Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMAKIN sulit saja memahami cara kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Di bidang legislasi, kinerja mereka amburadul--setahun hanya mengesahkan dua dari 39 rancangan undang-undang.
Politikus Senayan itu juga suka minta dana "ini-itu" untuk kepentingan mereka sendiri. Kini, mereka menambah panjang daftar "dosa" dengan membuat kisruh proses seleksi anggota Ombudsman, lantaran menunda uji kelayakan.
Komisi II DPR bidang pemerintahan dan otonomi yang menangani masalah itu sepertinya tak mau tahu bahwa masa kerja sembilan punggawa lama Ombudsman akan berakhir pada 17 Februari mendatang. Mengembalikan 18 nama calon anggota Ombudsman kepada Presiden sama saja dengan membuat proses seleksi kembali ke titik nol. Sia-sialah kerja yang telah dimulai pada Oktober tahun lalu, menyaring 76 nama hingga mengerucut menjadi 18 nama.
Keputusan gegabah Komisi II membatalkan uji kelayakan itu hanya mempertontonkan dangkalnya pikiran mereka. Mereka mendasarkan keputusan itu hanya pada dugaan yang belum terbukti. Pada sidang Selasa pekan lalu, 35 dari 44 anggota Komisi II menolak 18 nama itu lantaran dua dari tujuh anggota panitia seleksi, yakni Zumrotin Susilo dan Anis Hidayah, dinilai melanggar kode etik. Zumrotin dan Anis dituduh bermain mata untuk meloloskan calon-calon dari lembaga swadaya masyarakat.
Argumen para anggota Dewan sungguh aneh. Keputusan itu lahir hanya gara-gara Zumrotin dan Anis aktif ikut dalam grup obrolan di WhatsApp bernama "Kawal Seleksi ORI (Ombudsman RI--Red.)", yang mayoritas anggotanya pegiat organisasi kemasyarakatan. Keterlibatan itu dianggap konflik kepentingan. Apalagi kemudian beredar transkrip percakapan grup WhatsApp itu. Dalam transkrip itu, Zumrotin sebenarnya hanya beberapa kali menjelaskan soal perpanjangan waktu pendaftaran. Aktivis Yayasan Kesehatan Perempuan itu juga bertanya siapa saja yang ingin mendaftar. Itulah dosa Zumrotin menurut anggota Dewan. Tudingan serupa ditimpakan kepada Anis, aktivis Migrant Care.
Tuduhan itu jauh panggang dari api. Sejauh ini, Komisi II tak punya bukti yang mendukung argumen tersebut. Alih-alih membuat gaduh jagat politik, seharusnya mereka melanjutkan seleksi itu. Para anggota Dewan itu tak perlu mendadak bersikap seperti pahlawan kesiangan. Jika mereka benar-benar menginginkan anggota Ombudsman yang mumpuni dan independen, pilih saja nama yang benar-benar memenuhi syarat dan punya prestasi kinclong. Toh, dari 18 nama yang disodorkan, hanya tujuh yang berasal dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, dan mereka juga belum terbukti punya konflik kepentingan. Bila kemudian terbukti ada calon yang memiliki konflik kepentingan, coret saja namanya.
Sudah jamak setiap pemilihan pejabat lembaga negara selalu sarat kepentingan. Anggota Dewan selayaknya tak mudah terhasut oleh tarik-menarik kepentingan berbagai kelompok. Publik sangat berharap DPR tidak menjadi Dewan Pembagi-bagi Jabatan.
Kini bola berada di tangan Presiden Joko Widodo. Presiden tak perlu ragu mengembalikan 18 nama itu kepada DPR.
Langkah ini penting agar seleksi anggota Ombudsman tak karut-marut seperti sekarang. Mengulang kembali seleksi dari awal hanya buang-buang waktu dan tenaga. Masih banyak pekerjaan penting lain yang mesti dikawal Presiden Jokowi--ketimbang meladeni sikap kekanak-kanakan DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo