Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batuk berkepanjangan adalah kawan Hendro Sulistiadi—bukan nama sebenarnya. Nyaris saban hari ia tersengal-sengal karena batuk. Sesak napas, demam, lelah, sulit tidur adalah menu tambahan yang menyiksa. ”Kalau kambuh, hidup saya terasa gelap,” kata lelaki 47 tahun ini. Terkadang ia terkapar di rumah sakit gara-gara batuk.
Padahal sudah setahun lebih Hendro berhenti merokok. Namun, sumber penyebab batuk, yakni penyakit radang bronkitis kronis dengan kekambuhan akut (acute exacerbation of chronic bronchitis, AECB), tak juga hilang. Hendro ingat betul, dalam setahun terakhir empat kali penyakitnya kambuh. Berbagai obat telah diberikan dokter, termasuk antibiotik golongan levoflozasin, tapi tak banyak menolong.
Status Hendro terakhir, saat berobat ke dokter, adalah bronkitis kronis yang cukup berat. Dokter Irwan Hananto, ahli penyakit paru dan pernapasan Rumah Sakit Husada, Jakarta, memberinya antibiotik jenis baru, moksifloksasin, selama tujuh hari. Hasilnya, bronkitis yang kambuh teratasi dengan tempo penyembuhan lebih cepat dibanding saat menggunakan antibiotik terdahulu. ”Puas,” kata Hendro tentang terapi yang ia terima. Dunianya kembali cerah.
Moksifloksasin bisa disebut antibiotik generasi kelima, yang paling baru. Obat ini diberikan kepada Hendro, juga 20-an pasien serupa, selama 5 sampai 7 hari, lantaran RS Husada ditunjuk oleh perusahaan obat Bayer Health Care untuk terlibat dalam sebuah penelitian raksasa. Bertajuk GIANT atau Greatest International Antibiotic Trial, hingga akhir Juli lalu riset ini melibatkan lebih dari 47.500 pasien dari 48 negara dan diharapkan rampung pada akhir tahun nanti.
Responden uji klinik terbesar di dunia ini terentang luas. Mulai dari Eropa, Amerika, sampai Asia-Pasifik. Sebuah riset yang patut diapresiasi karena melibatkan Asia, termasuk responden di lima kota besar Indonesia (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan). ”Biasanya kita cuma pakai data riset Eropa dan Amerika,” kata Dr Hady Syarif, Ketua Proyek Studi GIANT di Indonesia. Diharapkan, moksifloksasin tidak mengulang kesalahan berbagai jenis obat yang tak cocok dengan karakter Melayu karena hanya mengandalkan riset yang Eropa-Amerikasentris.
Dalam ranah medis, bronkitis kronis tak lain adalah peradangan saluran pernapasan yang sudah menahun. Pertandanya, batuk berdahak minimal tiga bulan dan telah berlangsung setidaknya dua tahun berturut-turut. Selain jumlahnya banyak, dahak mengalami perubahan warna dari jernih menjadi hijau kekuningan. ”Pertanda ada infeksi bakteri pada paru,” kata dr Irwan Hananto.
Kekambuhan adalah langganan bagi pengidap bronkitis. Tanpa pengobatan yang tepat, kondisi dan fungsi paru makin buruk sehingga jarak kekambuhan semakin pendek. Ada yang setahun kambuh tiga kali, bahkan lebih. Biasanya, 50-70 persen kekambuhan dipicu oleh infeksi bakteri, antara lain Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Patut disoroti, sebagian besar, 85 persen, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah dari jenis bronkitis kronis. Sepanjang 2002, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sekitar 2,7 juta orang meninggal dunia akibat penyakit ini. Saat ini pun ada sekitar 600 juta pengidap PPOK di seluruh dunia. Yang juga membuat bergidik, satu dekade lalu penyakit paru obstruktif masih menduduki peringkat ke-12 penyebab kematian di muka bumi. Tapi, pada 2020 nanti, WHO memperkirakan peringkat paru obstruktif sebagai penyebab kematian di dunia akan naik di posisi kelima.
Di Indonesia, WHO sudah lama melempar peringatan tentang penyakit paru obstruktif kronis yang diderita 4,8 juta orang. Negeri ini dengan demikian juga memiliki empat jutaan pengidap bronkitis kronis, angka yang sesuai dengan data yang dilansir The Asia-Pacific Chronic Obstructive Lung Disease Roundtable Group, tahun lalu.
Mencloknya bronkitis kronis di tubuh seseorang jelas akan menurunkan kualitas hidup. Bagaimana mungkin hidup nikmat jika batuk seperti derap kereta, demam, dahak terus mencegat jalan napas, dan tidur tak nyenyak? Belum lagi jika kekambuhan datang begitu hebat sehingga si penderita harus dirawat di rumah sakit.
Dan ada benang merah menarik jika latar belakang pasien ditelusuri. Biasanya pasien adalah perokok, baik yang sudah pensiun meninggalkan rokok maupun lebih-lebih yang masih perokok aktif. ”Hampir 90 persen pasien punya riwayat merokok,” kata Irwan. Tapi, yang memprihatinkan, perokok pasif juga bisa mengalami bronkitis—sebuah ”hukuman” tak adil dari tindakan yang sama sekali tidak mereka lakukan.
Berkaca pada benang merah tadi, tindak pencegahan yang paling jitu hanya satu: hindari rokok. Tentu saja, Irwan menambahkan, faktor lain yang memicu peradangan dan infeksi saluran napas juga sebisa mungkin dihindari. Misalnya polusi udara, debu, dan zat-zat pemicu alergi yang lain.
Persoalannya, meminta orang berhenti merokok bukan urusan gampang. Acap kali perokok lebih memilih tidak makan daripada tidak menghirup asap tembakau. Bahkan, tidak jarang pasien tetap nekat merokok meskipun paru sudah terbakar dan napas megap-megap. ”Kata mereka, ini satu-satunya kenikmatan,” kata Prof Hadiarto Mangunnegoro, ahli paru dari RS Persahabatan, Jakarta.
Nah, jika faktor risiko tak bisa dihindari dan bronkitis kronis kerap kambuh, langkah pengobatan pun tak bisa dielakkan. Pemberian antibiotik dapat membantu 50-70 persen agar penderita keluar dari situasi buruk akibat infeksi bakteri.
Selama ini ada banyak jenis antibiotik yang bisa dipakai untuk menangani bronkitis kronis, seperti amoksilin trihidrat dan levofloksasin. Hanya, perkembangan terakhir menunjukkan bakteri mulai resisten terhadap antibiotik yang sudah lama beredar ini. Untuk itulah generasi terbaru, yakni moksifloksasin, dirilis. Namun, antibiotik generasi baru mutlak diuji dengan ketat dan menyeluruh. Soalnya, ”Obat ini memang sangat ampuh, tetapi juga dikhawatirkan mendatangkan efek samping yang serius,” kata dr Rosalina Widijati Sutadi, Direktur Medis Bayer Health Care Indonesia.
Mengingat begitu pentingnya moksifloksasin, baik dari segi risiko maupun potensi penyembuhan, digelarlah GIANT, riset global yang menyeluruh dan menjangkau responden di begitu banyak negara.
Sejauh ini, telah 23 ribu data responden di Asia-Pasifik yang terkumpul. Analisis sementara GIANT inilah yang disajikan dalam konferensi pers di Beijing, Cina, dua pekan lalu. Hasil sementara, dengan moksifloksasin, 60 persen pasien mengalami perbaikan pada hari ke-3 penggunaan. Sedangkan pada hari ke-5, perbaikan meningkat menjadi sekitar 90 persen. Dan, ”Sejauh ini tidak ada laporan efek samping yang serius,” ujar Rosalina.
Pada skala lokal, pengalaman dokter yang terlibat dalam riset GIANT juga tak jauh berbeda. Kekambuhan hilang dalam tempo tiga hari, demikian menurut Irwan Hananto. ”Demam, batuk, dan dahak pasien berkurang,” kata dr Wahyuningsih, ahli penyakit paru dari RS Pusat Pertamina, Jakarta, yang juga mendapat jatah 20-an pasien dalam riset GIANT.
Bagi Bayer Health Care, hasil sementara ini sangat melegakan. Hipotesis yang mereka bangun terbukti, yakni moksifloksasin lebih baik dibanding terapi antibiotik standar. Obat ini berpeluang digunakan sebagai jurus baru menekuk bakteri di balik kekambuhan bronkitis kronis. Mayoritas responden, 68,2 persen, pun mengaku puas dengan khasiat pengobatan moksifloksasin.
Namun, ada satu kritik muncul dari dr Irwan Hananto. Harga moksifloksasin masih relatif mahal untuk ukuran konsumen Indonesia, yakni Rp 30 ribu-50 ribu per butir pil. ”Soal harga ini akan jadi kendala potensial,” kata Irwan.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo