Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATA Stephanie Tan, 31 tahun, sembap. Dua pekan lalu, di sebuah gedung di Jalan Pluit Utara Raya, Jakarta, ia duduk termangu dengan topangan dagu. Duduk di sampingnya adalah Srie Mandaline Hendra, 60 tahun, pendiri biro jodoh The Indonesia ÂDating Service (IDS), yang serius mendengarkan kisahnya. "Cowok itu menjauh," kata Stephanie, dengan kepala menunduk.
Srie tersenyum, lalu ia mengelus kepala Stephanie. "Tidak apa, masih ada kesempatan lain," ujarnya, berbisik. Srie kemudian mendudukkan dirinya di kursi kerja dan melihat-lihat data klien pria lainnya di komputer. Ia menelitinya satu per satu. "Kita berusaha cari calon lagi, ya," kata Srie kepada Stephanie.
Srie adalah seorang matchmaker alias makcomblang yang berhasil menikahkan 60 anggotanya dan membuat 70-an lainnya memiliki hubungan berkomitmen. Stephanie sendiri, yang merupakan importir sepatu dan tas dari Cina, sudah enam bulan menjadi anggota IDS. "Saya tahu IDS dari teman," ucapnya di kantor IDS di Pluit itu.
Stephanie merupakan bagian dari tren orang single yang mulai mematikan komputer untuk mencari kencan secara online dan beralih ke lembaga perjodohan profesional buat membantu menemukan pasangÂan. Dalam lima tahun terakhir, kata Srie, lembaga perjodohan mulai menjamur.
Salah satu sebab suburnya lembaga perjodohan adalah karena para single ragu pada kencan Âonline—lantaran sering tertipu. IDS adalah lembaga yang tidak percaya pemakaian teknologi dalam mencari cinta. Srie memperkenalkan anggotanya lewat muka dengan muka, termasuk Stephanie dengan klien prianya.
Sejak lahir hingga sekolah menengah atas, Stephanie tinggal di Maluku. Ia melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di Amerika Serikat. Setelah lulus beberapa waktu lalu, dia memutuskan tinggal di Jakarta. "Karena itu, teman dekat saya belum banyak di sini (Jakarta)," tutur wanita yang sore itu berbaju kuning tersebut.
Selain menjumpai StepÂhaÂnie, kami menemui anggota IDS yang lain di Pluit: Harry Wijaya, 45 tahun, dan Keke—nama samaran untuk wanita berusia 39 tahun ini. Keduanya memiliki alasan setipe mengapa menggunakan biro jodoh. Harry mengaku tidak punya waktu untuk menemukan pasangan karena sibuk dalam usaha ekspor-impor. Begitu juga Keke, direktur utama sebuah perusahaan yang membawahkan ribuan karyawan.
"Di IDS mahal, tapi kenalannya jelas. Saya bisa tahu latar belakang keluarga dan pekerjaan," ujar Keke, yang mengenakan blazer hitam dan rok hijau lumut dengan sabuk berbentuk bunga di pinggangnya.
Srie memang menawarkan layanan yang tak murah. Ia dibantu dua anggota staf, yaitu psikolog Ina Wibowo dan seorang motivator yang hanya ingin dipanggil Meyta. Untuk menjadi anggota IDS, seseorang harus merogoh kocek Rp 3-8 juta buat keanggotaan tiga bulan dan dua tahun. Total, kata Srie, ada sekitar 300 anggota terdaftar di lembaganya.
"Saya tidak menjanjikan pernikahan. Apa yang saya janjikan adalah kesempatan bertemu dengan orang baik dan serius dalam suatu hubungan," ujar bekas produser rekaman di Akurama Records ini.
Ketika klien bertemu dengan makcomblang untuk pertama kali, mereka akan diwawancarai sekitar satu jam. Selama proses ini, makcomblang meriset apa yang diinginkan klien. Makcomblang kemudian menemukan tanggal yang cocok untuk merancang pertemuan perdana. "Pada kencan pertama, mereka harus pergi dengan hati terbuka," ucap matchmaker biro jodoh Heart Inc, Zola Yoana, saat ditemui di Plaza Senayan, Jakarta, bulan lalu.
Kencan pertama penting, kata Zola, lantaran fase ini krusial. Karena itu, penampilan adalah yang utama. "Apalagi lelaki menilai secara visual, jadi harus enak dilihat," ujarnya. Zola geregetan jika ada klien yang berdandan seadanya dan menyerahkan jodoh ke Tuhan. "Gue bilang ke klien, 'Jodoh bukan di tangan Tuhan kalau elu enggak berusaha,'" ucapnya.
Untuk memastikan hasil terbaik, Srie dan Zola biasanya akan memberi klien saran. Saran paling ampuh adalah melarang klien berbicara yang terlalu pribadi, negatif, atau berat. "Jangan ngomongin mantan atau politik," kata Zola. Ia juga melarang pertukaran nomor telepon dan ciuman pada kencan pertama.
Dari kencan pertama ini, Zola memperoleh umpan balik dari klien. Misalnya, jika klien mengatakan si calon pasangan terlalu banyak berbicara, dia akan mengirim seseorang yang lebih tenang. Jika terlalu malu dan pendiam, dia akan mengirim yang lebih atraktif. Namun, jika klien tidak memiliki informasi dan hanya pasif, "Gue bakal bertanya ke klien, 'Elu sebenarnya mau nikah apa enggak, sih?'" ujarnya.
Penilaian yang baik terhadap klien, kata Zola, memainkan peran besar dalam perjodohan. Zola, yang memulai bidang ini empat tahun lalu, menilai dengan detail sang klien. Dari fisik; fashion; pendidikan; karier; catatan kerja; sikap terhadap isu sosial serta budaya, seperti merokok, minum alkohol, dan perawatan pribadi; sampai gaji. "Karena gaji anggota Heart Inc minimal harus Rp 30 juta," ucap Zola.
Untuk program enam bulan, Zola memasang tarif US$ 1.800 (sekitar Rp 21 juta). Dalam kurun itu, klien akan dipertemukan dengan lima calon pasangan. Atau 12 bulan dengan tarif US$ 3.000 (sekitar Rp 35 juta). "Yang ini pasangan yang dikenalkan tidak terbatas," kata perempuan 30 tahun ini.
Heart Inc, yang didirikan Zola pada 2012, menyediakan beberapa layanan. Di antaranya matchmaking service, dating coach, serta overseas dating—yang bekerja sama dengan empat negara, yakni Amerika Serikat, Hong Kong, Singapura, dan Yunani.
Sejak sekolah menengah atas, Zola telah menjadi tempat curahan hati temannya dan berbakat menjodohkan orang. Ia sudah terlatih mengajukan pertanyaan yang tajam mengenai hubungan masa lalu, alasan putus, pola kencan, seks, bahkan orientasi seks mereka. Tapi, untuk membuka biro jodoh ini, Zola bersekolah sampai ke Amerika demi mendapatkan sertifikat sebagai matchÂmaker dengan kuliah di Matchmaking InsÂtitute, New York, 2012-2013. Di Negeri Abang Sam, profesi matchmaker bukan hal baru lagi.
Di Indonesia, meski belum ada institut khusus makcomblang, biro jodoh sudah ada lama. Salah satu yang tertua adalah Yasco (Yayasan Scorpio). Didirikan oleh pria bernama Hasbie—yang meninggal dua tahun lalu—pada 1974, Yasco telah membantu hampir puluhan ribu orang mendapatkan jodohnya.
Tarif mereka juga tidak semahal biro jodoh yang muncul belakangan. "Biaya pendaftaran kami hanya Rp 300 ribu dan pembayaran bulanan sebesar Rp 20 ribu," ujar Koordinator Yasco wilayah Bandung, Diah Isnaeni, dua pekan lalu. Yasco, diklaim Diah, merupakan lembaga perjodohan terbesar di Asia Tenggara. Anggotanya lebih dari 15 ribu orang. "Siapa pun bisa mendaftar," Diah menambahkan.
Zola dan Srie tentu tak memiliki klien sebanyak itu. Selain mematok biaya pendaftaran yang lebih mahal, mereka berdua amat selektif. Srie mengatakan akan mencoret pria yang mendaftar hanya untuk mencari dan memanfaatkan wanita yang kesepian. Begitupun Zola. Dia tidak akan mengambil klien yang memiliki harapan tak realistis dan kriteria tinggi. "Ada jomblo menahun tapi sombong. Tidak mau berubah. Itu akan gue tolak," ucapnya.
Meski selektif, mereka tak takut kehabisan klien. Riset lembaga yang dipimpin Zola menunjukkan, mulai 2010 sampai 2014, jumlah lajang di Indonesia meningkat. Selama kurun itu, kata Zola, jumlah jomblo di atas usia 27 tahun meningkat 2 persen setiap tahun. Pada 2010, jomblo laki-laki mencapai 4,9 juta orang, sementara jomblo perempuan 4,7 juta. Pada 2014, jomblo laki-laki menjadi 5,1 juta jiwa dan yang perempuan 5 juta. "Kebanyakan menengah-atas, berkarier bagus, dan berpendidikan tinggi. Mereka ada yang malu dan malas mencari pasangan," Zola menuturkan.
Awalnya Harry juga malu dan tidak pernah memberi tahu siapa pun bahwa ia menjadi anggota biro jodoh. Ia merasa tidak memiliki keharusan pergi ke makcomblang untuk mendapatkan pasangan. Tapi rasa malu itu sudah tidak menghinggapinya lagi. Ia kini terbuka, dan satu hal pasti yang ia maknai adalah tidak ada yang akan berubah dari statusnya sebelum kencan pertama dilakukan. Atas dukungan keluarga dan sahabat, Keke menimpali, dia bisa lebih percaya diri mencoba peruntungan cinta di biro jodoh. "Keluarga dan sahabat senang karena melihat saya ada usahanya (mencari jodoh)," kata Keke, lantas tersenyum.
Heru Triyono, Mitra Tarigan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo