konsesi
tertentu yang tentu saja tak boleh dijamah sembarang orang -- di
desa Pumpung saja kini tercatat sekitar 50 regu. Seorang di
antaranya adalah Syarkawi, 26 tahun yang bekerja di bawah tatuha
luang bernama Sabrah Jailani, kakak iparnya sendiri.
Sabrah Jailani masih perjaka. Tamat SD tahun 1965. Bersaudara 4
orang, yang masih kecil-kecil (dia anak tertua), Ia asli
kelahiran Cempaka. Tapi ketika awal tahun 1950-an gerombolan
Ibnu Hajar beraksi, keluarganya hijrah ke Martapura. Haji
Masykur ayahnya jual beli intan. Setamat SD Syarkawi sebagai
anak tertua diajaknya berdagang. Sempat 2 tahun berdagang, pasar
intan sepi. Sementara itu sang ayah keburu meninggal. Sedikit
warisan memang ada. Bagaimana pun hal itu agaknya tak bisa
dipertahankan terus untuk jadi andalan. Janda Haji Masykur
sekeluarga kembali ke Cempaka. Sabrah Jailani, ipar Syarkawi
dari saudara seibu kebetulan jadi tatuha luang. Syarkawi
bergabung dengannya.
Minat Syarkawi untuk mendulang ternyata besar. Kecuali warisan
darah orang tua serta pengaruh lingkungan, ia sendiri merasa
gagah. Bukan saja ia sanggup mengorek-ngorek tanah bahkan juga
berani membuat terowongan. Dengan linggis sehari-hari ia turun
ke lubang, berdiri paling muka, bersama seorang kawannya
bertugas sebagai panyolong. Syarkawi dan kawannya itu
mengendap-endap merumbih lapisan batu. Lantas diambilnya untuk
kemudian disorongkan ke belakang dan segera disambut kawan-kawan
yang lain untuk selanjutnya secara beranting dibawa ke atas.
Suasana di terowongan tentu saja gelap. Untuk itu tatuha luang
menyediakan lampu sorot yang diturunkan ke bawah dengan kabel
panjang dari pangkal aki yang ada di atas permukaan. Jika lampu
itu macet, Syarkawi bisa menyalakan lampu senter yang juga
dibawanya.
Sewaktu-waktu maut bukan mustahil datang, yakni kalau tanah
ambruk. Sebegitu jauh nasibnya masih jaya, syukurlah. Dua kali,
suatu ketika pernah tanah anjlog. Tapi kawannya di bagian atas
cepat memberitahu. Syarkawi dan kawannya sempat menyelamatkan
diri. Usaha mencegah tanah longsor itu bukan tak ada.
Langit-langit terowongan itu dipagari dengan kayu. Celah-celah
air disumbat dengan lalang. Bagaimanapun, menyinggung perkara
kemungkinan datangnya maut itu, ia dan semua kawannya tampak
pasrah. Yang sering dirisaukan adalah diam di bawah terowongan
seringkali sesak napas. Untung ada akal. Satu kincir angin
sederhana, dari bambu dan kayu, dipasang di atas, lantas
dipompakan ke arah bawah.
2 Pungutan
Ada pengalaman menyenangkan baginya. Kehidupan timba-menimba
tanah dari terowongan ke atas merupakan kehidupan yang bebas.
Senda gurau merupakan bumbu yang mengasyikkan mereka. Tak
kecuali dengan menggunakan kata-kata yang di medan pergaulan
biasa bisa disebut jorok. Segumpal tanah berlumpur acap kali
jatuh menimpa salah seorang di antara mereka. "Nah, itu dia
korban bom atom Hirosyima", kata salah seorang di antara mereka
dikutip Syarkawi. Tak jarang terjadi kejadian ini: seorang yang
di bagian atas terdesak ingin buang air kecil yang apa boleh
buat terpaksa dilepas seenaknya. Marahkah yang di bawah?
Ternyata tidak. "Itu biasa", ujar Syarkawi. Alhasil, dengan
corak kehidupan bebas dan akrab, kecapekan kerja kadang
terlupakan. Setidak-tidaknya kalau satu waktu ada sentuhan kata
yang nyangkut di hati, biasanya segera cair apabila tiba saat
mereka mandi bersama menjelang mendarat. Begitu akrabnya,
beberapa kali pernah terjadi, dari kesempatan mandi bersama
antara perjaka dan gadis lantas tumbuh kembang jodoh. Namun
senda gurau bukan hanya timbul di antara sesama regu. Setelah
lebih dari 20 meter menggali terowongan ada kalanya lantas
tembus dengan terowongn lain yang rupanya digali regu lain dari
arah berlawanan. Serta merta panyolong dengan panyolong saling
bertepuk tangan atau barter rokok dengan korek api.
Meski begitu Asfihani adik Syarkawi jatuh kasihan. Begitu
beratnya kerja memburu intan, tak jarang Syarkawi baru tengah
malam keluar dari terowongan atau sampai di rumah. Kata
Asfihani, satu waktu ia pernah terbangun tidur jam 3 dinihari.
Di sebelahnya, Syarkawi tak tampak. "Ia biasa tidur satu dipan
dengan saya", ujar Asfihani yang sehari-hari bekerja sebagai
guru SD di desanya. Dan memang, sebagai panyolong Syarkawi bisa
kebagian rejeki 5 x lipat dari kawannya yang lain. Sejauh itu
ternyata belum pernah ketiban rezeki sampai Rp 100 ribu
misalnya. "Yang saya dapat paling sepuluh dua puluh ribu, tapi
itu ada kalanya baru setelah satu dua bulan kerja". Itulah
sebabnya ia tak berangan-angan 3 adiknya ikut jadi pendulang.
"Saya berharap ia bisa terus sekolah sampai jadi apa saja,
pokoknya tidak setengah-setengah", kata Syarkawi. Caranya? Ia
dan Asfihani bekerja mati-matian untuk kelanjutan sekolah
adik-adik mereka itu.
Dan fikiran Syarkawi agaknya juga sudah menular pada banyak
warga sekawasnnya yang lain. "Dulu tak banyak anak Cempaka yang
tamat SD sampai kelas V juga jarang. Umumnya sering cepat
ditarik orang tua mereka ke pendulangan. Sekarang sudah
berubah". Itu kata Setta, kepala SD di Cempaka. Tapi kerisauan
yang melanda para pendulang bukan cuma soal kerja berat dengan
hasil yang langka. Untuk setiap intan yang ditemukan ada 2
pungutan wajib: pajak (pungutan pemerintah pusat) dan retribusi
(pungutan pemerintah daerah). Meski menurut Walikota Banjarbaru
Haji Abdul Mui, "retribusi intan bagi daerah bukan income utama
ancer-ancer pemasukan tahun ini cuma Rp 3 juta, dan itu belum
tentu tercapai, sebab tahun lalu saja cuma bisa dihasilkan Rp 2
juta". Sumber utama atau bukan bagi pemerintah daerah, yang
merisaukan para pendulang ialah mengapa mesti ada 2 macam
pungutan. Tak tahulah, bagaimana pula beban itu setelah
pungutan-pungutan tadi dinyatakan terlarang belum lama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini