Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK banyak pakar hukum dari Makassar yang namanya ”menasional” seperti Achmad Ali, 54 tahun. Tulisannya banyak tersebar di media massa dan wajahnya kerap masuk layar kaca sebagai narasumber. Nama pria kelahiran Makassar ini berkali-kali juga masuk bursa calon Jaksa Agung.
Pada Agustus dua tahun silam, misalnya, Achmad pernah diundang Presiden Megawati ke Istana. Ketika itu Megawati, yang didampingi Kepala Badan Intelijen Negara Letjen Hendropriyono, meminta pendapatnya tentang hukuman mati bagi teroris. ”Kami berbincang selama 30 menit, tetapi tidak ada pembicaraan mengenai jabatan,” kata Achmad kepada Tempo, pekan lalu.
Achmad boleh berkilah begitu. Kenyataannya, pertemuannya dengan Megawati justru meroketkan namanya sebagai calon Jaksa Agung. Namanya kemudian beredar dalam daftar ”kabinet bayangan”—entah siapa yang membuat—pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi dalam pemilihan presiden. Namanya menclok untuk dua posisi: Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman.
Jauh sebelumnya, pada 2001, saat Jaksa Agung Baharuddin Lopa wafat, namanya juga disebut-sebut sebagai pengganti Lopa. Begitu juga saat Kabinet Gotong-Royong akan dibentuk pada 2001, namanya lagi-lagi muncul sebagai kandidat orang nomor satu di Kejaksaan Agung. Tapi, lagi-lagi, semua itu hanya ”beredar di udara”.
Saking sering namanya muncul sebagai calon Jaksa Agung, Achmad kerap diledek sejawatnya sebagai ”calon abadi jaksa agung”. ”Saya hanya tertawa saja mendengar sebutan itu,” ujarnya. Selain sebagai ”calon abadi jaksa agung”, pada 2003 namanya juga disebut-sebut sebagai calon Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Lagi-lagi tak terbukti. Satu-satunya jabatan yang dilamarnya dan praktis tak menghadapi sandungan adalah menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ia terpilih menjadi anggota Komnas HAM periode 2002-2007.
Kini, di tengah-tengah pencalonannya sebagai calon hakim agung—yang sebentar lagi masuk tahap seleksi akhir—ia tersandung masalah. Achmad Ali mengaku heran kenapa kasus ini muncul saat dirinya sedang diseleksi sebagai hakim agung dan di tengah kabar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana mengubah kabinet. ”Saya hanya bisa menduga saja, jangan-jangan ada yang sengaja ingin menjatuhkan saya,” ujarnya.
Poernomo Gontha Ridho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo