Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dua kisah bencana alam

Penduduk desa mutabe yang terletak di teluk tolo, sulawesi tengah merasa ketakutan karena dua bencana alam mengancam mereka, letusan gunung natalulu dan musibah serangan air laut pasang.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERKESIAP juga orang membaca berita koran-koran ibukota, gunung Natalulu meletus. Gunung itu dikabarkan memuntahkan lahar yang hebat dan menghanguskan hutan belantara tepat di bawah kaki gunung di mana terdapat sebuah desa. Berita ini turut pula disiarkan oleh beberapa radio luar negeri. Tentu saja berita ini terlalu dibesar-besarkan. Sebab menurut pengamatan kemudian dari direktorat geologi Bandung, Sulawesi Tengah -- termasuk sampai di bagian Sulawesi Selatan -- tidak termasuk dalam jalur gunung api aktif. Gunung Natalulu (500 meter) terdapat di wilayah kecamatan Lembo 200 km di tenggara kota Poso (ibukota kabupaten). Tanggal 13 Pebruari lewat sekira pukul 20.00 memang memperdengarkan letusan disertai goncangan hebat. Tetapi tidak ada batu-batuan yang terlempar apalagi lahar seperti ramai menjadi berita koran itu. Yang ada hanya tercium bau belerang, itupun lenyap beberapa jam kemudian. Entah bagaimana juga timbul nyala api yang menyebabkan pepohonan disekitar puncak gunung itu terbakar dan tumbang. Sumber kepulan asap itu telah menimbulkan kepanikan penduduk desa Koro walelo, 2 km jaraknya dari gunung Natalulu. Banyak yang menyangka gunung itu tak lama akan meletup sehingga tanpa menunggu perintah lagi mereka ramai-ramai mengungsi. Pemerintah daerah setempat tak kurang juga resahnya sehingga cepat-cepat mengetok SOS ke Direktorat Geologi di Bandung yang kemudian mengirimkan team pengamat ke sana. Syukur hasil pengamatan itu memberikan gambaran tak ada bahaya yang mengancam dan penduduk tak perlu diungsikan besar-besaran seperti sudah menjadi rencana pemda dan kanwil sosial. Mattebbing Rasa takut yang merasuk penduduk dan pemdanya tentu saja beralasan. Selain sudah sering mendengar akibat gunung berapi di Jawa (bahkan turut menampung sebagian korbannya sebagai transmigrasi) juga dalam tahun 1971 pernah terjadi gempa bumi tektonik di sekitar tempat itu yang menimbulkan kerugian materil cukup besar. Apalagi gunung Natalulu yang merupakan perbukitan batu gamping kristalin berwarwa putih keabu-abuan itu jika diterjemahkan dari bahasa derah setempat berarti "tanah goyang". Konon di sana sejak dari dahulu selalu terjadi gempabumi. Sebenarnya bencana alam lain yang sudah meminta korban benda cukup besar terdapat tidak jauh dari gunung Natalulu sendiri. Sayang belum sempat menghebohkan seperti Natalulu dan belum sempat masuk dalam berita koran. Desa Matube terletak di tepi pantai teluk Tolo dalam kecamatan Bungku Utara hampir saja habis ditelan laut. Desa ini dihuni hanya 73 kepala keluarga (404 jiwa). Dulunya mempunyai luas 30 ha dan kini tinggal tersisa tak lebih dari 10 ha. Penduduknya hatnpir 100% bermata pencaharian nelayan ikan. Setiap tahun (terutama dalam bulan Juni sampai September) mengalami musibah serangan air pasang. Penduduk hanya bisa melongo menyaksikan air laut dan pukulan ombak yang cukup dahsyat merontokkan rumah-rumah tinggal mereka sampai habis disapu air laut. Bahkan kuburan pun yang ada di desa itu sudah lenyap dan berobah menjadi laut. Yang paling menyedihkan sekolah dasar semi permanen terdiri dari 3 lokal dan menampung 82 murid kelas I sampai VI juga sudah terancam roboh. Kisah desa ini, pertama kali dihuni oleh kelompok perantau dari Bugis (Sulawesi Selatan). Kemudian datang juga suku Bajo dari kecamatan Pagimana wilayah kabupaten Banggai, tetangga terdekat kabupaten Poso. Seharian mereka menangkap ikan saja dan tidak pernah bertani karena struktur tanah di sana selain selalu digenangi air laut juga berpasir. Belum lagi endapan lumpur yang selalu dibawa gelombang dan menimbulkan bau yang cukup menusuk hidung. Hasil ikan itu mereka keringkan dan kemudian dijual kepada penadah yang menjualnya lagi ke Ujung Pandang. Walaupun resmi dalam status desa administratif dan menjadi bagian kecamatan Bungku Utara terhitung mulai tahun 1946 namun Matube menurut riwayat dihuni pertama kali oleh pendatang itu sejak tahun 1925. Nama Matube sendiri berasal dari bahasa Bugis "Mattebbing" yang artinya tebing, tentunya berasal dari penemunya pertama (orang Bugis). Ambo Dalle kepala desa Matube menuturkan kepada TEMPO, mulanya lokasi daratan di sana memang cukup luas dan cocok untuk dihuni pemukim-pemukim baru dari Sulawesi Selatan yang akan mengadu-nasib sebagai nelayan itu. Tetapi karena pengikisan ombak dan air laut akhirnya desa itu menciut menjadi kecil. Desa ini memang terisolir dari tetangganya karena tak mempunyai jalur jalan darat. Alat hubungan satu-satunya hanya melalui laut dengan perahu sampan. Walaupun demikian tak sedikit juga penduduk desa itu mulai mengganti rumah-rumah tinggal mereka yang berbentuk tiang panggung itu menjadi rumah beton. Maklum mereka cukup berduit dari hasil penjualan ikan. "Jelas kami tidak bisa bertahan lagi di sini" ucap Ambo Dalle yang merupakan kepala desa ke-4 sejak Matube resmi masuk dalam administratif pemerintahan. Walaupun penduduk di sana umumnya berleluhur pelaut Bugis dan orang Bajo sendiri kesohor suka hidup di laut tapi mereka merasa sudah tak mampu hidup dalam rongrongan pukulan air laut. "Lihat, dulu di sini penuh rumah tinggal penduduk, sekarang sudah berobah menjadi laut lepas" kata Ambo Dalle dengan penuh kuatir menunjukkan akibat keganasan laut di desanya.Tak mustahil desanya yang tersisa itu juga dalam waktu tak lama lagi akan menyusul berobah menjadi laut. Dalam nasib yang demikian, Ambo Dalle bersama seluruh penduduk di sana tak lain hanya mengharap ada yang turun-tangan bisa memindahkan mereka ke tempat yang aman sebelum desanya punah. Maklum sekarang urusan pindah-berpindah tidak semudah dulu lagi seperti mereka menempati Matube pertama kali. Memang masih banyak tanah kosong melompong di sekitar situ tetapi tidak berarti bebas pemilik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus