Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menolak Keindahan Tubuh

Seorang tokoh gerakan performance Black Market International (Jerman) melakukan aksi di perhelatan "Undisclosed Territory #8" di Solo. Juga seorang tokoh butoh.

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesosok tubuh bermandi cahaya temaram berjalan pelan memasuki ruang panggung berlantai semen. Kulitnya serba putih lantaran taburan bedak di sekujur tubuh. Satu-satunya pembungkus hanyalah kain cawat merah. Katsura Kan, seniman butoh asal Negeri Sakura itu, terus bergerak di atas panggung memamerkan badannya yang kerempeng. Gerakannya cukup aneh.

Katsura Kan menjadi salah satu penyaji yang tampil dalam perhelatan seni "Undisclosed Territory #8" di Studio Plesungan, Karanganyar, Jawa Tengah, 30-31 Agustus lalu. Tubuhnya memamerkan gerakan-gerakan dengan bentuk yang tidak lazim. Semua anggota tubuhnya bergerak, dari kepala, leher, bahu, pinggul, hingga kaki. Dia memperlihatkan tubuhnya yang elastis membentuk lengkungan yang tidak simetris. Butoh adalah gerakan "tari" di Jepang yang "membangkang" menonjolkan sisi keindahan tubuh.

Tubuh kurus pria yang pernah menjadi kurator di Contemporary Dance Conference di Beijing pada 2012 itu terlihat layu dan sekarat melalui eksplorasi gerakan menunduk, merunduk, duduk, dan merebah di lantai. Alunan musik semacam seriosa membuat pertunjukan itu semakin terkesan getir.

Dalam workshop yang diadakan di Solo itu, Katsura bercerita, dalam proses belajarnya, ia mengimajinasikan setiap bergerak ada ribuan orang di belakangnya yang menirukan gerakannya. Hal itu membuat setiap gerakan—meskipun gerakan kecil—harus dilakukan secara jelas dan penuh kesadaran. Konsep itu, menurut Katsura, juga digunakan seniman tari tradisional noh Jepang. Seniman butoh banyak yang memiliki basis seni tradisi noh.

Sejarah kehancuran Jepang seusai Perang Dunia II, kata Katsura, menjadi awal kelahiran butoh. Butoh mulai diperkenalkan pada 1959 oleh Tatsumi Hijikata dan Yoshito Ohno. Keduanya menelanjangi tubuh mereka dengan gerak tubuh yang tidak menarik sebagai bentuk perlawanan terhadap seni tradisi yang megah. Kehilangan identitas negara seusai perang membuat seniman mencoba menghadirkan sesuatu yang belum pernah ada.

Selama dua dekade setelah muncul, butoh mampu berkembang luas hingga ke Eropa. Butoh bisa diterima di Eropa, yang pernah mengalami situasi dan kondisi kebudayaan yang sama dengan Jepang. Katsura menyebutkan terdapat persamaan antara butoh dan gerakan avant-grade yang terjadi di Eropa. "Sebagai kesenian kontemporer, butoh selalu berkembang dan mencari bentuk," ujar Katsura. Kondisi itu membuat tidak ada definisi pasti tentang butoh. "Jika Anda menanyakan butoh kepada sepuluh orang, Anda akan mendapat sebelas jawaban," katanya. Namun dia sendiri mengaku masih setia pada konsep awal kelahiran butoh.

Kegiatan "Undisclosed Territory", yang diselenggarakan seniman Melati Suryodarmo untuk kedelapan kalinya, disebut-sebut sebagai ajang pergelaran performance art terbesar di Tanah Air. Selain Katsura, Boris Nieslony, yang merupakan pendiri kelompok Black Market International, tampil dalam pergelaran itu. Pria 69 tahun itu memulai pertunjukannya dengan membawa botol cokelat berukuran besar. Nieslony meletakkan botol itu di bagian belakang panggung yang menjadi ruang menggelar pentas tanpa judul tersebut. Sebuah tangkai pohon yang masih lengkap dengan beberapa helai daun dimasukkan ke dalam botol tersebut.

Selanjutnya, Nieslony mengeluarkan beberapa helai bulu ayam dari dalam dompet kecil yang terbuat dari kain. Dengan hati-hati, dia menempelkan bulu tersebut di helai daun dengan cara menusukannya. Tidak ada simbol yang hendak dibangun melalui benda-benda tersebut. Nieslony hanya berupaya mengisi kekosongan ruang yang digunakannya untuk menggelar performance.

Nieslony tidak bercerita apa pun dalam pertunjukan yang digelar selama sekitar setengah jam tersebut. Dia mempraktekkan rekaman mantra seorang spiritualis asal Amerika yang diperolehnya beberapa tahun silam. Penonton disuguhi suara-suara aneh beraroma mistis yang keluar dari mulutnya. Suara mendesis, tercekat, tercekik, dan terengah-engah muncul secara bergantian. Tubuhnya bergerak menyesuaikan dengan suara yang keluar dari mulutnya, dari gerakan tangan hingga menggelepar layaknya orang yang sedang sekarat.

Nieslony memperlihatkan gerakan tubuh yang menyatu dengan suara-suara yang dikeluarkan. Dia memperlihatkan bahwa suara memiliki energi untuk bergerak. Gerakan yang sempurna membutuhkan suara yang terbebas dari gangguan dan faktor lain yang menghambat. Itu sebabnya, pada awal pertunjukan, Nieslony memilih menanggalkan gigi palsunya tepat di samping panggung. Adegan di luar pertunjukan itu mengundang senyum simpul segelintir penonton.

Performance tersebut merupakan pementasan kedua Boris Nieslony dalam pergelaran yang sama. Dia juga sempat melakukan performance bersama Plesungan­ Performance Group, yang mengikuti workshop-nya selama tiga hari. Berbeda dengan performance individual yang dilakukan, dalam pementasan berkelompok itu, mereka menggunakan tradisi yang dibangun kelompok Black Market International.

Dalam performance di berbagai negara, Black Market International biasa melakukan pementasan dengan durasi panjang. Setidaknya kelompok yang terdiri atas sebelas seniman itu membutuhkan waktu hingga enam jam untuk pementasannya. Waktu yang panjang dibutuhkan buat membangun interaksi tiap seniman. Sebab, anggota kelompok itu tidak pernah membuat kesepakatan mengenai tema yang akan diusung dalam performance yang dilakukan. Dalam dua jam pertama, masing-masing dari mereka berbagi ruang untuk berekspresi sesuai dengan tema yang ada di kepala. Selanjutnya, tiap anggota akan berinteraksi dalam sebuah performance bersama sehingga membentuk sebuah performance besar dengan berbagai ide.

Hanya, performance dari Plesungan Performance Group asuhan Melati Suryodarmo itu hanya berdurasi satu jam. Tiap penyaji tampil secara individual dalam waktu yang bersamaan hingga memunculkan interaksi dan harmonisasi. Salah satu seniman asal Bandung yang menonton performance tersebut, Wawan Husain, tertarik mengabadikannya dengan merekam melalui perangkat tabletnya. Tidak lama, pentolan kelompok Jeprut itu justru larut dalam performance tersebut.

Ahmad Rafiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus