MAKA tanggal 4 Juli 1976 ini saya tepekur sambil sedikit pesta.
Saya membeli kalkun di samping hamburger dan Coca Cola. Bukankah
200 tahun sudah umur Kemerdeka Amerika? Umur ini memang kepalang
tanggung, mau dibilang tua, muda juga bisa. Yang jelas, negeri
saya sekarang ini negeri nomor satu di dunia. Rasanya, tak ada
penduduk dunia ini yang tak pernah dengar nama negeri saya.
Kalau ada, ini sudah keterlaluan. Bukankah Amerika punya Dubes
dan jual celana Levi's di mana-mana?
Pertama-tama saya menundukkan kepala bagi para "Bapak Pendiri",
istimewa buat Thomas Jefferson yang menulis naskah deklarasi
kemerdekaan dan Benjamin Franklin yang berhasil menyusun
konvensi konstitusi, "perenggut kilat dari langit dan tongkat
kerajaan dari tiran", kata seorang pelukis Perancis. Sesudah itu
saya mengangkat topi buat nenek-moyang saya maupun tetangga yang
berdatangan dari Eropa ke benua baru sambil gendong buntelan. Di
samping mereka itu orang-orang revolusioner, memang ada juga
bekas-bekas bangsawan yang tergusur. dari korsinya atau
gelandangan biasa, tapi yang pasti mereka itu sudah berjasa
besar merubah wajah benua Amerika sehingga jadi seperti sekarang
ini. Tentu saja, sayapun tidak bisa menyembunyikan rasa sedih
saya terhadap pribumi Indian, pemilik sejati negeri itu, yang
lari lintang-pukang seperti gerombolan kelinci, tapi apa hendak
dikata!
SPUTNIK
Sebagai orang Amerika, saya sungguh-sungguh bangga. Di muka
bumi ini rasanya warga Amerika seperti pohon palem di
tengah-tengah alang-alang, lebih gagah dan lebih sentausa.
Taroklah orang Yunani itu cikal-bakal dan jagonya ilmu politik
dan kebudayaan. Taroklah orang Romawi itu unggul dalam hal
hukum. Taroklah orang Perancis dan Rusia itu biangnya seni dan
kesusasteraan. Tapi Amerika? Dia telah mengangkat martabat dunia
ini dengan teknologi. Memang, mula pertama Revolusi Industri itu
ada di Inggeris, memang orang Jerman itu ada kebolehan penemu
ini-itu di bidang kimia organis atau pengolahan baja, tapi
Amerikalah yang berdiri paling depan. Dan memang orang Rusia
yang pertama kali meluncurkan Sputnik ke angkasa luar, tapi ini
satu kekecualian yang tidak perlu digubris samasekali. Dari
sejuta kelahiran, paling-paling cuma sekali ada bayi kepala dua,
apa artinya?
Cobalah tengok sendiri. Ke manapun tuan pergi, tuan bisa mencium
bau dolar walau sekarang ini sedikit merosot, toh wanginya
semerbak juga. Tuan bisa berjumpa dengan Chase Manhattan Bank.
Tuan bisa menginap di Hilton Hotel. Kalau busi mobil tuan mati,
tuan bisa beli busi merek Champion. Belum cukup? Tuan juga bisa
beli jagung goreng yang mesinnya hanya bisa dibikin di Amerika,
merubah bentuk butir-butir itu menjadi semacam geraham harimau.
Dan apabila tuan punya pembawaan sedikit rakus, tuanpun akan
dengan mudah menjumpai kedai penjual kue donat yang mesinnya
merupakan bukti penting revolusi teknologi-dapur, sehingga
sampai-sampai mendiang Nikita Khruschov pun terheran-heran
melihatnya. Dan ini: di kota manapun tuan akan menjumpai foto
Charles Bronson, di kaca mobil atau di pintu kakus. Mana ada
lelaki sehebat dia, hatta dibanding dengan Karl Marx sekalipun?
Itu belum seberapa. Saya berani tarohan, ekspor kapital dolar
yang tertuang dalam persahaan multinasional Amerika sudah
bagaikan gurita melilit bumi. Memang ada tentangan di sana-sini
dari para "nasionalis gila", tapi saya kira bisa diatasi dengan
cara-cara yang khusus. Kemudian, berhubung perut orang Amerika
sudah kekenyangan, beras dan gandum dan kacang kedelai dikirim
ke negeri-negeri yang memerlukan, misalnya di bawah tudung PL
480. Di samping pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dan bisnis
dan menampung produksi dalam negeri yang kebanyakan agar petani
Amerika tidak berang, pemimpin-pemimpin negeri saya juga
memahami, adalah berbahaya menjadi orang kekenyangan di tengah
orang kelaparan. Jangankan negeri-negeri terkebelakang,
sedangkan Eropa tanah tumpah darah nenek-moyang pun perlu kacang
kedele. Tanpa itu, babi-babinya dan sapi-sapi perahnya akan
meninggal di bawah umur.
Tentu, tidak ada gading yang tak retak. Biar
disembunyi-sembunyikan bagaimanapun, memang diskriminasi ras di
negeri saya masih ada sampai-sampai Martun Luther King dan John
F. Kennedy tewas disambar peluru. Negeri saya, di tahun-tahun
lampau, gemar bikin rupa-rupa doktrin, rupa-rupa persekutuan
militer, dan membuka pangkalan-pangkalan di negeri orang.
Belakangan, doktrin-doktrin itu meleleh seperti es loli. Juga
kegemaran Amerika jadi "polisi dunia" pada akhirnya jadi cemooh.
Pengalaman Vietnam pahitnya akan dikenang tujuh turunan. Belum
lagi Kamboja, wah.
Tapi, buat jadi jera karena kecewa, lantas membikin diri jadi
isolasionis, ini soal lain. Ini bisa mengundang debat yang
hiruk-pikuk. Mustahil rasanya bisa menghidupkan kembali
pikiran-pikiran isolasinya Robert A. Taft dan Presiden Herbert
Hoover. Bahkan, neoisolasionisme Adlai E. Stevenson pun tidak.
Dunia sudah saling bersentuhan seperti daun ubi jalar, yang satu
tidak bisa terpisah dari yang lain. Konon pula Amerika yang
sebesar itu, sedangkan Binna pun sudah mulai beringsut dari
liang kesendiriannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini