Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOFA menggantung nyawa dalam nikmat narkoba. Adrenalin mengalir deras saat bubuk maut mengaliri nadi lewat jarum suntik. Jika kocek tak cukup untuk membeli heroin, pemuda 30an tahun ini tak kurang akal. ”Kita pake buprenorfin,” kata Tofa, yang tinggal di Kuta, Bali ini.
Buprenorfin, pembaca, sesungguhnya adalah obat detoksifikasi untuk mengatasi ketergantungan heroin. Tapi, di tangan Tofa dan kawankawan, peran obat kecanduan ini dibalik seratus delapan puluh derajat. Buprenorfin malah dijadikan alternatif jika heroin sulit didapat atau sedang melambung harganya di pasaran.
Prosedur sebenarnya, sebutir pil buprenorfin diletakkan di bawah lidah, dibiarkan 510 menit agar larut dan terserap tubuh. Setengah jam kemudian, efek buprenorfin mulai terasa. Badan si pengguna tak lagi sakit luar biasa, seperti yang dialami orang yang putus obat alias sakaw. Efek ini terus bertahan sampai 24 jam. Pelahanlahan, dengan pemakaian rutin hingga setahun, pasien terbebas dari kecanduan heroin.
Tapi, itu tadi prosedur yang benar. Gaya Davir, kawan Tofa, lain lagi. Pil bupre (buprenorfin) dilarutkan dalam sesendok air, lalu disuntikkan ke pembuluh nadi. ”Pengaruhnya lebih cepat terasa,” kata Davir. Selain tak lagi sakaw biarpun tanpa heroin, suntikan buprenorfin juga mendatangkan kenikmatan tersendiri. Akibatnya, Davir malah kecanduan pil bupre. ”Sekarang heroin malah nggak berasa buat saya. Lebih enak pake bupre,” katanya.
Kawan Davir tidak sedikit. Biasanya mereka patungan ramairamai membeli buprenorfin. ”Harganya kan jauh lebih murah,” ujar Tofa. Empat butir pil bupre delapan miligram cuma ditebus Rp 64 ribu. Bandingkan dengan lima gram heroin untuk empat kali penggunaan dalam sehari yang menguras isi kantong hingga Rp 200 ribu.
Dan, bukan hanya sensasi teler yang membuat Davir dan kawankawan selalu tergoda. Proses penyuntikan itu sendiri sudah menjadi ritual yang selalu dikangeni. Ibaratnya, ”Rindu pada jarum seperti rindu pada pacar,” kata Mansyur, petugas lapangan HatiHati, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Bali. Walhasil, apa pun barangnya, termasuk obat detoksifikasi yang mestinya diemut pun, disikat juga dengan suntikan. ”Tak gampang mengubah perilaku mereka tentang penggunaan jarum suntik,” katanya.
Secara ilmiah, buprenorfin adalah turunan semisintetik dari morfin alkaloid. Pada Desember 2002, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) mengizinkan penggunaan zat psikotropika ini untuk terapi detoksifikasi dan mengatasi ketergantungan opioda di kalangan pecandu narkotika.
Sebenarnya, dibutuhkan selembar resep dokter untuk mendapatkan buprenorfin. Dokternya pun bukan sembarangan tetapi dokter yang diakreditasi dua lembaga, yakni Perhimpunan Dokter Seminat Kedokteran Adiksi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.
Di Bali, buprenorfin bisa didapat antara lain lewat dokter Denny Thong, pengelola klinik Bali International Medical Care (BIMC). Denny Thong tak menutup mata terhadap adanya pasien yang menyalahgunakan buprenorfin. Dokter yang memiliki lebih dari 300 pasien pengguna buprenorfin itu menyarankan agar polisi bersikap tegas. ”Tangkap saja mereka,” kata Denny.
Penyalahgunaan buprenorfin pun bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Singapura, sejak 2002 hingga September 2005, tercatat lebih dari setengah juta pil buprenorfin terjual. Padahal baru 20 ribu pil yang diresepkan oleh dokter yang mendapat otoritas. Tercatat pula 22 kasus kematian, pada 20032005, karena stroke akibat pembuluh darah otak yang dikacaukan buprenorfin. Walhasil, pada Agustus lalu, pemerintah Singapura memperketat rambu. Pasien hanya boleh menyuntikkan buprenorfin di ruang praktek dokter yang terpilih. Pelanggar bisa dikenai hukuman denda atau penjara.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Seminat Kedokteran Adiksi Indonesia, dokter Al Bachri Husin, juga mengingatkan perlunya ketegasan rambu. Apalagi, ia mengingatkan, buprenorfin yang digunakan sembarangan potensial memicu risiko gawat, yaitu rusaknya pembuluh darah, stroke, dan serangan jantung. Belum lagi adanya ancaman lain bila jarum dipakai bersamasama, yakni risiko terinfeksi virus hepatitis dan HIV/AIDS.
Dwi Wiyana, Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo