Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bayangan Tentara dari Cetak Batu

Sri Maryanto, yang menggeluti seni cetak datar batu di Jerman, menyuguhkan karyanya di Bentara Budaya Jakarta.

8 September 2014 | 00.00 WIB

Bayangan Tentara dari Cetak Batu
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Imajinasi litografi itu agak aneh. Seorang pria bertutup kepala seperti dakocan dengan porsi ukuran kepala besar menyeringai, menyembul di antara lebat dedaunan. Ada sebuah burung kecil di kupingnya. Di belakangnya, seorang pria bercaping mengendap-endap memegang arit. "Lukisan sosial" ini seperti dibuat dengan goresan pensil di kertas.

Itulah salah satu karya litografi atau seni grafis cetak datar batu Sri Maryanto, 38 tahun, yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Pameran berjudul "Der Sprechende Stein-Batu yang Berbicara" itu digelar pada 26 Agustus-6 September 2014. Video Maryanto yang disajikan di ruangan itu memperlihatkan betapa dia harus bekerja sangat keras untuk menorehkan karyanya di sebidang batu datar. Tak main-main, ia acap menggoreskan kreasinya di batu datar ukuran 100 x 80 x 10 sentimeter.

Batu itu, kata Maryanto, memang bukan batu sembarangan, melainkan batu kapur khusus dari Jerman. Beruntung dia masih mudah mendapatkan batu itu di studio kampus selagi ia menempuh pendidikan di Akademie der Bildenden Kuenste, Muenchen, Jerman, sejak 2012. Maryanto memang menekuni seni grafis cetak datar batu, yang ditemukan pertama kali oleh Alois Senefelder pada 1798. Media cetak ini menggunakan batu kapur tertentu yang sensitif terhadap minyak dan air. "Seni grafis ini memang tak populer di Indonesia," ujarnya.

Untuk mendapatkan sebuah karya, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Sejarah Seni Uni Trier, Jerman, ini mengawali dengan menyiapkan batu sebagai kanvasnya. Maryanto harus mengampelasnya lebih dulu. Bukan dengan alat ampelas semacam pelat besi bergagang, melainkan dengan batu lebih kecil seukuran 30 x 40 x 10 sentimeter. Batu itu digosok-gosokkan ke permukaan batu besar. Suaranya berisik sekali. "Sekali ampelas, dapat dua batu sekaligus. Kalau pakai alat, cuma dapat satu batu," ujarnya.

Sekali mengampelas kadang-kadang butuh waktu setidaknya enam jam bahkan sampai seharian, tergantung ketebalan tinta pada gambar sebelumnya. Dalam meng­ampelas pun tak bisa sembarangan, harus rata dan tak boleh sampai cekung. Tujuannya agar lapisan batu bersih dari kotoran atau gambar lama. Setelah batu dibersihkan dengan air dan dikeringkan, barulah Maryanto membuat sketsa dan menggambar di atasnya. Bisa dengan pensil, tinta, dan krayon—yang mengandung lemak atau minyak. Setelah itu, lukisan akan dilumuri dengan Arabic gum, yang terbuat dari getah pohon akasia. Fungsinya untuk mengikat atau mengunci material gambar tersebut.

Maryanto kemudian melanjutkan proses menyiapkan batu dengan pengasaman, yang dilakukan bertahap dengan cairan asam berkadar rendah-tinggi. Pengasaman harus hati-hati karena bisa merusak lapisan lemak di bawah tinta gambar. Tingkat keasaman juga harus disesuaikan dengan tebal-tipisnya gambar. Baru setelah itu Maryanto, sebagaimana seorang koki meratakan adonan dengan gulungan kayu, akan menorehkan tinta cetak dengan gulungan karet. Kemudian dia akan mencetak gambar di batu itu dengan kertas yang sudah disiapkan. Kertas diletakkan di atas batu dan batu disorongkan ke pelat besi untuk mendapatkan hasilnya.

Karya-karya Maryanto ada yang meng­ungkit trauma keluarga yang menjadi korban peristiwa 1965. Pengalaman orang tua dan orang sekitarnya yang menjadi korban 1965 tertoreh dengan gambar yang sedikit sinis dengan sosok tentara. Tentara seperti menjadi bayangan yang selalu menghantui. Pada karya berjudul Joget, Nyanyi, atribut sepatu lars dan seragam loreng khas tentara cukup menonjol. Atau lihat pula pada karya berjudul Dendam, yang menggambarkan bagian belakang sesosok tubuh dengan leher tertutup selubung memegang sebilah pedang dan selempang bertulisan "Dendam Kesumat".

"Peristiwa ini kan sampai sekarang enggak jelas. Masih banyak korban dan pelaku yang hidup tapi tidak terungkap kebenarannya," ujar Maryanto. Dia pun membandingkan bagaimana Jerman memperlakukan peristiwa kelam pembantaian oleh Nazi untuk generasi sekarang. "Di sini anak sekolah diberi pelajaran."

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus