Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kalaulah saya ini orang amerika ...

Tgl 4 juli 1976 merupakan hut as ke-200 th. pemerintah memimpin bidang teknologi. perusahaan multinasional as bagaikan gurita melilit bumi. masih ada diskriminasi ras, polisi as jadi cemoohan.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKA tanggal 4 Juli 1976 ini saya tepekur sambil sedikit pesta. Saya membeli kalkun di samping hamburger dan Coca Cola. Bukankah 200 tahun sudah umur Kemerdeka Amerika? Umur ini memang kepalang tanggung, mau dibilang tua, muda juga bisa. Yang jelas, negeri saya sekarang ini negeri nomor satu di dunia. Rasanya, tak ada penduduk dunia ini yang tak pernah dengar nama negeri saya. Kalau ada, ini sudah keterlaluan. Bukankah Amerika punya Dubes dan jual celana Levi's di mana-mana? Pertama-tama saya menundukkan kepala bagi para "Bapak Pendiri", istimewa buat Thomas Jefferson yang menulis naskah deklarasi kemerdekaan dan Benjamin Franklin yang berhasil menyusun konvensi konstitusi, "perenggut kilat dari langit dan tongkat kerajaan dari tiran", kata seorang pelukis Perancis. Sesudah itu saya mengangkat topi buat nenek-moyang saya maupun tetangga yang berdatangan dari Eropa ke benua baru sambil gendong buntelan. Di samping mereka itu orang-orang revolusioner, memang ada juga bekas-bekas bangsawan yang tergusur. dari korsinya atau gelandangan biasa, tapi yang pasti mereka itu sudah berjasa besar merubah wajah benua Amerika sehingga jadi seperti sekarang ini. Tentu saja, sayapun tidak bisa menyembunyikan rasa sedih saya terhadap pribumi Indian, pemilik sejati negeri itu, yang lari lintang-pukang seperti gerombolan kelinci, tapi apa hendak dikata! SPUTNIK Sebagai orang Amerika, saya sungguh-sungguh bangga. Di muka bumi ini rasanya warga Amerika seperti pohon palem di tengah-tengah alang-alang, lebih gagah dan lebih sentausa. Taroklah orang Yunani itu cikal-bakal dan jagonya ilmu politik dan kebudayaan. Taroklah orang Romawi itu unggul dalam hal hukum. Taroklah orang Perancis dan Rusia itu biangnya seni dan kesusasteraan. Tapi Amerika? Dia telah mengangkat martabat dunia ini dengan teknologi. Memang, mula pertama Revolusi Industri itu ada di Inggeris, memang orang Jerman itu ada kebolehan penemu ini-itu di bidang kimia organis atau pengolahan baja, tapi Amerikalah yang berdiri paling depan. Dan memang orang Rusia yang pertama kali meluncurkan Sputnik ke angkasa luar, tapi ini satu kekecualian yang tidak perlu digubris samasekali. Dari sejuta kelahiran, paling-paling cuma sekali ada bayi kepala dua, apa artinya? Cobalah tengok sendiri. Ke manapun tuan pergi, tuan bisa mencium bau dolar walau sekarang ini sedikit merosot, toh wanginya semerbak juga. Tuan bisa berjumpa dengan Chase Manhattan Bank. Tuan bisa menginap di Hilton Hotel. Kalau busi mobil tuan mati, tuan bisa beli busi merek Champion. Belum cukup? Tuan juga bisa beli jagung goreng yang mesinnya hanya bisa dibikin di Amerika, merubah bentuk butir-butir itu menjadi semacam geraham harimau. Dan apabila tuan punya pembawaan sedikit rakus, tuanpun akan dengan mudah menjumpai kedai penjual kue donat yang mesinnya merupakan bukti penting revolusi teknologi-dapur, sehingga sampai-sampai mendiang Nikita Khruschov pun terheran-heran melihatnya. Dan ini: di kota manapun tuan akan menjumpai foto Charles Bronson, di kaca mobil atau di pintu kakus. Mana ada lelaki sehebat dia, hatta dibanding dengan Karl Marx sekalipun? Itu belum seberapa. Saya berani tarohan, ekspor kapital dolar yang tertuang dalam persahaan multinasional Amerika sudah bagaikan gurita melilit bumi. Memang ada tentangan di sana-sini dari para "nasionalis gila", tapi saya kira bisa diatasi dengan cara-cara yang khusus. Kemudian, berhubung perut orang Amerika sudah kekenyangan, beras dan gandum dan kacang kedelai dikirim ke negeri-negeri yang memerlukan, misalnya di bawah tudung PL 480. Di samping pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dan bisnis dan menampung produksi dalam negeri yang kebanyakan agar petani Amerika tidak berang, pemimpin-pemimpin negeri saya juga memahami, adalah berbahaya menjadi orang kekenyangan di tengah orang kelaparan. Jangankan negeri-negeri terkebelakang, sedangkan Eropa tanah tumpah darah nenek-moyang pun perlu kacang kedele. Tanpa itu, babi-babinya dan sapi-sapi perahnya akan meninggal di bawah umur. Tentu, tidak ada gading yang tak retak. Biar disembunyi-sembunyikan bagaimanapun, memang diskriminasi ras di negeri saya masih ada sampai-sampai Martun Luther King dan John F. Kennedy tewas disambar peluru. Negeri saya, di tahun-tahun lampau, gemar bikin rupa-rupa doktrin, rupa-rupa persekutuan militer, dan membuka pangkalan-pangkalan di negeri orang. Belakangan, doktrin-doktrin itu meleleh seperti es loli. Juga kegemaran Amerika jadi "polisi dunia" pada akhirnya jadi cemooh. Pengalaman Vietnam pahitnya akan dikenang tujuh turunan. Belum lagi Kamboja, wah. Tapi, buat jadi jera karena kecewa, lantas membikin diri jadi isolasionis, ini soal lain. Ini bisa mengundang debat yang hiruk-pikuk. Mustahil rasanya bisa menghidupkan kembali pikiran-pikiran isolasinya Robert A. Taft dan Presiden Herbert Hoover. Bahkan, neoisolasionisme Adlai E. Stevenson pun tidak. Dunia sudah saling bersentuhan seperti daun ubi jalar, yang satu tidak bisa terpisah dari yang lain. Konon pula Amerika yang sebesar itu, sedangkan Binna pun sudah mulai beringsut dari liang kesendiriannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus